Peta Biromaru
Peta lokasi kerajaan Biromaru (1906)
Kalau dalam Peta Paloe tahun 1906 masih minim deskripsi desa desa sekitar
maka dalam tahun 1916 ini, nampak lebih rame dalam menggambarkan desa desa
sekitar Paloe.
Peta dibuat oleh Alb. C. Kruyt.
February 18, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Sejarah Desa Kalukubula
Foto : Bersama Tupu Tihaya
Sejarah Singkat Desa
Kalukubula
Pada zaman dahulu ada
seorang pemburu, ia mengejar buruaannya yang diduga sudah pergi menuju sebuah
bukit disebeh timur, yaitu bukit Silonga, karena sudah lama dan sudah jauh ia
mengejar, akhirnya pemburu itu tidak mau lagi meneruskan pengejarannya. Ia
menyuruh orang Silonga untuk mengejar binatang buruannya itu.
Ada 2 orang silonga
jagoan yang bersedia mengejar buruan tadi, seorang diantaranya bernama Lanoa,
melalui hutan belantaran namun keduanya tidak pernah merasa lelah. Tidak akan
puas rasanya kalau mereka tidak menemukan binatang buruan itu. Dengan tidak
disangka-sangka mereka tiba pada sebuah padang belantara, disitulah mereka
sempat melihat jejak binatang buruan, lalu pengejaran dilanjutkan terus.
Setelah Lanoa, dari jarak jauh melihat binatang buruan itu sedang beristirahat dibawah
pohon kayu, lalu disiapkannya tombaknya, sekali tombak saja robohlah binatang
buruan itu.
Binatang buruan itu
mereka bawa kesuatu tempat dibawah sebatang pohon kayu besar yang sangat
tinggi, Lanoa asyik memperhatikan pohon yang tinggi itu, ia melihat dibawah pohon
itu banyak sekali tumbuh kayu-kayu kecil yang hampir serupa dengan pohon itu.
“Apa namanya pohon ini ?” Tanya Lanoa , “Saya tidak tahu, “ jawab temannya.
Mereka merasa heran sekali melihat jenis kayu itu. Lanoa ingin memakan buahnya
tetapi ia takut jangan –jangan membahayakan, namun demikian ia mencoba meminum
airnya. Rasanya enak, air buah itulah yang menjadi air minumnya, karena belum
puas mereka mencoba pulah memakan dagingnya yang putih warnanya, akhirnya Lanoa
menamakan buah itu “ Kalukubula “.
Karena tertarik akan
tempat itu, maka kedua orang itu tidak mau lagi pulang ke kampungnya di Silonga.
Di lembah yang sangat luas yang mereka namakan “Kalukubula “ itu, mereka mulai
membuka kebun. Sisa bekal dari Silonga berupa setongkol jagung, mereka tanam dikebun
yang baru dibuat itu.
Dari jauh disebelah
timur, yaitu orang Lando melihat asap
api mengepul dilembah itu, seorang diantaranya bernama Ravulando berkata : “Coba
lihat disebelah barat dilembah itu, ada asap api, tentu ada orang disana.”
Jawab temannya : “Saya kira benar apa yang kau katakan itu.” Karena mereka yakin
maka kedua orang Lando itu segera berangkat menuju lembah sumber asap api itu.
Setibanya disana, Lanoa
terkejut sambil bertanya : “Siapa gerangan kalian ini.” Jawab orangitu :”Kami
berasal dari Lando.” Lanoa menjelaskan bahwa mereka datang ditempat itu karena
mengejar babi buruan orang Mantendo (Pakuli). Dikatakannya bahwa pemburu itu tidak mampu
lagi mengejar buruannya karena sudah lelah. Lanoa menambahkan bahwa buruan
orang Pakuli itu datang di Silonga lalu dikejar terus oleh Lanoa dan temannya
sampai di lembah itu sehingga terbunuh dan dagingnya telah dimakan pula oleh
Lanoa dan temannya.
Kemudian orang Tara dari sebelah
utara, seorang diantaranya bernama Tadabia, dan kemudian orang Pulu dari
sebelah barat, seorang diantaranya bernamaTorivatu, kedatangan mereka karena
alasan yang sama disebabkan karena melihatasap api mengepul di lembah itu. Jadi
ada 8 orang penghuni lembah “Kalukubula” yaitu yang berasal dari Silonga, Lando,Tara
dan Pulu. Mereka mulai membuka tanah kebun dan ladang. Karena orang Silonga yang
pertama datang ditempat itulagipula dianggap sebagai penghuni pertama, maka
telah disepakati bersama bahwa merekalah yang menentukan luas tanah yang akan
dikerjakan oleh setiap orang. Jadi Lanoa dan seorang lagi temannya itu yang
berhak menentukan luas tanah yang akan dibuat kebun atau ladang.
Lama kelamaan
berdatanganlah orang-orang dari tempat yang jauh sehingga lembah itu menjadi
padat penduduknya. Setiap penghuni yang baru datang diharuskan memberitahukan
pada orang Silonga, orang Silonga itulah yang akan menunjukan tempat atau tanah
di sebelah mana yang akan mereka kerjakan sebagai kebun. Dengan demikian setiap
orang tidak bebas memilih tanah yang akan dibuatkebun. Nama “Kalukubula “
diambil dari bahasa Ledo / Kaili, Kaluku berarti Kelapa dan Bula berarti Putih. Jadi“
Kalukubula” artinya Kelapa Putih.
Sumber : Tutura TUPU TIHAYA
February 13, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Riwayat Berdirinya Kota Palu.
Ketua DPRD Kota Palu, Armin,
membacakan sejarah singkat berdirinya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah
(Sulteng) dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-45 kota Palu tahun
2023 di halaman Kantor Wali Kota Palu, Rabu 27 September 2023.
Armin menjelaskan, sebelum
proklamasi kemerdekaan, Kota Palu awalnya bermula dari kesatuan empat kampung.
Yaitu Besusu, Tanggabanggo yang sekarang bernama Kamonji. Panggovia yang
sekarang bernama Lere, Boyantongo yang sekarang bernama Kelurahan Baru.
Masyarakat dari 4 kampung itu
membentuk satu Dewan Adat disebut ‘Patanggota’. Salah satu tugasnya adalah
memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan
kerajaan.
Setelah masa kerajaan telah
ditaklukan pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian ‘Lange
Kontruct’ atau perjanjian panjang yang akhirnya diubah menjadi ‘Karte
Vorklaring atau perjanjian pendek hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan
Daerah Administratif pada tanggal 25 Februari 1940. Saat itu Kota Palu termasuk
dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi
onderafdeling.
Onderafdeling Palu dengan ibu
kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yakni Swapraja Palu,
Swapraja Sigi Dolo dan Swapraja Kulawi.
Kemudian masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Pembubaran Daerah Sulteng yang
dibentuk berdasarkan peraturan pembentukan Daerah Sulteng tanggal 2 Desember
1948, yang telah disahkan dengan penetapan Residen Manado tanggal 25 Januari
1949 No. R.21/1/4, menjadikan wilayah Sulteng terbagi dalam 2 daerah swatantra
yaitu Daerah Donggala dan Daerah Poso.
Daerah Donggala meliputi daerah
Administratif Donggala dengan tempat kedudukan pemerintahan daerahnya di Palu.
Hal ini berdasar pada PP Nomor 33 Tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulteng
dan pembagian wilayahnya dalam daerah-daerah swatantra.
Lalu berdasarkan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi,
daerah-daerah swapraja dan swatantra yang ada dibubarkan dan dibentuk
daerah-daerah tingkat II.
Pembubaran ini dilaksanakan
dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah tanggal 12 Januari 1961
yang direalisir tahun 1963.
Pembentukan Kota Administratif Palu.
Pembentukan wilayah Kota
Administratif Palu atas dasar asas dekontrasi sesuai UU Nomor 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu dalam kedudukannya sebagai
Ibukota Provinsi Daerah Tingkat (Dati) I Sulteng sekaligus ibukota Kabupaten
Dati II Donggala mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Menurut Armin, berlatar belakang pertumbuhan tersebut, dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat dan keinginan rakyat di daerah ini untuk mencetuskan pembentukan Pemerintahan wilayah tersendiri.
Maka sejak adanya Keputusan DPRD
Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964 yang diperkuat dengan SK Gubernur KDH
Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974. Oleh Pemerintah Dari I Sulteng dan
Pemerintah Dati II Donggala mempersiapkan Palu menjadi Kota Administratif.
Selanjutnya, tahun 1978, Palu
ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Palu. Guna
terwujudnya tertib pemerintahan serta pembinaan wilayah, maka wilayah Kota
Administratif Palu dibagi atas 2 Kecamatan, yakni Kecamatan Palu Barat dengan
17 Kampung dan Kecamatan Palu Timur dengan 11 Kampung.
Ditahun yang sama, tepatnya
tanggal 27 September 1978, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, H Amir
Mahmud meresmikan Kota Adminstratif Palu dan sekaligus melantik Drs H Kiesman
Abdullah sebagai Walikota Administratif Palu yang pertama.
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu.
Dalam perkembangannya Kota
Administratif Palu telah menunjukkan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang
sesuai dengan peranan dan fungsinya. Sehingga jelas Armin hal itu perlu diikuti
dengan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan wilayah.
Hal ini memberi gambaran mengenai
dukungan kemampuan dan potensi untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Maka atas
pertimbangan tersebut, tahun 1994 Kota Administratif Palu ditingkatkan
statusnya menjadi Kotamadya, berdasarkan UU RI Nomor 4 Tahun 1994 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu.
Pada 12 Oktober 1994, Menteri
Dalam Negeri RI, Mohammad Yogie S Memet di lapangan upacara Vatulemo Palu,
meresmikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu sebagai daerah otonom yang ke-5 di
Propinsi Daerah Tingkat I Sulteng. Sekaligus melantik Rully A Lamadjido SH
sebagai Pj Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu, yang sebelumnya
menjabat sebagai Walikota Administratif Palu.
Pada 9 Oktober 1995, Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulteng, atas nama Menteri Dalam Negeri RI melantik dan
mengambil sumpah Rully A. Lamadjido, SH sebagai Wali Kotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Palu definitif periode tahun 1995 – 2000.
Adapun wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Palu terdiri dari 4 wilayah Kecamatan dan 36 desa/kelurahan, yaitu
Kecamatan Palu Utara 8 desa, Kecamatan Palu Timur 5 Kelurahan, Kecamatan Palu
Selatan 9 Kelurahan dan Kecamatan Palu Barat 14 Kelurahan.
Dengan terbentuknya Kotamadya
Daerah Tingkat II Palu, maka Kota Administratif Palu dalam wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Donggala dihapus. Selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II dan kelengkapan perangkat pemerintahan, antara
lain Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat II, Sekretariat DPRD Tingkat II,
Dinas-Dinas Daerah dan Instansi lainnya.
Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, maka sebutan Kotamadya Daerah Tingkat II
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, berubah menjadi Kota.
Seiring perkembangannya, pada
tahun 2012 wilayah Kota Palu dilakukan pemekaran 4 wilayah Kecamatan dan hingga
saat ini wilayah Kota Palu terdiri atas 8 Kecamatan dan 46 Kelurahan.
Berikut urutan Kepala Daerah
maupun Ketua DPRD sejak berdirinya Kota Palu tahun 1978 sampai dengan sekarang.
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu :
1. Drs H Kiesman Abdullah,
Walikota Administratif Palu Tahun
1978 sampai 1986
2. Drs Syahbuddin Labadjo
Wali kota Administratif Palu,
Tahun 1986 – 1994.
3.Rully A Lamadjido SH
Wali Kota Administratif Palu,
Tahun 1994 – 2000 dan tahun 1994 dilantik sebagai Pj Wali Kotamadya Kepala
Daerah Tingkat II Palu menjabat sampai dengan tahun 1995. Kemudian tahun 1995
dilantik sebagai Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu definitif, menjabat
sampai dengan tahun 2000
4. H Baso Lamakarate dan Suardi
Suebo sebagai Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2000 sampai 2004.
5. Suardin Suebo, Wali Kota Palu,
Tahun 2004 sampai 2005.
6. H Rusdy Mastura dan H Suardin
Suebo, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2005 sampai 2010.
Tanggal 30 Juli 2008 H Suardin
Suebo mengundurkan diri sebagai Wakil Wali Kota Palu karena mengikuti Pilkada
di Kabupaten Donggala.
Untuk mengisi kekosongan jabatan
Wakil Wali Kota Palu, melalui rapat paripurna DPRD Kota Palu tanggal 15
September 2008 menyetujui H. Andi Mulhanan Tombolotutu SH untuk mendampingi H
Rusdy Mastura melanjutkan masa jabatan Wakil Wali Kota Palu sampai dengan tahun
2010.
7. H Rusdy Mastura dan Andi Mulhanan Tombolotutu, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2010 sampai 2015
8. Drs Moh Hidayat Lamakarate M
Si, Penjabat Wali Kota Palu, Tahun 2015 sampai 2016
9. Drs Hidayat M Si dan Sigit
Purnomo Said, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2016 sampai 2021.
10. H Hadianto Rasyid SE dan dr.
Reny A Lamadjido SP. PK M Kes, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun
2016 sampai sekarang
Berikutnya susunan Ketua DPRD Palu.
Pertama : KOL. Inf Sampe Pamelay,
Ketua DPRD Tingkat II Palu Periode 1995 – 1997.
Kedua : KOL Inf HI Ahmad Madjid,
Ketua DPRD Tingkat II Palu Palu Periode 1997 – 1999
Ketiga : Rusdy Mastura
Ketua DPRD Kota Palu Periode 1999
-2004.
Keempat : Andi Mulhanan
Tombolotutu SH,
Ketua DPRD Kota Palu Periode 2004
-2008.
Kelima : H.M Sidik Ponulele S Sos
, Ketua DPRD Kota Palu Periode 2008 -2009. Sidik terpilih kembali menjadi ketua
DPRD Palu untuk periode
2009 – 2014.
Ketujuh : Mohamad Iqbal Andi
Mangga SH, Ketua DPRD Kota Palu Periode 2014 s.d 2017
Delapan : Drs H Ishak Cae, M.Si
Ketua DPRD Kota Palu Periode 2017
– 2019.
Smbilan : Moh Ikhsan Kalbi, Ketua
DPRD Kota Palu Periode 2019 – 2022.
Sepuluh : Armin ST,
Ketua DPRD Kota Palu Periode 2022
hingga 27 September 2023.
Armin menambahkan, dengan
diresmikannya Palu sebagai Kota Administratif oleh Menteri Dalam Negeri RI,
tanggal 27 September 1978, maka tanggal tanggal 27 September 1978 tersebut
ditetapkan menjadi Hari Jadi Kota Palu.
Satu hal yang tidak kurang pentingnya jelas Armin, adalah lahirnya Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Palu Nomor 2 Tahun 1995 yang diganti dengan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2000 tentang Lambang Daerah Kota Palu.
Peraturan daerah ini selain
memvisualisasikan eksistensi Kota Palu, juga melambangkan semangat perjuangan dan
cita-cita luhur yang dipatrikan dalam bentuk motto : Maliu Ntinuvu. Yang
hakikatnya terkandung pesan bahwa “Pengabdian yang tulus dilandasi dengan
semangat persatuan dan kesatuan yang kokoh dengan senantiasa mendapat lindungan
Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan pembangunan demi kehidupan yang makmur,
sejahtera dan Lestari.
Armin menyebut, uraian singkat
sejarah Kota Palu tersebut di yakini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak
hal-hal yang belum di tulis terutama berkenaan dengan pelaksanaan proses
perjuangan pembentukan maupun dalam pelaksanaan roda pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan. (TIM).
Sumber di SINI
February 13, 2025 | Labels: Kareba | 0 Comments
Sejarah SUKU KAILI
Sejarah Suku Kaili
Suku Kaili adalah
suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala,
Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung
Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, danGunung Raranggonau. Mereka juga
menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una danKabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili
mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu,
Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah
Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
Untuk menyatakan “orang Kaili”
disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix “To” yaitu To Kaili.
Ada beberapa
pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan
bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah
Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi
Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya
menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga.
Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan
rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada
saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut
surut.
Menurut cerita
(tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang
pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan
bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada
saat itu, Bangga.
Suku Kalili atau
etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun etnik
sendiri. untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara rumpun
suku kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili
ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma, rumpun kaili da’a, rumpun kaili
unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare’e, rumpun kaili
doi, rumpun kaili torai, dll.
Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari
dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan
sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa
menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun, suku Kaili memiliki
lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini berarti
“tidak”. Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa
Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang)
masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang
dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan
terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Mandar dan
bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Tondo,vatu
tela,Talise,Lasoani,Poboya,Kavatuna,Sou love dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili
sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde
(Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,
Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa
Da’a (Porame, Balane, Uwemanje, Rondingo, Pobolobia, Kayumpia, Wayu, Dombu,
Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso).
Semua kata dasar bahasa tersebut berarti “tidak”.
Kehidupan
Mata pencaharian
utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam
kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi
mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan
beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani
dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke
kalimantan.
Makanan asli suku
Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah
Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim
paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi
dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku
Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi (cangkul),
pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe,
meka, rompo, jala dan tagau.
Budaya
Sebagaimana
suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat
istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki
Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan
sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan
upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano,
no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan
kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji
kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan
ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan
Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera
yang mengandung animisme.
Setelah masuknya
agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara
upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga
upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama)
dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya
berdasarkan ajaran agama Islam.
Salahsatu kerajinan
masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita
didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa
Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan
Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri
berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga
sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna
Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga),
Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi
masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu
yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai
oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya
agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan
kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan
(Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah
Kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal
dariMinangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie. Ia beserta pengikutnya datang ke
Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah
Kaili, Syekh Abdullah Raqie dikenal dengan nama Dato Karama/Datuk Karama (Datuk
Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan dia yang berada di luar
kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu
cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan
masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta
adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU
(kebersamaan/gotong royong)
Suku atau Orang
Kaili oleh sebagian ahli ilmu bangsa-bangsa disebut juga sebagai orang Toraja
Barat atau Toraja Palu, Toraja Parigi-Kaili, Toraja Sigi. Mereka berdiam di
wilayah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah populasinya
sekitar 300.000-350.000 jiwa. Suku bangsa Kaili sebenarnya terdiri dari banyak
sub-suku bangsa.
Dalam pergaulan
antar suku bangsa di Sulawesi bagian tengah setiap nama suku bangsa dilengkapi
dengan prefiks to yang berarti “orang”. Sehingga orang Kaili disebut Tokaili
atau To Kaili. Sub suku yang lain juga adalah Palu (To-ri-Palu), Biromaru,
Dolo, Sigi, Pakuli, Bangga, Baluase, Sibalaya, Sidondo, Lindu, Banggakoro, Tamungkolowi,
Baku, Kulawi, Tawaeli (Payapi), Susu, Balinggi, Dolago, Petimpe, Raranggonau
dan Parigi.
Selain itu ada pula
di antara kelompok-kelompok mereka yang digolongkan orang luar sebagai
masyarakat “terasing”, karena jarang sekali berhubungan dengan dunia luar.
Sementara itu di kalangan berbagai sub-suku bangsa tersebut terjadi lagi
penggolongan menurut wilayah pemukiman dan hubungan kekerabatan.
Bahasa Kaili
termasuk golongan “bahasa tak” atau bahasa ingkar. Bahasa Kaili terbagi pula ke
dalam beberapa dialek, di samping adanya bahasa-bahasa sub-suku bangsa tertentu
yang dianggap asing bagi sub-suku bangsa yang lain. Dialek-dialek itu antara
lain dialek Kaili, dialek Tomini, dialek Dampelas, dialek Balaesang, dialek
Pipikoro, Bolano, Patapa, dan lain-lain.
Mata pencaharian
utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Tanaman yang
biasa mereka tanam adalah padi, jagung dan sayur-sayuran. Selain itu, pada masa
sekarang mereka juga bertanam cengkeh, kopi dan kelapa. Dari hutan mereka mengumpulkan
kayu hitam, damar, dan rotan yang cukup mahal harganya. Sebagian di antara
mereka menangkap ikan di sekitar pantai dan muara sungai. Mereka juga terkenal
sebagai penenun kain tradisional yang cukup terkenal, yaitu sarung Donggala.
Struktur sosial
masyarakat Kaili pada masa dulu terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama
adalah maradika, yaitu golongan bangsawan keturunan bekas raja-raja Kaili dari
cikal bakal mereka yang dikenal sebagai to manuru, kedua adalah lapisan to
guranungata, yaitu keturunan para pembesar bawahan raja-raja zaman dulu, ketiga
lapisan to dea, yaitu orang kebanyakan, dan terakhir lapisan batua atau hamba
sahaya. Rajanya mereka sebut magau. Dalam pemerintahannya setiap magau biasanya
dibantu oleh beberapa orang tokoh, antara lain, madika malolo (raja muda),
madika matua (mangkubumi yang mengurus kemakmuran), ponggawa (pemimpin adat
perkauman), galara (penyelenggara hukum peradilan adat), tadulako (panglima
atau hulubalang pertahanan dan keamanan), pabicara (semacam hakim), sekarang
pelapisan sosial seperti ini semakin hilang.
Orang Kaili termasuk salah satu masyarakat yang mengembangkan permainan tradisional sepak raga yang mereka sebut raego atau dero. Dalam pesta-pesta perkawinan dan pertemuan umum mereka suka membacakan seni berpuisi yang disebut waino, isinya merupakan pantun sindiran bersahut-sahutan antara orang muda laki-laki dan perempuan.
Sumber : di SINI
February 09, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Sejarah Singkat Kota PALU
Sejarah Kota Palu
Sejarah sebuah kota
yang merupakan ibu kota Proinsi Sulawesi Tengah tepatnya adalah Kota Palu. Kota
ini di huni oleh sebuah suku yaitu Kaili. Palu yang berada tepat di
tengah-tengah pulau Sulawesi, di huni oleh banyak suku dari berbagai daerah di
sekitarnya. Suku asli yang lama tinggal di memiliki sejarah berdasarkan
penelusuran tempo dulu. Peradaban orang-orang kaili yang mendiami kota Palu
terletak di pegunungan yang mengintari laut Kaili (saat itu kata Palu belum
digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa
Kerajaan lokal. To-Kaili juga terdiri dari beberapa subetnik Kaili diantaranya
To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, To-Dolo, To-Kulawi, To-Banggakoro, To-Bangga,
To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Tavaili, To-Parigi, To-Kulavi dan masih banyak lagi
subetnis Kaili lainnya. To-Kaili mendiami hampir seluruh seluruh Kota Palu,
Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong. Selain itu to-Kaili juga
mempunyai beberapa dialek diantaranya dialek Ledo, Rai, Tara, Ija, Edo/Ado,
Unde, dan lain-lain. Dari semua dialek yang ada, dialek Ledo merupakan dialek
yang umum di gunakan. Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakan dengan
kata “sangkal”, karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengertian “tidak”. Kaili sendiri konon katanya diambil dari satu
jenis pohon yang bernama Kaili (saat ini sudah punah) sebuah pohon yang sangat
besar dan tinggi yang menjadi penanda daratan bagi orang-orang yang memasuki
teluk Kaili (teluk Palu dulu bernama teluk Kaili). Pohon Kaili ini diperkirakan
terletak diantara Kalinjo (sebelah timur Ngata Baru) dan Sigimpu (sebelah
Tenggara desa Bora). ditengarai pohon ini terletak di Ngata Kaili (sebuah
kampung yang terletak di sebelah selatan Paneki, saat ini masih didiami oleh
masyarakat etnik Kaili).
Sejarah Kota Palu
dan Suku Kaili dalam sejarah La Galigo tercatat satu riwayat Sawerigading, yang
pernah menginjakan kakinya di tanah Kaili, peristiwa ini terjadi sekitar abad
8-9 M. Cerita tentang Sawerigading sangat populer di masyarakat Bugis dan juga
masyarakat Kaili. Peristiwa ini juga merupakan cikal bakal terjalinnya hubungan
dagang antara Kerajaan-Kerajaan di Tanah Kaili khususnya Kerajaan Banawa dan
Kerajaan Sigi. Teluk Kaili dahulu sangat luas yang tepi pantai sebelah barat
berada di Desa Bangga, di belah timur sampai ke Desa Bora dan mengintari Desa
Loru. Bisa di bayangkan seperti apa lembah Palu pada saat itu. proses surutnya
laut teluk Kaili diperkirakan terjadi sebelum Abad 16, sebab pada Abad 16 sudah
ada Kerajaan Palu.
Usia kota Palu
Pada Abad 16 dalam
Aksara Lontara telah di sebutkan satu Kerajaan di tanah Kaili yang bernama
Kerajaan Palu. punhalnya para intelektual belada pada Abad 18 telah menggunakan
kata Palu untuk menunjuk daerah lembah Kaili. Patut ditelusuri kapan tepatnya
penggunaan kata Palu untuk Kota Palu sebab hal ini dapat mengungkap tabir
peradaban masyarakat Kaili. Sayangnya, masyarakat Kaili tidak menganut budaya
tulis, melainkan budaya lisan. Hal ini disebabkan karena orang Kaili mempunyai
satu filosofi bahwa tubuh adalah dunia yang kecil, dan apun yang terjadi di
dunia merupakan kejadian dalam diri. Dengan kata lain tubuh adalah rangkaian
catatan-catatan yang terus mengalir dari waktu ke waktu.
Pengertian Kaili
secara lingual lebih merujuk kepada tubuh, tempat mengalirnya darah. No -Kaili
= mengaliri, dari hulu ke hilir memberi kehidupan dan pengalaman baru kepada
apapun yang dilaluinya. Dari semua peradaban to-Kaili yang coba diungkap disini
masih ada lagi satu peadaban yang di tengarai juga sangat tua yaitu peradanan
Lando, yaitu peradaban to-Kaili yang terletak diantara raranggonau dan tompu,
dan ada satu Kerajaan Kaili tertua yang bernama Kerajaan Sidima yang terletak
di Negeri Kalinjo (sebelah timur Tompu). Namun, kurangnya literatur menyebabkan
pembahasan ini belum dapat di publikasikan.
Palu adalah “Kota
Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu
sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes).
Awal mula pembentukan Kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di
Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya
mereka sampai suatu tempat yang sekarang ini disebut Boya Pogego.
Kota Palu bermula
dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang
bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama
Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat yang disebut Patanggota. Salah
satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya
dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu menjadi salah satu kerajaan yang
dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan
terhadap Kerajaan Palu.
Belanda pertama kali
berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk
mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur
Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di
Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa Perang
Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke
Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888
Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia
Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja
Palu :
Pue Nggari (Siralangi) 1796 –
1805
I Dato Labungulili 1805 – 1815
Malasigi Bulupalo 1815 – 1826
Daelangi 1826 – 1835
Yololembah 1835 – 1850
Lamakaraka 1850 – 1868
Maili (Mangge Risa) 1868 – 1888
Jodjokodi 1888 – 1906
Parampasi 1906 – 1921
Djanggola 1921 – 1949
Tjatjo Idjazah 1949
– 1960Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah
Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah
satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya
dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya
Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal
25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian
dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan
ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :
Swapraja Palu
Swapraja Dolo
Swapraja Kulawi
Pertumbuhan Kota
Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda
kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat
masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun
masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari
pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II
Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya
melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1978.
Sumber di SINI
February 09, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Sejarah Singkat TIPO
SEJARAH SINGKAT TIPO
Dalam budaya di
Tanah Kaili sangat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan “Notutura”.
Notutura bermakna menyampaikan sesuatu hal yang dianggap penting kepada orang
lain dengan cara bertutur atau menyampaikan secara lisan yang dalam bahasa
kaili disebut “potutura”. Notutura ini tidak sama dengan sekedar berceritra, sehingga apabila ada orang tua yang
akan menyampaikan potutura maka harus didengarkan secara seksama oleh orang
yang mendengarkan karena didalamnya banyak pesan-pesan moral yang akan diambil
hikmah dan manfaatnya.
Hal semacam ini
dapat dimaklumi sebagai suatu sarana untuk menyampaikan peristiwa atau sejarah
yang terjadi jauh sebelumnya kepada generasi selanjutnya, karena dalam budaya
di tanah kaili tidak terdapat aksara yang dapat digunakan untuk menulis suatu
pesan yang akan disampaikan kepada orang lain.
Menurut potutura
yang berkembang di masyarakat Tipo hingga sekarang ini, nama daerah Tipo dahulu
disebut dengan “Katepuna” yang beasal dari satu suku kata dalam Bahasa Kaili
yang artinya “Penyelesaian” dimana setiap timbul permasalahan atau
perkara-perkara yang terjadi di kampung-kampung atau desa-desa lain di Lembah
Palu selalu diselesaikan di tempat ini, dan apabila perkara tersebut telah
dapat diselesaikan secara musyawarah maka disebutlah “Natepumo” yang berarti
sudah selesai, sehingga menjadi popoler daerah tersebut dikenal dengan nama
Katempuna. Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan musyawarah masyarakat
bersama tokoh adat dan tokoh agama, nama Ketepuna diubah menjadi Tipo yang secara
etimologis berasal dari kata (tepu) tersebut.
Untuk menguatkan
nama Katempuna sebagai tempat penyelesaian yang kemudian berubah menjadi Tipo,
dibuktikan dengan adanya penyelesaian dalam pembentukan Provinsi Sulawesi
Tengah menjadi provinsi tersendiri, yang ditanda tangani oleh Gubernur Sulawesi
Utara Tengah (Sulluteng) F.Y. Tumbelaka di Dusun Katoyo Kampung Tipo pada
tanggal 13 April 1963. Saksi hidup yang merupakan sumber informasi menuturkan
bahwa SK tersebut ditanda tangani di atas batu besar dibukit Pantai, dan sampai
saat ini batu besar yang dimaksudkan tersebut masih ada.
Penandatanganan SK
yang dilaksanakan di Tipo juga terjadi karena F.Y. Tumbelaka mempunyai hoby
berenang sehingga dia memilih salah satu tempat yang dapat di jadikan tempat
wisata, yaitu Pantai di Kampung Tipo. Sehingga pada masa kepala kampung dijabat
oleh Lamasido, beliau menamakan permandian tersebut dengan nama Pantai
Tumbelaka, yang dikenal sampai saat ini.
Selanjutnya
terbentuknya Kelurahan Tipo tidak terlepas dari terbentuknya Kota Administratif
Palu yang disahkan pada tanggal 27 september 1982, dan berdasarkan peraturan
pemerintah No.18 tahun 1978 daerah tipo resmi menjadi bagian dari diwilayah
Kota Administratif Palu yang kemudian menjadi daerah otonom dengan sebutan Kota
Palu.
Sumber di SINI Tutura TIPO
February 09, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments
Pembukaan
Notutura bermakna menyampaikan sesuatu hal yang dianggap penting kepada orang lain dengan cara bertutur atau menyampaikan secara lisan yang dalam bahasa kaili disebut “potutura”. Dalam budaya di Tanah Kaili sangat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan “Notutura”. Notutura ini tidak sama dengan sekedar berceritra, sehingga apabila ada orang tua yang akan menyampaikan potutura maka harus didengarkan secara seksama oleh orang yang mendengarkan karena didalamnya banyak pesan-pesan moral yang akan diambil hikmah dan manfaatnya.
Hal semacam ini
dapat dimaklumi sebagai suatu sarana untuk menyampaikan peristiwa atau sejarah
yang terjadi jauh sebelumnya kepada generasi selanjutnya, karena dalam budaya
di tanah kaili tidak terdapat aksara yang dapat digunakan untuk menulis suatu
pesan yang akan disampaikan kepada orang lain.
February 08, 2025 | Labels: Tutura | 0 Comments