Peta Biromaru

 



Peta lokasi kerajaan Biromaru (1906)

Kalau dalam Peta Paloe tahun 1906 masih minim deskripsi desa desa sekitar maka dalam tahun 1916 ini, nampak lebih rame dalam menggambarkan desa desa sekitar Paloe.

Peta dibuat oleh Alb. C. Kruyt.

Asal Mula Nama SIGI

 Asal Mula Nama SIGI

Asal Mula Nama PALU

 Asal Mula Nama Palu

Asal Mula Nama KAILI

 Asal Mula Nama Kaili.

Sejarah Desa Kalukubula

 

                                                         Foto : Bersama Tupu Tihaya

Sejarah Singkat Desa Kalukubula

          Pada zaman dahulu ada seorang pemburu, ia mengejar buruaannya yang diduga sudah pergi menuju sebuah bukit disebeh timur, yaitu bukit Silonga, karena sudah lama dan sudah jauh ia mengejar, akhirnya pemburu itu tidak mau lagi meneruskan pengejarannya. Ia menyuruh orang Silonga untuk mengejar binatang buruannya itu.

          Ada 2 orang silonga jagoan yang bersedia mengejar buruan tadi, seorang diantaranya bernama Lanoa, melalui hutan belantaran namun keduanya tidak pernah merasa lelah. Tidak akan puas rasanya kalau mereka tidak menemukan binatang buruan itu. Dengan tidak disangka-sangka mereka tiba pada sebuah padang belantara, disitulah mereka sempat melihat jejak binatang buruan, lalu pengejaran dilanjutkan terus. Setelah Lanoa, dari jarak jauh melihat binatang buruan itu sedang beristirahat dibawah pohon kayu, lalu disiapkannya tombaknya, sekali tombak saja robohlah binatang buruan itu.

          Binatang buruan itu mereka bawa kesuatu tempat dibawah sebatang pohon kayu besar yang sangat tinggi, Lanoa asyik memperhatikan pohon yang tinggi itu, ia melihat dibawah pohon itu banyak sekali tumbuh kayu-kayu kecil yang hampir serupa dengan pohon itu. “Apa namanya pohon ini ?” Tanya Lanoa , “Saya tidak tahu, “ jawab temannya. Mereka merasa heran sekali melihat jenis kayu itu. Lanoa ingin memakan buahnya tetapi ia takut jangan –jangan membahayakan, namun demikian ia mencoba meminum airnya. Rasanya enak, air buah itulah yang menjadi air minumnya, karena belum puas mereka mencoba pulah memakan dagingnya yang putih warnanya, akhirnya Lanoa menamakan buah itu “ Kalukubula “.

          Karena tertarik akan tempat itu, maka kedua orang itu tidak mau lagi pulang ke kampungnya di Silonga. Di lembah yang sangat luas yang mereka namakan “Kalukubula “ itu, mereka mulai membuka kebun. Sisa bekal dari Silonga berupa setongkol jagung, mereka tanam dikebun yang baru dibuat itu.

          Dari jauh disebelah timur, yaitu orang Lando melihat asap api mengepul dilembah itu, seorang diantaranya bernama Ravulando berkata : “Coba lihat disebelah barat dilembah itu, ada asap api, tentu ada orang disana.” Jawab temannya : “Saya kira benar apa yang kau katakan itu.” Karena mereka yakin maka kedua orang Lando itu segera berangkat menuju lembah sumber asap api itu. Setibanya disana, Lanoa terkejut sambil bertanya : “Siapa gerangan kalian ini.” Jawab orangitu :”Kami berasal dari Lando.” Lanoa menjelaskan bahwa mereka datang ditempat itu karena mengejar babi buruan orang Mantendo (Pakuli). Dikatakannya bahwa pemburu itu tidak mampu lagi mengejar buruannya karena sudah lelah. Lanoa menambahkan bahwa buruan orang Pakuli itu datang di Silonga lalu dikejar terus oleh Lanoa dan temannya sampai di lembah itu sehingga terbunuh dan dagingnya telah dimakan pula oleh Lanoa dan temannya.

          Kemudian orang Tara dari sebelah utara, seorang diantaranya bernama Tadabia, dan kemudian orang Pulu dari sebelah barat, seorang diantaranya bernamaTorivatu, kedatangan mereka karena alasan yang sama disebabkan karena melihatasap api mengepul di lembah itu. Jadi ada 8 orang penghuni lembah “Kalukubula” yaitu yang berasal dari Silonga, Lando,Tara dan Pulu. Mereka mulai membuka tanah kebun dan ladang. Karena orang Silonga yang pertama datang ditempat itulagipula dianggap sebagai penghuni pertama, maka telah disepakati bersama bahwa merekalah yang menentukan luas tanah yang akan dikerjakan oleh setiap orang. Jadi Lanoa dan seorang lagi temannya itu yang berhak menentukan luas tanah yang akan dibuat kebun atau ladang.

          Lama kelamaan berdatanganlah orang-orang dari tempat yang jauh sehingga lembah itu menjadi padat penduduknya. Setiap penghuni yang baru datang diharuskan memberitahukan pada orang Silonga, orang Silonga itulah yang akan menunjukan tempat atau tanah di sebelah mana yang akan mereka kerjakan sebagai kebun. Dengan demikian setiap orang tidak bebas memilih tanah yang akan dibuatkebun. Nama “Kalukubula “ diambil dari bahasa Ledo / Kaili, Kaluku berarti Kelapa dan Bula berarti Putih. Jadi“ Kalukubula” artinya Kelapa Putih.


Sumber : Tutura TUPU TIHAYA

Riwayat Berdirinya Kota Palu.

 



          Ketua DPRD Kota Palu, Armin, membacakan sejarah singkat berdirinya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-45 kota Palu tahun 2023 di halaman Kantor Wali Kota Palu, Rabu 27 September 2023.

Armin menjelaskan, sebelum proklamasi kemerdekaan, Kota Palu awalnya bermula dari kesatuan empat kampung. Yaitu Besusu, Tanggabanggo yang sekarang bernama Kamonji. Panggovia yang sekarang bernama Lere, Boyantongo yang sekarang bernama Kelurahan Baru.

Masyarakat dari 4 kampung itu membentuk satu Dewan Adat disebut ‘Patanggota’. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan.

Setelah masa kerajaan telah ditaklukan pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian ‘Lange Kontruct’ atau perjanjian panjang yang akhirnya diubah menjadi ‘Karte Vorklaring atau perjanjian pendek hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan Daerah Administratif pada tanggal 25 Februari 1940. Saat itu Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi onderafdeling.

Onderafdeling Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yakni Swapraja Palu, Swapraja Sigi Dolo dan Swapraja Kulawi.

Kemudian masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

Pembubaran Daerah Sulteng yang dibentuk berdasarkan peraturan pembentukan Daerah Sulteng tanggal 2 Desember 1948, yang telah disahkan dengan penetapan Residen Manado tanggal 25 Januari 1949 No. R.21/1/4, menjadikan wilayah Sulteng terbagi dalam 2 daerah swatantra yaitu Daerah Donggala dan Daerah Poso.

Daerah Donggala meliputi daerah Administratif Donggala dengan tempat kedudukan pemerintahan daerahnya di Palu. Hal ini berdasar pada PP Nomor 33 Tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulteng dan pembagian wilayahnya dalam daerah-daerah swatantra.

Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi, daerah-daerah swapraja dan swatantra yang ada dibubarkan dan dibentuk daerah-daerah tingkat II.

Pembubaran ini dilaksanakan dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah tanggal 12 Januari 1961 yang direalisir tahun 1963.

Pembentukan Kota Administratif Palu.

Pembentukan wilayah Kota Administratif Palu atas dasar asas dekontrasi sesuai UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu dalam kedudukannya sebagai Ibukota Provinsi Daerah Tingkat (Dati) I Sulteng sekaligus ibukota Kabupaten Dati II Donggala mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.

Menurut Armin, berlatar belakang pertumbuhan tersebut, dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat dan keinginan rakyat di daerah ini untuk mencetuskan pembentukan Pemerintahan wilayah tersendiri.

Maka sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964 yang diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974. Oleh Pemerintah Dari I Sulteng dan Pemerintah Dati II Donggala mempersiapkan Palu menjadi Kota Administratif.

Selanjutnya, tahun 1978, Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Palu. Guna terwujudnya tertib pemerintahan serta pembinaan wilayah, maka wilayah Kota Administratif Palu dibagi atas 2 Kecamatan, yakni Kecamatan Palu Barat dengan 17 Kampung dan Kecamatan Palu Timur dengan 11 Kampung.

Ditahun yang sama, tepatnya tanggal 27 September 1978, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, H Amir Mahmud meresmikan Kota Adminstratif Palu dan sekaligus melantik Drs H Kiesman Abdullah sebagai Walikota Administratif Palu yang pertama.

Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu.

Dalam perkembangannya Kota Administratif Palu telah menunjukkan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang sesuai dengan peranan dan fungsinya. Sehingga jelas Armin hal itu perlu diikuti dengan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan wilayah.

Hal ini memberi gambaran mengenai dukungan kemampuan dan potensi untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Maka atas pertimbangan tersebut, tahun 1994 Kota Administratif Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya, berdasarkan UU RI Nomor 4 Tahun 1994 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu.

Pada 12 Oktober 1994, Menteri Dalam Negeri RI, Mohammad Yogie S Memet di lapangan upacara Vatulemo Palu, meresmikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu sebagai daerah otonom yang ke-5 di Propinsi Daerah Tingkat I Sulteng. Sekaligus melantik Rully A Lamadjido SH sebagai Pj Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu, yang sebelumnya menjabat sebagai Walikota Administratif Palu.

Pada 9 Oktober 1995, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulteng, atas nama Menteri Dalam Negeri RI melantik dan mengambil sumpah Rully A. Lamadjido, SH sebagai Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu definitif periode tahun 1995 – 2000.

Adapun wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Palu terdiri dari 4 wilayah Kecamatan dan 36 desa/kelurahan, yaitu Kecamatan Palu Utara 8 desa, Kecamatan Palu Timur 5 Kelurahan, Kecamatan Palu Selatan 9 Kelurahan dan Kecamatan Palu Barat 14 Kelurahan.

 

Dengan terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Palu, maka Kota Administratif Palu dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala dihapus. Selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II dan kelengkapan perangkat pemerintahan, antara lain Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat II, Sekretariat DPRD Tingkat II, Dinas-Dinas Daerah dan Instansi lainnya.

Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebutan Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, berubah menjadi Kota.

Seiring perkembangannya, pada tahun 2012 wilayah Kota Palu dilakukan pemekaran 4 wilayah Kecamatan dan hingga saat ini wilayah Kota Palu terdiri atas 8 Kecamatan dan 46 Kelurahan.

Berikut urutan Kepala Daerah maupun Ketua DPRD sejak berdirinya Kota Palu tahun 1978 sampai dengan sekarang.

Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu :

1. Drs H Kiesman Abdullah,

Walikota Administratif Palu Tahun 1978 sampai 1986

2. Drs Syahbuddin Labadjo

Wali kota Administratif Palu, Tahun 1986 – 1994.

3.Rully A Lamadjido SH

Wali Kota Administratif Palu, Tahun 1994 – 2000 dan tahun 1994 dilantik sebagai Pj Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu menjabat sampai dengan tahun 1995. Kemudian tahun 1995 dilantik sebagai Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palu definitif, menjabat sampai dengan tahun 2000

4. H Baso Lamakarate dan Suardi Suebo sebagai Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2000 sampai 2004.

5. Suardin Suebo, Wali Kota Palu, Tahun 2004 sampai 2005.

6. H Rusdy Mastura dan H Suardin Suebo, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2005 sampai 2010.

Tanggal 30 Juli 2008 H Suardin Suebo mengundurkan diri sebagai Wakil Wali Kota Palu karena mengikuti Pilkada di Kabupaten Donggala.

Untuk mengisi kekosongan jabatan Wakil Wali Kota Palu, melalui rapat paripurna DPRD Kota Palu tanggal 15 September 2008 menyetujui H. Andi Mulhanan Tombolotutu SH untuk mendampingi H Rusdy Mastura melanjutkan masa jabatan Wakil Wali Kota Palu sampai dengan tahun 2010.

7. H Rusdy Mastura dan Andi Mulhanan Tombolotutu, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2010 sampai 2015

8. Drs Moh Hidayat Lamakarate M Si, Penjabat Wali Kota Palu, Tahun 2015 sampai 2016

9. Drs Hidayat M Si dan Sigit Purnomo Said, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2016 sampai 2021.

10. H Hadianto Rasyid SE dan dr. Reny A Lamadjido SP. PK M Kes, Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu, Tahun 2016 sampai sekarang

Berikutnya susunan Ketua DPRD Palu.

Pertama : KOL. Inf Sampe Pamelay, Ketua DPRD Tingkat II Palu Periode 1995 – 1997.

Kedua : KOL Inf HI Ahmad Madjid, Ketua DPRD Tingkat II Palu Palu Periode 1997 – 1999

Ketiga : Rusdy Mastura

Ketua DPRD Kota Palu Periode 1999 -2004.

Keempat : Andi Mulhanan Tombolotutu SH,

Ketua DPRD Kota Palu Periode 2004 -2008.

Kelima : H.M Sidik Ponulele S Sos , Ketua DPRD Kota Palu Periode 2008 -2009. Sidik terpilih kembali menjadi ketua DPRD Palu untuk periode

2009 – 2014.

Ketujuh : Mohamad Iqbal Andi Mangga SH, Ketua DPRD Kota Palu Periode 2014 s.d 2017

Delapan : Drs H Ishak Cae, M.Si

Ketua DPRD Kota Palu Periode 2017 – 2019.

Smbilan : Moh Ikhsan Kalbi, Ketua DPRD Kota Palu Periode 2019 – 2022.

Sepuluh : Armin ST,

Ketua DPRD Kota Palu Periode 2022 hingga 27 September 2023.

Armin menambahkan, dengan diresmikannya Palu sebagai Kota Administratif oleh Menteri Dalam Negeri RI, tanggal 27 September 1978, maka tanggal tanggal 27 September 1978 tersebut ditetapkan menjadi Hari Jadi Kota Palu.

Satu hal yang tidak kurang pentingnya jelas Armin, adalah lahirnya Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Palu Nomor 2 Tahun 1995 yang diganti dengan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2000 tentang Lambang Daerah Kota Palu.

Peraturan daerah ini selain memvisualisasikan eksistensi Kota Palu, juga melambangkan semangat perjuangan dan cita-cita luhur yang dipatrikan dalam bentuk motto : Maliu Ntinuvu. Yang hakikatnya terkandung pesan bahwa “Pengabdian yang tulus dilandasi dengan semangat persatuan dan kesatuan yang kokoh dengan senantiasa mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan pembangunan demi kehidupan yang makmur, sejahtera dan Lestari.

Armin menyebut, uraian singkat sejarah Kota Palu tersebut di yakini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak hal-hal yang belum di tulis terutama berkenaan dengan pelaksanaan proses perjuangan pembentukan maupun dalam pelaksanaan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. (TIM).


Sumber di  SINI

Sejarah SUKU KAILI

 

Sejarah Suku Kaili

          Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, danGunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una danKabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

Untuk menyatakan “orang Kaili” disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix “To” yaitu To Kaili.

          Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.

          Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

          Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun etnik sendiri. untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara rumpun suku kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma, rumpun kaili da’a, rumpun kaili unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare’e, rumpun kaili doi, rumpun kaili torai, dll.

Bahasa

Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Mandar dan bahasa Melayu.

 

Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Tondo,vatu tela,Talise,Lasoani,Poboya,Kavatuna,Sou love dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da’a (Porame, Balane, Uwemanje, Rondingo, Pobolobia, Kayumpia, Wayu, Dombu, Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti “tidak”.

Kehidupan

          Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.

          Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).

          Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi (cangkul), pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

Budaya

           Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.

          Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.

          Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.

          Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).

          Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).

          Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.

          Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah Kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dariMinangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah Kaili, Syekh Abdullah Raqie dikenal dengan nama Dato Karama/Datuk Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan dia yang berada di luar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.

          Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong)

          Suku atau Orang Kaili oleh sebagian ahli ilmu bangsa-bangsa disebut juga sebagai orang Toraja Barat atau Toraja Palu, Toraja Parigi-Kaili, Toraja Sigi. Mereka berdiam di wilayah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah populasinya sekitar 300.000-350.000 jiwa. Suku bangsa Kaili sebenarnya terdiri dari banyak sub-suku bangsa.

          Dalam pergaulan antar suku bangsa di Sulawesi bagian tengah setiap nama suku bangsa dilengkapi dengan prefiks to yang berarti “orang”. Sehingga orang Kaili disebut Tokaili atau To Kaili. Sub suku yang lain juga adalah Palu (To-ri-Palu), Biromaru, Dolo, Sigi, Pakuli, Bangga, Baluase, Sibalaya, Sidondo, Lindu, Banggakoro, Tamungkolowi, Baku, Kulawi, Tawaeli (Payapi), Susu, Balinggi, Dolago, Petimpe, Raranggonau dan Parigi.

          Selain itu ada pula di antara kelompok-kelompok mereka yang digolongkan orang luar sebagai masyarakat “terasing”, karena jarang sekali berhubungan dengan dunia luar. Sementara itu di kalangan berbagai sub-suku bangsa tersebut terjadi lagi penggolongan menurut wilayah pemukiman dan hubungan kekerabatan.

          Bahasa Kaili termasuk golongan “bahasa tak” atau bahasa ingkar. Bahasa Kaili terbagi pula ke dalam beberapa dialek, di samping adanya bahasa-bahasa sub-suku bangsa tertentu yang dianggap asing bagi sub-suku bangsa yang lain. Dialek-dialek itu antara lain dialek Kaili, dialek Tomini, dialek Dampelas, dialek Balaesang, dialek Pipikoro, Bolano, Patapa, dan lain-lain.

          Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Tanaman yang biasa mereka tanam adalah padi, jagung dan sayur-sayuran. Selain itu, pada masa sekarang mereka juga bertanam cengkeh, kopi dan kelapa. Dari hutan mereka mengumpulkan kayu hitam, damar, dan rotan yang cukup mahal harganya. Sebagian di antara mereka menangkap ikan di sekitar pantai dan muara sungai. Mereka juga terkenal sebagai penenun kain tradisional yang cukup terkenal, yaitu sarung Donggala.

          Masyarakat ini menggunakan sistem hubungan kekerabatan bilateral. Hubungan perjodohan yang menjadi dambaan lama adalah endogami dan kuatnya pengaruh orang tua dalam penentuan jodoh. Walaupun bentuk keluarga batih cukup berfungsi, akan tetapi kelompok kekerabatan yang terutama adalah keluarga luas bilateral yang mereka sebut ntina. Keluarga luas ini diaktifkan terutama dalam setiap upacara daur hidup. Akan tetapi masyarakat ini juga mengenal sistem pewarisan menurut keturunan ibu dan sistem menetap setelah kawin yang uksorilokal sifatnya.

          Struktur sosial masyarakat Kaili pada masa dulu terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah maradika, yaitu golongan bangsawan keturunan bekas raja-raja Kaili dari cikal bakal mereka yang dikenal sebagai to manuru, kedua adalah lapisan to guranungata, yaitu keturunan para pembesar bawahan raja-raja zaman dulu, ketiga lapisan to dea, yaitu orang kebanyakan, dan terakhir lapisan batua atau hamba sahaya. Rajanya mereka sebut magau. Dalam pemerintahannya setiap magau biasanya dibantu oleh beberapa orang tokoh, antara lain, madika malolo (raja muda), madika matua (mangkubumi yang mengurus kemakmuran), ponggawa (pemimpin adat perkauman), galara (penyelenggara hukum peradilan adat), tadulako (panglima atau hulubalang pertahanan dan keamanan), pabicara (semacam hakim), sekarang pelapisan sosial seperti ini semakin hilang.

          Pada masa sekarang sebagian besar orang Kaili menganut agama Islam. Sebelum agama Islam masuk pada abad ke-17, sistem kepercayaan lama mereka yang disebut Balia merupakan pemujaan kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Dewa tertinggi mereka sebut dengan berbagai gelar, seperti Topetaru (sang pencipta), Topebagi (sang penentu), Topejadi (sang pencipta). Setelah agama islam masuk para penganut dewa-dewa ini mengenal pula istilah Alatala bagi dewa tertingginya.

          Dewa kesuburan mereka sebut Buriro. Makhluk-makhluk halus yang menghuni lembah, gunung dan benda-benda yang dianggap keramat disebut tampilangi. Kekuatan-kekuatan gaib dari para dukun dan tukang tenung mereka sebut doti. Kegiatan religi Balia diadakan di rumah pemujaan yang disebut Lobo. Sistem pemujaan religi seperti diperkirakan sebagai salah satu sebab mengapa orang Kaili terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok keagamaan yang sering tertutup dan terasing sifatnya.

         Kegiatan saling menolong dalam kehidupan masyarakat Kaili terutama sekali terlihat dalam pelaksanaan upacara-upacara adat yang amat banyak memakan biaya. Saling tolong ini merupakan kewajiban setiap anggota kekerabatan dan mereka namakan sintuvu. Kegiatan gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kaili sekarang banyak mengambil dasarnya dari sintuvu itu.

          Orang Kaili termasuk salah satu masyarakat yang mengembangkan permainan tradisional sepak raga yang mereka sebut raego atau dero. Dalam pesta-pesta perkawinan dan pertemuan umum mereka suka membacakan seni berpuisi yang disebut waino, isinya merupakan pantun sindiran bersahut-sahutan antara orang muda laki-laki dan perempuan.



Sumber : di SINI

Sejarah Singkat Kota PALU

 

Sejarah Kota Palu

          Sejarah sebuah kota yang merupakan ibu kota Proinsi Sulawesi Tengah tepatnya adalah Kota Palu. Kota ini di huni oleh sebuah suku yaitu Kaili. Palu yang berada tepat di tengah-tengah pulau Sulawesi, di huni oleh banyak suku dari berbagai daerah di sekitarnya. Suku asli yang lama tinggal di memiliki sejarah berdasarkan penelusuran tempo dulu. Peradaban orang-orang kaili yang mendiami kota Palu terletak di pegunungan yang mengintari laut Kaili (saat itu kata Palu belum digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa Kerajaan lokal. To-Kaili juga terdiri dari beberapa subetnik Kaili diantaranya To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, To-Dolo, To-Kulawi, To-Banggakoro, To-Bangga, To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Tavaili, To-Parigi, To-Kulavi dan masih banyak lagi subetnis Kaili lainnya. To-Kaili mendiami hampir seluruh seluruh Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong. Selain itu to-Kaili juga mempunyai beberapa dialek diantaranya dialek Ledo, Rai, Tara, Ija, Edo/Ado, Unde, dan lain-lain. Dari semua dialek yang ada, dialek Ledo merupakan dialek yang umum di gunakan. Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakan dengan kata “sangkal”, karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengertian “tidak”.  Kaili sendiri konon katanya diambil dari satu jenis pohon yang bernama Kaili (saat ini sudah punah) sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi yang menjadi penanda daratan bagi orang-orang yang memasuki teluk Kaili (teluk Palu dulu bernama teluk Kaili). Pohon Kaili ini diperkirakan terletak diantara Kalinjo (sebelah timur Ngata Baru) dan Sigimpu (sebelah Tenggara desa Bora). ditengarai pohon ini terletak di Ngata Kaili (sebuah kampung yang terletak di sebelah selatan Paneki, saat ini masih didiami oleh masyarakat etnik Kaili).

          Sejarah Kota Palu dan Suku Kaili dalam sejarah La Galigo tercatat satu riwayat Sawerigading, yang pernah menginjakan kakinya di tanah Kaili, peristiwa ini terjadi sekitar abad 8-9 M. Cerita tentang Sawerigading sangat populer di masyarakat Bugis dan juga masyarakat Kaili. Peristiwa ini juga merupakan cikal bakal terjalinnya hubungan dagang antara Kerajaan-Kerajaan di Tanah Kaili khususnya Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Teluk Kaili dahulu sangat luas yang tepi pantai sebelah barat berada di Desa Bangga, di belah timur sampai ke Desa Bora dan mengintari Desa Loru. Bisa di bayangkan seperti apa lembah Palu pada saat itu. proses surutnya laut teluk Kaili diperkirakan terjadi sebelum Abad 16, sebab pada Abad 16 sudah ada Kerajaan Palu.

Usia kota Palu

          Pada Abad 16 dalam Aksara Lontara telah di sebutkan satu Kerajaan di tanah Kaili yang bernama Kerajaan Palu. punhalnya para intelektual belada pada Abad 18 telah menggunakan kata Palu untuk menunjuk daerah lembah Kaili. Patut ditelusuri kapan tepatnya penggunaan kata Palu untuk Kota Palu sebab hal ini dapat mengungkap tabir peradaban masyarakat Kaili. Sayangnya, masyarakat Kaili tidak menganut budaya tulis, melainkan budaya lisan. Hal ini disebabkan karena orang Kaili mempunyai satu filosofi bahwa tubuh adalah dunia yang kecil, dan apun yang terjadi di dunia merupakan kejadian dalam diri. Dengan kata lain tubuh adalah rangkaian catatan-catatan yang terus mengalir dari waktu ke waktu.

          Pengertian Kaili secara lingual lebih merujuk kepada tubuh, tempat mengalirnya darah. No -Kaili = mengaliri, dari hulu ke hilir memberi kehidupan dan pengalaman baru kepada apapun yang dilaluinya. Dari semua peradaban to-Kaili yang coba diungkap disini masih ada lagi satu peadaban yang di tengarai juga sangat tua yaitu peradanan Lando, yaitu peradaban to-Kaili yang terletak diantara raranggonau dan tompu, dan ada satu Kerajaan Kaili tertua yang bernama Kerajaan Sidima yang terletak di Negeri Kalinjo (sebelah timur Tompu). Namun, kurangnya literatur menyebabkan pembahasan ini belum dapat di publikasikan.

         Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan Kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai suatu tempat yang sekarang ini disebut Boya Pogego.

          Kota Palu bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat yang disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu.

          Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa Perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Berikut daftar susunan raja-raja Palu :

Pue Nggari (Siralangi) 1796 – 1805

I Dato Labungulili 1805 – 1815

Malasigi Bulupalo 1815 – 1826

Daelangi 1826 – 1835

Yololembah 1835 – 1850

Lamakaraka 1850 – 1868

Maili (Mangge Risa) 1868 – 1888

Jodjokodi 1888 – 1906

Parampasi 1906 – 1921

Djanggola 1921 – 1949

          Tjatjo Idjazah 1949 – 1960Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :

Swapraja Palu

Swapraja Dolo

Swapraja Kulawi

          Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.



Sumber di SINI

Sejarah Singkat TIPO

 

SEJARAH SINGKAT TIPO

          Dalam budaya di Tanah Kaili sangat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan “Notutura”. Notutura bermakna menyampaikan sesuatu hal yang dianggap penting kepada orang lain dengan cara bertutur atau menyampaikan secara lisan yang dalam bahasa kaili disebut “potutura”. Notutura ini tidak sama dengan sekedar berceritra, sehingga apabila ada orang tua yang akan menyampaikan potutura maka harus didengarkan secara seksama oleh orang yang mendengarkan karena didalamnya banyak pesan-pesan moral yang akan diambil hikmah dan manfaatnya.

          Hal semacam ini dapat dimaklumi sebagai suatu sarana untuk menyampaikan peristiwa atau sejarah yang terjadi jauh sebelumnya kepada generasi selanjutnya, karena dalam budaya di tanah kaili tidak terdapat aksara yang dapat digunakan untuk menulis suatu pesan yang akan disampaikan kepada orang lain.

          Menurut potutura yang berkembang di masyarakat Tipo hingga sekarang ini, nama daerah Tipo dahulu disebut dengan “Katepuna” yang beasal dari satu suku kata dalam Bahasa Kaili yang artinya “Penyelesaian” dimana setiap timbul permasalahan atau perkara-perkara yang terjadi di kampung-kampung atau desa-desa lain di Lembah Palu selalu diselesaikan di tempat ini, dan apabila perkara tersebut telah dapat diselesaikan secara musyawarah maka disebutlah “Natepumo” yang berarti sudah selesai, sehingga menjadi popoler daerah tersebut dikenal dengan nama Katempuna. Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan musyawarah masyarakat bersama tokoh adat dan tokoh agama, nama Ketepuna diubah menjadi Tipo yang secara etimologis berasal dari kata (tepu) tersebut.

          Untuk menguatkan nama Katempuna sebagai tempat penyelesaian yang kemudian berubah menjadi Tipo, dibuktikan dengan adanya penyelesaian dalam pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah menjadi provinsi tersendiri, yang ditanda tangani oleh Gubernur Sulawesi Utara Tengah (Sulluteng) F.Y. Tumbelaka di Dusun Katoyo Kampung Tipo pada tanggal 13 April 1963. Saksi hidup yang merupakan sumber informasi menuturkan bahwa SK tersebut ditanda tangani di atas batu besar dibukit Pantai, dan sampai saat ini batu besar yang dimaksudkan tersebut masih ada.

          Penandatanganan SK yang dilaksanakan di Tipo juga terjadi karena F.Y. Tumbelaka mempunyai hoby berenang sehingga dia memilih salah satu tempat yang dapat di jadikan tempat wisata, yaitu Pantai di Kampung Tipo. Sehingga pada masa kepala kampung dijabat oleh Lamasido, beliau menamakan permandian tersebut dengan nama Pantai Tumbelaka, yang dikenal sampai saat ini.

          Selanjutnya terbentuknya Kelurahan Tipo tidak terlepas dari terbentuknya Kota Administratif Palu yang disahkan pada tanggal 27 september 1982, dan berdasarkan peraturan pemerintah No.18 tahun 1978 daerah tipo resmi menjadi bagian dari diwilayah Kota Administratif Palu yang kemudian menjadi daerah otonom dengan sebutan Kota Palu.


Sumber di SINI Tutura TIPO

Isterahat

Penutupan

Pembukaan

           


Notutura bermakna menyampaikan sesuatu hal yang dianggap penting kepada orang lain dengan cara bertutur atau menyampaikan secara lisan yang dalam bahasa kaili disebut “potutura”. Dalam budaya di Tanah Kaili sangat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan “Notutura”. Notutura ini tidak sama dengan sekedar berceritra, sehingga apabila ada orang tua yang akan menyampaikan potutura maka harus didengarkan secara seksama oleh orang yang mendengarkan karena didalamnya banyak pesan-pesan moral yang akan diambil hikmah dan manfaatnya.

          Hal semacam ini dapat dimaklumi sebagai suatu sarana untuk menyampaikan peristiwa atau sejarah yang terjadi jauh sebelumnya kepada generasi selanjutnya, karena dalam budaya di tanah kaili tidak terdapat aksara yang dapat digunakan untuk menulis suatu pesan yang akan disampaikan kepada orang lain.