SEJARAH KERAJAAN SULTENG DAN RAJA RAJA SEBELUMNYA
SEJARAH KERAJAAN DAN RAJA RAJA SEBELUMNYA
Sebelum berdiri sendiri menjadi sebuah kerajaan, Palu masih dibawah kekuasaan kerajaan Gowa asal Sulawesi Selatan sejak era VOC di tahun 1666. Pada tahun 1796-1960 Kerajaan Palu masih mengunakan sistim pemerintahan monarki, dan ibukota Palu pertama bernama Pandapa (1796-1888), kemudian berganti nama menjadi Panggovia pada 1888-1960, dan saat Republik Indonesia merdeka tahun 1945 pada tahun 1960 kerajaan Palu lengser dan bergabung dengan Indonesia. (Sumber wikipedia)
Kota Palu Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah yang besar ini awalnya dari kesatuan empat buah kampung besar diantaranya : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama (Kamonji), Panggovia sekarang bernama (Kampung Lere), Boyantongo sekarang bernama (Kelurahan Baru).
Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh.
Berikut nama raja-raja yang
berkuasa di Kerajaan Palu saat itu :
a) Pue Nggari (Siralangi):
1796-1805
Kerajaan Palu saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa yang berada di Sulawesi Selatan hal itu terlihat dari pemakaian gelar kebangsawanan pada Kerajaan Palu. Gelar-gelar tersebut adalah sebagai berikut :
Magau = Maha Raja; Madika Malolo
= Raja Muda atau Pangeran; Madika
Matua = Pelaksana Pemerintahan
atau Setara dengan Perdana Menteri
sekarang; Baligau = Ketua Dewan
Adat; Galara = Urusan Kehakiman;
Pabisara = Penyampai atau Penerus
Perintah dari Raja kepada rakyat;
Punggava = Urusan Pertanian dan
Perekonomian
Terlihat dari susunan pemerintahan di Kerajaan Palu dapat dikatakan bahwa Kerajaan Palu pada saat itu sudah sangat matang, hal ini yang membuat rakyat mendesak Magau Pue Nggari untuk memisahkan diri dari Kesultanan Gowa untuk bisa mandiri dan tidak lagi harus membayar upeti ke kerajaan lain. Pada saat yang sama di Kerajaan Palu datanglah seorang penyebar Agama Islam dari Sumatera yang bernama Abd. Raqie (Masyarakat Palu umumnya mengenal dengan nama “Dato Karama” Dato artinya Tuan atau Yang Dipertuankan, Karama artinya Keramat, Jadi Dato Karama Adalah “Tuan Yang Di Keramatkan”, atau “Orang Keramat”, bisa juga “Seseorang yang memiliki ilmu yang sakti”) yang di utus oleh Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Kedatangan Abd. Raqie atau Dato Karama ini bertujuan untuk menyebarkan Agama Islam di lembah Palu, yang mana pada saat itu masyarakat Suku Kaili masih memiliki kepercayaan animisme. Maka berlabuhlah kapal Dato Karama yang turut serta membawa 50 orang muridnya dari Sumatera di pantai Besusu, turut serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko kedatangan Dato Karama ini disambut baik oleh Keluarga Kerajaan serta rakyat dan langsung menerima tawaran untuk memeluk Agama Islam karena persyaratan Sombarigowa mengatakan, jika ingin melepaskan diri dari wilayah kesultanan Gowa, maka penduduknya harus memeluk Agama Islam. Setelah seluruh persyaratan dari Sombarigowa diterima Pue Nggari maka diadakanlah prosesi sebagai berikut :
Pengislaman terhadap Magau Pue
Nggari bersama keluarganya yang
dilaksanakan oleh Dato Karama
dengan istilah “PoVonju Tevo”. Adapun
anggota keluarga Pue Nggari yang
turut di Islamkan adalah sebagai berikut:
Vua Pinano (isteri Pertama dari
Pue Nggari)
Lasamaingu (Anak Pertama Pue
Nggari)
Pue Songu (Anak Kedua Pue
Nggari) tidak mau di Islamkan
Andi lana (Anak Ketiga Pue
Nggari) bersama isteri dari Tatanga
Pue Rupia (Anak Keempat Pue
Nggari)
Yenda Bulava (Anak Kelima Pue
Nggari), suaminya bernama Bulava
Lembah tidak mau di Islamkan dan
tidak menerima agama Islam
Setelah persyaratan Sombarigowa dipenuhi semuanya, akhirnya Kerajaan Palu diproklamirkan sebagai kerajaaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari Kesultanan Gowa.
Namun ada beberapa hal yang dipertahankan antara Kerajaan Palu dan Kesultanan Gowa yaitu jika Kesultanan Gowa menjadi rusuh maka Kerajaan Palu pun ikut menjadi menjadi Susah, sampai Kerajaan Palu membantu untuk menyelesaikan masalah di Kesultanan Gowa. Maka secara tidak langsung Kerajaan Palu harus siap sedia mengirim Pasukan Perang atau mensuplai bahan makanan jika terjadi kerusuhan di Kesultanan Gowa. untuk mendukung perjanjian tersebut maka disusunlah pemerintahan sebagai berikut :
Magau adalah Pue Nggari
Madika Malolo keluarga
Silalangi Dolo (Dari Istri Kedua Pue Nggari)
Madika Matua tetap dipegang
keluarga di Besusu (Dari Istri Pertama
Pue Nggari)
Baligau dipegang oleh keluarga
Tatanga
Sisanya diatur oleh Pue Nggari
sendiri
b) I Dato Labungulili : 1805-1815
Setelah Pue Nggari mangkat, ia digantikan oleh Madika Malolo Labugulili dari keluarga Silalangi Dolo. Keluarga Silalangi menjabat sebagai Madika Malolo pada masa pemerintahan Pue Nggari. Labugulili kemudian di kenal dengan sebutan I Dato Labugulili. Ia merupakan anak Pue Nggari dari istri kedua. I Dato Labugulili merupakan Raja perempuan pertama di Kerajaan Palu ia memerintah selama kurun waktu antara tahun 1805-1815. Selama masa pemerintahan Labungulili, pusat pemerintahan masih berada di Besusu.
c) Malasigi Bulupalo : 1815-1826
Setelah Labungulili wafat kemudian digantikan oleh Malasigi yang bergelar Malasigi Bulupalo. Malasigi merupakan anak dari Panjororo (Pue Bongo) dengan Dei Bulava. Pue Bongo adalah Raja Di Daerah Bangga (Masuk dalam ilayah Kerajaan Sigi Biromaru) yang merupakan anak dari Bulava Lembah dan Yenda Bulava. Yenda Bulava merupakan anak dari Pue Nggari dan Pue Puti. itu artinya Malasigi adalah cicit dari Pue Nggari. Malasigi memerintah dalam kurun waktu antara tahun 1815-1826. Pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Palu tetap berada di Besusu. Tetapi kawasan Panggovia (Kelurahan Lere sekarang) mulai ditempati dan dikembangkan.
d) Daelangi : 1826-1835
Malasigi kemudian digantikan oleh Daelangi dari kelurga Besusu (Keturunan Pue Nggari dari istri pertama Vua Pinano) yang memerintah antara tahun 1826-1835. Daelangi merupakan raja perempuan kedua di Kerajaan Palu.
e) Yololembah : 1835-1850
Kemudian Daelangi digantikan oleh anaknya yang bernama Yololembah yang memerintah selama 15 tahun yaitu antara tahun 1835-1850
f) Lamakaraka (Tondate Dayo) :
1850-1868
Setelah Yololembah, tahta Kerajaan Palu dipegang kembali oleh keluarga Silalangi Dolo (Keturunan Pue Nggari dari istri kedua Pue Puti) yang bernama Lamakaraka. Lamakaraka adalah anak dari Malasigi dan Indjola. Lamakaraka bergelar Madika Tondate Dayo. Lamakaraka mempunyai istri bernama Dei Donggala. Perkawinan ini dikaruniai empat orang anak yaitu: Suralembah, Panundu, Yodjokodi, Bidadari. Lamakaraka memerintah selama 18 tahun antara 1850-1868. Pada masa pemerintahan Lamakaraka, pusat pemerintahan tetap berada di Besusu.
g) Radja Maili (Mangge Risa) :
1868-1888
Setelah Lamakaraka, yang menduduki tahta Kerajaan Palu adalah Radja Maili (Mangge Risa). Ia merupakan anak dari Suralembah dan merupakan cucu dari Lamakaraka. Raja Maili memerintah selama 20 tahun antara tahun 1868-1888. Pada masa pemerintahan Radja Maili inilah Belanda pertama kali berkunjung ke Palu untuk mendapatkan perlindungan dari Manado pada tahun 1870. Namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi berkhianat terhadap Rada Maili yang telah memberi mereka perlindungan, bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tempur, Gubernur Belanda tiba di Kerajaan Palu untuk menyerang Kayumalue. Radja Maili yang merasa telah dikhianati Belanda tidak tinggal diam, Dia pun mengumpulkan bala tentara untuk menghadapi Belanda yang dipimpin sendiri oleh Radja Maili.
Namun karena perang yang tidak seimbang dari segi persenjataan dan personel akhirnya Pasukan Kerajaan Palu dapat dikalahkan, Kayumalue pun jatuh ketangan Belanda, sedangkan Radja Maili sendiri terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu.
Radja Maili mempunyai istri bernama Timamparigi dan seorang putri bernama Mpero (Mpero inilah yang nantinya dinikahkan dengan Idjazah dan melahirkan “Tjatjo Idjazah” Raja Terakhir Palu). Pasa masa pemerintahan Radja Maili pusat Kerajaan Palu masih berada di Besusu.
h) Jodjokodi : 1888-1906
Pada tahun 1888, Radja Maili tewas terbunuh oleh Belanda dalam Perang Kayumalue kemudian tahta kerajaan kembali di pegang oleh pamannya Radja Maili yang bernama Jodjokodi (anak ketiga dari Lamakaraka). Pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi di paksa menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda yang tentunya isi perjanjian itu menguntungkan pihak Belanda. Jodjokodi biasa dipanggil dengan sebutan Toma I Sima.
Jodjokodi memerintah selama 18 tahun dari tahun 1888-1906. Setelah empat tahun memerintah tepatnya 1892, Raja Yodjokodi kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Besusu ke daerah Panggovia (Kelurahan Lere) dan sebagian masuk ke dalam wilayah Tanggabanggo (Kelurahan Kamonji) karena merasa Besusu sudah tidak aman lagi berkat kedatangan Belanda.
Pemindahan pusat pemerintahan ini ditandai dengan pembangunan “Souraja” (Istana Kerajaan). Souraja dibangun pada tahun 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Jodjokodi. Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar sehingga nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Souraja digunakan oleh Raja Jodjokodi sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan.
Raja Jodjokodi memiliki tiga orang istri yang bernama I Ntodei (Ratu Kerajaan Sigi), Bidarawasia (Adik ipar Radja Maili), dan Jabatjina. Dari hasil perkawinan dengan Bidarawasia, Yojokodi dikaruniai delapan orang anak yaitu: 1) Pariusi; 2) Parampasi; 3) Idjazah; 4) Sima; 5) Pangia; 6) Djamaro; 7) Yodi; dan 8) Mutia
i) Parampasi : 1906-1921
Pada tahun 1906, Jodjokodi wafat dan digantikan oleh Parampasi. Pada masa pemerintahan Parampasi, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal Raja dan sebagai pusat pemerintahan. Parampasi menikah dengan Hi. Indocenni Pettalolo dan dikaruniai enam orang anak, empat anak perempuan dan dua anak laki-laki. anak-anak Parampasi, Puteri ; Andi Wali Parampasi, Andi Tase Parampasi, Andi Tunru Parampasi, Andi Ratu Parampasi. Putera ; Andi Wawo Parampasi, Tjatjo Kodi Parampasi. Parampasi memerintah selama 15 tahun dalam kurun waktu antara tahun 1906-1921.
j) Idjazah : 1921-1947
Setelah Parampasi wafat, Kerajaan Palu diperintah oleh Idjazah. Idjazah merupakan adik dari Parampasi. Idjazah memerintah antara tahun 1921-1947.
Pada masa pemerintahan Raja Idjazah, Souraja beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja dialih fungsikan sebagai tangsi militer tentara Jepang walaupun fungsi Souraja masih tetap sebagai kantor pemerintahan Kerajaan Palu.
Pada masa Jepang itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi Suco. Lebih jauh dalam buku “Sejarah daerah Sulawesi Tengah” dijelaskan “kalau pada masa pemerintahan Belanda atasan-atasannya (asisten Residen dan Kontroliur) orang Belanda, maka pada zaman Jepang kedudukan ini ditempati oleh Jepang, juga raja-raja tetap, hanya namanya diganti memakai istilah Jepang. Raja disebut Suco dan kepala distrik disebut Gunco. Peranannya pun sama pada zaman Hindia Belanda hingga Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu.
k) Djanggola : 1947-1949
Pada tahun 1947, Idjazah digantikan oleh keponakannya Djanggola. Djanggola merupakan anak dari Pariusi, saudara dari Parampasi dan Idjazah. Djanggola merupakan anak kedua dari Pariusi. Djanggola memiliki lima orang saudara yaitu: Baso Pariusi, Itei Pariusi, Djuri Pariusi, Todi Pariusi, dan Todji Pariusi.
Masa pemerintahan Djanggola berlangsung singkat yaitu hanya sekitar dua tahun antara tahun 1947-1949. Pada saat Djanggola memerintah, ia menunjuk pamannya, Palimuri sebagai penasihatnya. Dalam struktur pemerintahannya, Andi Wawo Parampasi menjabat sebagai Madika Matua (Pelaksana Pemerintahan) dan Tjatjo Idjazah sebagai Madika Malolo (Raja Muda). Artinya, bahwa Tjatjo Idjazah telah disiapkan untuk menggantikan Djanggola sebagai Magau Kerajaan Palu.
Pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Tetapi, akibat revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1950, memaksa rakyat dan penguasa berjuang di luar jalur pemerintahan kerajaan. Walaupun seorang raja masih menjadi pengendali perjuangan rakyat, tetapi umumnya tidak menggunakan kekuasaannya sebagai Raja saat turun ke basis-basis perjuangan rakyat. Hal tersebut mengakibatkan Souraja jarang ditempati oleh Magau Djanggola. Selain itu Djanggola juga mendirikan rumahnya sendiri tepat di samping Souraja.
Djanggola menikah dengan anak dari Magau Parampasi yaitu Andi Wali Parampasi. Setelah Andi Wali meninggal, Djanggola menikah lagi dengan adik Andi Wali Parampasi yang bernama Andi Ratu Parampasi. Pernikahan Djanggola dan Andi Ratu Parampasi biasa disebut “tukar tikar”.
Magau Djanggola mempunyai istri 10 orang yaitu Tina Yoto, Daratika, Tina Yodi, Tina Tjinowera, Tina Dg. Mangiri, Tina Raka, Tina Lipa, Tina Dei, Andi Wali Parampasi, dan Andi Ratu Parampasi. dengan anak yang berjumlah enam belas (16) orang.
Salah satu cucu keturunan Magau Djanggola dari istri pertama Tina Yoto bernama Drs. H. Longki Djanggola, M.Si (Sekarang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah dan dilantik atas pemberian Gelar Toma Oge Nungata Kaili (18/06/2011)
l) Tjatjo Idjazah : 1949-1960
Selanjutnya, Djanggola digantikan oleh Tjatjo Idjazah. Tjatjo Idjazah adalah sepupu dari Djanggola. Tjatjo Idjazah merupakan anak dari Magau Idjazah dengan Mpero (anak Magau Radja Maili).
Pada masa pemerintahan Tjatjo Idjazah, Souraja dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Namun, Magau Tjatjo Idjazah jarang menempati Souraja karena ia lebih sering berada di kediamannya di Besusu (Sekarang Menjadi Apotik Pancar, Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Besusu Barat Kota Palu). Hal ini menyebabkan Souraja sering tidak didiami oleh Magau Tjatjo Idjazah.
Pada tahun 1958, ketika Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Souraja dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.
Pada tahun 1960, Kerajaan Palu resmi dibubarkan dengan Tjatjo Idjazah sebagai raja terakhirnya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Magau Tjatjo Idjazah tidak memiliki keturunan. Selanjutnya, Palu ditetapkan sebagai wilayah Swapraja dengan Andi Wawo Parampasi sebagai Kepala Swaparaja.
Sumber :
Majalah Kominfo edisi tahun
2021
https://sites.google.com/site/gragenews/clients
https://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tengah
Copy paste by : DISINI
April 14, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Lambang Daerah Sulawesi Tengah
Sesuai Perda Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 1969 tentang lambang Daerah Provinsi Sulawesi Tengah menguraikan beberapa hal sbb :
Pasal 1
Lambang Daerah Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari :
1) Dasar berbentuk jantung
2) Pohon kelapa dengan daun 5 helai dan buah 5 buah
3) Bintang bersegi lima
4) Padi dan kapas
5) Garis gelombang 2 buah
6) Tulisan Sulawesi Tengah di atas dasar lambang
Pasal 2
1) Lambang Daerah Provinsi Sulawesi Tengah adalah pohon kelapa
2) Bentuk dari dasar Lambang Daerah Provinsi Sulawesi Tengah adalah
simbol jantung
3) Lambag daerah ini berukuran 40 x 60 atau perbandingan lebar dan
panjang adalah 2:3
4) Warna dasar yang digunakan ada 2 macam yaitu biru langit dan
kuning
Pasal 3
1) Pohon kelapa dilukiskan tegak di tengah-tengah lambang
Pasal 4
1) Gambar simbol jantung dibelah miring oleh garis simbol katulistiwa
2) Di atas garis miring dasar lambang berwarna biru langit dan dibawahnya berwarna kuning
3) Dibagian bawah dari pohon kelapa terlukis dua garis gelombang masing-masing dengan enam dan empat galur gelombang
Pasal 5
1) Pada bagian kiri dari gambar pohon kelapa terlukis padi yang berwarna kuning emas serta pada bagian kanannya terlukis buah
kapas
2) Buah padi berjumlah 19 dan kapas berjumlah 13 dengan kelopak bergerigi 4
Pasal 6
Bagian pinggir atas dari jantung berwarna putih dengan tulisan “SULAWESI TENGAH” berwarna merah
Pasal 7
1) Cara penafsiran yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini yang tercantum dalam penjelasan umumnya tidak dibenarkan
2) Bentuk, warna dan ukuran Lambang Daerah ini adalah seperti terlukis pada lampiran Peraturan Daerah
Ambil file :
https://www.jdih.sultengprov.go.id/
https://www.jdih.sultengprov.go.id/peraturan/PERDA_3_1969.pdf
April 14, 2025 | | 0 Comments
Profil Sulawesi Tengah
PROFIL SULAWESI TENGAH
Sulawesi Tengah (disingkat
Sulteng) adalah sebuah provinsi di bagian tengah
Pulau Sulawesi, Indonesia. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Palu. Luas wilayahnya 61.841,29 km², dan jumlah
penduduk sebanyak 2.985.734 jiwa
(2020). Sulawesi Tengah memiliki wilayah terluas di antara semua provinsi di Pulau Sulawesi, dan memiliki jumlah
penduduk terbanyak kedua di Pulau
Sulawesi setelah provinsi Sulawesi Selatan
PENGARUH HINDIA BELANDA
Wilayah sepanjang pesisir barat
Sulawesi Tengah, dari Kaili hingga Tolitoli, ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa sekitar pertengahan abad ke-16 di
bawah kepemimpinan Raja Tunipalangga.
Wilayah di sekitar Teluk Palu merupakan pusat
dan rute perdagangan yang penting, produsen minyak kelapa, dan pintu masuk ke pedalaman Sulawesi Tengah.
Di sisi lain, daerah Teluk Tomini
sebagian besar berada di bawah kekuasaan Kerajaan Parigi.
Pada tahun 1824, perwakilan
Kerajaan Banawa dan Kerajaan Palu menandatangani
Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) dengan pemerintah kolonial. Kapal-kapal Belanda mulai sering berlayar di bagian
selatan Teluk Tomini setelah tahun
1830.
Sulawesi Tengah baru benar-benar
"diperhatikan" oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode tahun 1860-an. Seorang pejabat pemerintah bernama Johannes Cornelis Wilhelmus
Diedericus Adrianus van der Wyck, berhasil
mengunjungi Danau Poso pada tahun 1865 dan menjadi orang Eropa dan Belanda pertama yang melakukannya. Langkah ini diikuti
oleh pejabat pemerintah lainnya,
Willem Jan Maria Michielsen, pada tahun 1869.
Wacana untuk menduduki wilayah ini ditolak dan merujuk kepada kebijakan anti-ekspansi yang dikeluarkan
pemerintah kolonial pada zaman itu.
Baru pada tahun 1888, sebagian besar wilayah ini mulai menjalin hubungan dengan pemerintah di Batavia
melalui perjanjian pendek yang ditandatangani
oleh para raja dan penguasa lokal, sebagai tindakan antisipasi pemerintah terhadap kemungkinan tersebarnya pengaruh
politik dan ekonomi Britania Raya di
wilayah ini.
Pada periode tersebut, Sulawesi
Tengah berada di bawah yurisdiksi Afdeling Gorontalo,
yang berpusat di Gorontalo. G. W. W. C. Baron van Höevell, Asisten Residen Gorontalo, khawatir pengaruh Islam yang
begitu kuat di Gorontalo akan meluas
ke wilayah Sulawesi Tengah yang saat itu masih
belum dimasuki agama samawi, dan penduduknya sebagian besar masih pagan, penganut animisme, dan
memeluk agama suku. Baginya, agama
Kristen adalah penyangga yang paling efektif melawan pengaruh Islam. Ia menghubungi lembaga misionaris
Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap
(NZG), dan meminta mereka untuk menempatkan seorang misionaris di wilayah ini. Pada tahun 1892, NZG kemudian
mengirimkan misionaris bernama
Albertus Christiaan Kruyt, yang ditempatkan di Poso. Langkah ini dilanjutkan pada tahun 1894, ketika pemerintah mengangkat Eduard van Duyvenbode
Varkevisser, sebagai Kontrolir atau pejabat
pemerintah yang akan menjadi pengawas dan pemimpin wilayah di Poso.
PENAKLUKAN MILITER OLEH
BELANDA
Penaklukan Belanda di Sulawesi
Tengah dimulai dengan serangkaian serangan
militer terhadap berbagai kerajaan lokal dan daerah. Pada tahun 1905, sebagian wilayah di Poso terlibat
dalam pemberontakan gerilya melawan
pasukan Belanda, sebagai bagian dari kampanye militer terkoordinasi Belanda ke seluruh daratan Sulawesi. Salah satu
kampanye militer yang terkenal adalah
"penaklukan" Kerajaan Mori dalam Perang Wulanderi yang terjadi pada tahun 1907.[13] Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke
tangan Pemerintahan Hindia Belanda,
dari Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan
di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:
1. Poso Lage di Poso
2. Lore di Wanga, Lore Utara,
Poso
3. Tojo di Ampana
4. Una-Una di Pulau Una-Una
5. Bungku di Bungku
6. Mori di Kolonedale
7. Banggai di Luwuk
8. Parigi di Parigi
9. Moutong di Tinombo
10. Tawaeli di Tawaeli
11. Banawa di Donggala
12. Palu di Palu
13. Sigi/Dolo di Biromaru
14. Kulawi di Kulawi
15. Tolitoli di Tolitoli
ZAMAN KEMERDEKAAN
Dalam perkembangannya, ketika
Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah
tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah
Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga)
bagian, yakni:
1. Sulawesi Tengah bagian Barat,
meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten
Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di
Sulawesi.
2. Sulawesi Tengah bagian Tengah
(Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan
Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi
Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling
yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
3. Sulawesi Tengah bagian Timur
(Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan
Sulawesi Timur Bau-bau.
Tahun 1964 dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala,
Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan
Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang
otonom berdiri sendiri yang
ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah
dan selanjutnya tanggal pembentukan
tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi
Sulawesi Tengah.
ZAMAN REFORMASI
Dengan perkembangan Sistem
Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era
Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat
mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang
Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 51 Tahun 1999
tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali
dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat
terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi
Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Setelah pemekaran beberapa wilayah
kabupaten, provinsi ini terbagi
menjadi 14 daerah, yaitu 13 kabupaten dan 1 kota. Ibu kota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk
Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu
yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di
laut.
GEOGRAFI
Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah
bagian utara berbatasan dengan Laut Sulawesi
dan Provinsi Gorontalo, bagian timur berbatasan dengan Provinsi Maluku, bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, bagian
tenggara berbatasan dengan Sulawesi Tenggara,
dan bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar.
HIDROGRAFI
Sulawesi Tengah juga memiliki
beberapa sungai, di antaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa
dan sungai Palu. Juga terdapat danau
yang menjadi objek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Sulawesi
Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang
memiliki keunikan flora dan fauna
yang sekaligus menjadi objek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis.
IKLIM
Garis khatulistiwa yang melintasi
semenanjung bagian utara di Sulawesi Tengah
membuat iklim daerah ini tropis. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatra,
musim hujan di Sulawesi Tengah antara
bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret. Rata-rata curah hujan berkisar antara 800
sampai 3.000 milimeter per tahun yang
termasuk curah hujan terendah di Indonesia. Temperatur
berkisar antara 25 sampai 31° Celsius untuk dataran dan pantai dengan tingkat kelembaban antara 71 sampai
76%. Di daerah pegunungan suhu dapat
mencapai 16 sampai 22° Celsius.
FLORA DAN FAUNA
Sulawesi merupakan zona
perbatasan unik di wilayah Asia Oceania, di mana flora dan faunanya berbeda jauh dengan flora dan fauna Asia yang
terbentang di Asia dengan batas
Kalimantan, juga berbeda dengan flora dan fauna Oceania yang berada di Australia hingga Papua dan Pulau Timor.
Garis maya yang membatasi zona ini
disebut Wallace Line, sementara kekhasan flora dan faunanya disebut Wallacea, karena teori ini dikemukakan oleh
Wallace seorang peneliti Inggris yang
turut menemukan teori evolusi bersama Darwin.
Sulawesi memiliki flora dan fauna
tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa
yang mirip kerbau, babirusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena
Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi
yang berwarna-warni yang merupakan varitas binatang berkantung serta burung maleo yang bertelur pada
pasir yang panas.
Hutan Sulawesi juga memiliki ciri
tersendiri, didominasi oleh kayu agatis yang
berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododenron). Variasi flora dan
fauna merupakan objek penelitian dan
pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti
Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam
Morowali, Cagar Alam Tanjung Api dan terakhir adalah SuakaMargasatwa di
Bangkiriang.
DEMOGRAFI
Jumlah penduduk Sulawesi Tengah
pada tahun 2010 adalah 2.831.283 jiwa, dengan
kepadatan 46 jiwa/km2. Kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di provinsi Sulawesi Tengah adalah Kabupaten Parigi Moutong dengan jumlah penduduk 449.157
jiwa, sedangkan Kota dengan jumlah
penduduk terbanyak adalah Kota Palu sebanyak 362.202 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk adalah 1,95% per
tahun (2010). Sementara penduduk
Provinsi Sulawesi Tengah yang tinggal di daerah pemukiman dan pedalaman ialah sekitar 30%, daerah pesisir
60%, dan kawasan kepulauan ialah 10%.
Pertanian merupakan sumber utama
mata pencaharian penduduk dengan padi
sebagai tanaman utama. Kopi, Kelapa, Kakao dan Cengkih merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini
dan hasil hutan berupa rotan, beberapa
macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah
pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping
pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah
sering mengadakan upacara untuk
menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur serta tuak yang difermentasikan dan
disimpan dalam bambu.
ETNIS
Penduduk asli Sulawesi Tengah
terdiri atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:
1. Etnis Kaili berdiam di
kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Sigi dan
kota Palu
2. Etnis Kulawi berdiam di
kabupaten Sigi
3. Etnis Lore berdiam di
kabupaten Poso
4. Etnis Pamona berdiam di
kabupaten Poso
5. Etnis Mori berdiam di
kabupaten Morowali
6. Etnis Bungku berdiam di
kabupaten Morowali
7. Etnis Saluan atau Loinang
berdiam di kabupaten Banggai
8. Etnis Balantak berdiam di
kabupaten Banggai
9. Etnis Mamasa berdiam di
kabupaten Banggai
10. Etnis Taa berdiam di
kabupaten Banggai
11. Etnis Bare'e berdiam di
Kabupaten Parigi Moutong, Poso, dan
Tojo Una-Una
12. Etnis Banggai berdiam di
Banggai Kepulauan
13. Etnis Buol mendiami kabupaten
Buol
14. Etnis Tolitoli berdiam di
kabupaten Tolitoli
15. Etnis Tomini mendiami
kabupaten Parigi Moutong
16. Etnis Dampal berdiam di
Dampal, kabupaten Tolitoli
17. Etnis Dondo berdiam di Dondo,
kabupaten Tolitoli
18. Etnis Pendau berdiam di
kabupaten Tolitoli
19. Etnis Dampelas berdiam di
kabupaten Donggala
Di samping 13 kelompok etnis, ada
beberapa suku hidup di daerah pegunungan
seperti suku Da'a di Donggala dan Sigi, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Taa di Ampana dan
Banggai, dan suku Daya di Buol Tolitoli.
Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu
dengan yang lainnya, namun masyarakat
dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah
dihuni pula oleh transmigran seperti dari
Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami
wilayah Sulawesi Tengah adalah
Mandar, Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur.
BAHASA
Bahasa resmi instansi
pemerintahan di Sulawesi Tengah adalah bahasa Indonesia. Hingga 2019, Badan Bahasa mencatat ada 21 bahasa daerah
yang dipertuturkan di Sulawesi
Tengah. Kedua puluh satu bahasa tersebut adalah:
1. Bahasa Bada, terdiri dari 2
dialek, yaitu dialek Napu dan dialek Bada
Tiara. Bahasa Bada dituturkan di Kabupaten Poso yaitu dialek Napu, sedangkan dialek Bada Tiara dituturkan di Kabupaten Parigi Moutong.
2. Bahasa Bajo, dituturkan oleh
masyarakat di daerah Kabupaten Parigi
Moutong, Kabupaten Donggala, Kabupaten Tolitoli, Tolitoli Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Morowali Utara. Selain di
Sulawesi Tengah, bahasa Kaili juga
dipertuturkan di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
3. Bahasa Balaesang
4. Bahasa Balantak
5. Bahasa Banggai
6. Bahasa Besoa
7. Bahasa Bugis
8. Bahasa Bungku
9. Bahasa Buol
10. Bahasa Dondo
11. Bahasa Kaili
12. Bahasa Lauje Malala
13. Bahasa Moma
14. Bahasa Pamona
15. Bahasa Pipikoro
16. Bahasa Saluan
17. Bahasa Sangihe Talaud
18. Bahasa Seko
19. Bahasa Taa
20. Bahasa Tombatu
21. Bahasa Tomini
22. Bahasa Totoli
AGAMA
Penduduk Sulawesi Tengah sebagian
besar memeluk agama Islam. Tercatat pada
sensus tahun 2015, 76.37% penduduknya memeluk agama Islam, 16.58% memeluk agama Kristen Protestan,
4.45% memeluk agama Hindu, Katolik
sebanyak 1.85%, serta Budha 0.74%. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karama dan Datuk
Mangaji, ulama dari Sumatra Barat; yang
kemudian diteruskan oleh Al Alimul Allamah Al-Habib As Sayyed Idrus bin Salim Al Djufri, seorang guru pada
sekolah Alkhairaat dan juga diusulkan sebagai
Pahlawan nasional.
Agama Kristen pertama kali
disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh misionaris Belanda, A.C Cruyt dan Adrian. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah mayoritas
beragama Islam, namun tingkat toleransi
beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
SENI DAN BUDAYA
Musik dan tarian di Sulawesi
Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan
lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti gong, kakula, lalove dan jimbe. Alat musik ini lebih
berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai
bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional -
ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian
ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di
suatu keramaian. Banyak tarian yang
berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal
adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona,
kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian
dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara
penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian di mana laki-laki
dan perempuan berpegangan tangan dan
membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan
Jepang di Indonesia ketika Perang
Dunia II. Tarian in adalah tarian tradisional Sulawesi Tengah.
KEBUDAYAAN
Sulawesi Tengah kaya akan budaya
yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi
yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama
adalah warisan budaya yang tetap terpelihara
dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyak kelompok etnis
mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula
banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka
yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten
Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau
Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat
Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah
Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatra
Barat seperti tampak dalam dekorasi upacara
perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan
terdapat di Donggala Kodi, Watusampu,
Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih
dapat ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan
memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi
suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda
dengan Toraja, seperti contohnya
ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari
tiang dan dinding kayu yang beratap
ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan
Tambi merupakan rumah tempat tinggal.
Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model
Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam
blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan
Eropa. Baju banjara yang disulam
dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra
yang membujur sepanjang dada hingga
bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
Senjata tradisional masyarakat Sulawesi
Tengah adalah Parang (Guma), Tombak, Sumpit.
PEMERINTAHAN
KAWASAN PELESTARIAN
ALAM
Kawasan pelestarian alam meliputi
taman nasional, taman hutan raya (tahura),
dan taman wisata alam. Sulawesi Tengah memiliki beberapa
kawasan taman nasional, yaitu:
Taman Nasional Lore Lindu di
Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.
Taman Nasional Kepulauan Togean
di Kabupaten Tojo Una-Una.
BANDARA
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki
beberapa bandar udara (bandara) yang beroperasi
untuk penerbangan domestik dan internasional, Adapun daftar bandara yang ada di sulteng adalah sebagai
berikut.
April 14, 2025 | | 0 Comments
Sejarah Provinsi Sulawesi Tengah
SEJARAH
PROVINSI SULAWESI TENGAH
Pada Tanggal 13 April 1964,
Provinsi Sulawesi Tengah terbentuk. Dalam usianya
yang menginjak lebih setengah abad ini, banyak peristiwa penting mewarnai
sejarah perjalanan provinsi ini. Bagi orang bijak, sejarah pada masa lalu
merupakan sumber inspirasi untuk saat sekarang dan saat yang akan datang.Dengan memahami sejarah, tindakan kepahlawanan dan peristiwa gemilang pada masa lalu
diharapkan menjadi sumber inspirasi untuk
mencetuskan peristiwa besar pula. Sejarah tersebut di antaranya seperti
yang diuraikan berikut ini.
Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya. Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalah dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti strukturpemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), KapitanLaut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteriperhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).
Dengan meluasnya
pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam.Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah
pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir. Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai
masuk dalam kekuasaan colonial Belanda.
Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di
Parigi dan Lambunu. Padaabad ke 18,
meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk
datang ke Manado dan Gorontalo untuk
mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Tengah tersebut. Permulaan abad
ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya
menguasai Sulawesi Tengah. Terhadap kerajaan
yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan
perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa.Organisasi yang pertama mendirikan
cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat
Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang
di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928.
organisasi lainnya yang membuka cabang
di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII. Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25
Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para
tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli
De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan
tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis
kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama
kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun
keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datangdan
melakukan gempuran. Meskipun telah melakukan
gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena
pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu,tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu
singkat Jepang berhasil menguasai wilayah
Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya
ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang
menyerah kepada Sekutu dan disusul
dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada awal
kemerdekaan, Sulawesi Tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di
Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan
kemerdekaan yang baru saja diraih.
Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.Belanda menerapkan politik
pecah-belah dimana Indonesia dijadikan
negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan pada tanggal 17 Agustus
1950 Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan. Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan
berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun
1960. Pada tahun tersebut Sulawesi
dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara
yang beribu kota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara Tengah dimekarkan menjadi provinsi
Sulawesi Utara yang beribukota di Manado
dan Sulawesi Tengah yang beribukota di Palu. Pada tanggal 13 April 1964, untuk pertama kalinya diangkat
Gubernur tersendiri Propinsi Sulawesi Tengah,
sehingga tanggal ini pula diperingati sebagai hari ulang tahun propinsi ini hingga sekarang.
Sumber : DISINI
April 14, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments