Wilayah Kerajaan Sejarah Kabupaten Donggala
SEJARAH KABUPATEN DONGGALA
Masa Sebelum Hindia Belanda
Kerajaan yang terdapat di
Kabupaten Donggala yang dikenal antara lain :
Kerajaan Palu
Kerajaan Sigi Dolo
Kerajaan Kulawi
Kerajaan Banawa
Kerajaan Tavaili
Kerajaan Parigi
Kerajaan Moutong
Selain kerajaan tersebut diatas
masih ada lagi kerajaan lain yang perlu diteliti secara mendalam keberadaannya,
tempat pemerintahannya dan hubungannya dengan kerajaan tersebut diatas.
Gelar Pejabat Pemerintah pada
waktu itu disebut : MAGAU, MADIKA, LANGGA NUNU, GALARA, PABISARA, dan
lain-lain.
Struktur, nama dan jabatan aparat
kerajaan dan jumlah Dewan Adat ditetapkan menurut kondisi, bahasa dan adat
istiadat yang berlaku dan membudaya oleh masyarakat pada daerahnya
masing-masing, ada yang sama dan ada pula yang berbeda.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Kedatangan Bangsa Belanda dengan
maksud menjajah daerah ini disambut dengan perlawanan oleh Raja-raja bersama
rakyatnya, sehingga perang pun tidak terhindarkan. Sejarah mencatat pecahnya
perang dibeberapa tempat, dimana rakyat melakukan perlawanan terhadap kolonial
Belanda, seperti :
Perang Sigi Dolo, Perang Kulawi,
Perang Banawa, Perang Palu, Perang Tatanga, Perang Tombolotutu, Perlawanan
Rakyat Parigi, dan lain-lain.
Pemerintah Hindia Belanda dengan
Politik “Devide Et Impera” atau politik adu domba terhadap tujuh kerajaan
tersebut, bertujuan untuk melemahkan dan melumpuhkan kekuatan raja-raja. Perang
tersebut diakhiri dengan penandatangan perjanjian yang dikenal dengan “Korte
Vorklaring” yang intinya adalah : Pengakuan terhadap kekuasaan Belanda atas
wilayah-wilayah kerajaan.
Setelah wilayah-wilayah kerajaan
ditaklukkan, dan berdasarkan desentralisasi
Wet 1904, maka seluruh daerah kekuasaan raja-raja tersebut
dijadikan Wilayah Administratif berupa distrik dan onder
distrik. Dari beberapa distrik ini
bergabung menjadi wilayah Swapraja atau Landschep (Zell Ghurturende
Landschappend) sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan dalam wilayah-wilayah kerajaan yang telah ada
pada waktu itu.
Selanjutnya sebagai tindak lanjut
atas pelaksanaan dari Korte Vorklaring, maka Pemerintah Hindia Belanda telah
menetapkan peraturan tentang daerah-daerah yang berpemerintahan sendiri yang
mulai berlaku pada tahun 1927 dan kemudian diubah tahun 1938 dengan nama
“ZELFBESTUURSREGELEN”.
Dalam perkembangan selanjutnya
daerah Donggala dijadikan AFDEELING DONGGALA yang meliputi :
Onderafdeeling Palu meliputi :
Lendschap Kulawi berkedudukan di
Kulawi
Lendschap Sigi Dolo berkedudukan
di Biromaru
Lendschap Palu berkedudukan di
Palu
Onderafdeeling Parigi meliputi :
Lendschap Parigi berkedudukan di
Parigi
Lendschap Moutong berkedudukan di
Tinombo
Onderafdeeling Donggala meliputi
:
Lendschap Banawa berkedudukan di
Banawa
Lendschap Tavaili berkedudukan di
Tavaili
Onderafdeeling Toli-toli meliputi
:
Lendschap Toli-toli berkedudukan
di Toli-toli
Masa Pemerintahan Jepang
Pada masa pendudukan tentara
Jepang tahun 1942 s/d 1945 kekuasaan pemerintahan berada dibawah pemerintahan
bala tentara Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang melanjutkan struktur Pemerintahan Daerah
menurut versi Pemerintah Belanda dalam bidang Dekonsentrasi dengan pemakaian
istilah dalam bahasa Jepang.
Pemerintahan yang otonom dapat
dikatakan tidak ada sama sekali karena Pemerintahan Jepang melarang kehidupan
politik bagi rakyat Indonesia. Pemerintah Jepang hanya melaksanakan bidang
Dekonsentrasi berdasarkan Osamu Soirei Nomor 12 dan 13 Tahun 1943. Oleh
karena masa pendudukan Jepang hanya dalam waktu yang singkat, maka peraturan
struktur Pemerintahan hampir tidak ada yang mengalami perubahan.
Masa Setelah Proklamasi RI
Masa Negara Indonesia Timur (NIT)
Negara Indonesia Timur adalah
Negara bagian pertama yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda sejak
berakhirnya perang ke II. Berdasarkan hasil-hasil yang ditetapkan dalam
konferensi Malino pada Tahun 1946 dengan Staads Blaad 1946-143 yang membagi
daerah dalam 13 Daerah termasuk di dalamnya Sulawesi Tengah. Daerah-daerah yang
terbentuk ini meliputi beberapa daerah swapraja dengan memakai konstruksi yuridis,
bahwa berdasarkan peraturan pembentukan Daerah Sulawesi Tengah tanggal 2
Desember 1948 yang telah disahkan dengan penetapan Residen Manado tanggal 25
Januari 1949 No. R.21/1/4 maka terbentuklah Daerah Sulawesi Tengah dengan Ibu
Kota Poso.
Dengan terbentuknya Daerah
Sulawesi Tengah ini, maka lembaga-lembaga seperti : Residen, Asisten Residen
Gezakhebber (Kontroleur) dihapus dan wilayah-wilayah Onderafdeeling diubah
istilahnya menjadi Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) yaitu :
KPN Palu, KPN Donggala, KPN
Parigi, KPN Tolitoli, setelah dewan Raja-raja dibubarkan maka sebagian besar
dari utusan partai yang berkedudukan sebagai anggota DPR Sulawesi Tengah yang
dalam sidangnya yang pertama atas nama :
Anggota DPR Sulteng, AR.Petalolo
Dkk.
Mengusulkan daerah Sulawesi
Tengah dibagi menjadi 2 (dua) Daerah Kabupaten Yaitu :
Daerah Poso meliputi Poso dan
Banggai.
Daerah Donggala meliputi Donggala
dan Tolitoli.
Masa Negara Kesatuan
Sesudah Negara RI kembali dalam
bentuk Negara Kesatuan maka pembagian daerah tersebut diatas dilaksanakan
dengan Busloid Gubernur Sulawesi Utara-Tengah tanggal 25 Oktober 1951 N0. 633.
Berdasarkan PP No. 33 Tahun 1952
tanggal 12 Agustus 1952 dimana Daerah Sulawesi Tengah yang telah dibentuk
dengan peraturan pembentukan tanggal 2 Desember 1948 dibatalkan dan selanjutnya
di wilayah Sulawesi Tengah dibentuk 2 (dua) daerah otonom yang berhak mengatur
rumah tangganya sendiri yaitu :
Daerah Donggala meliputi daerah
Administrasi Donggala menurut Keputusan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah tanggal
25 Oktober 1951 No.633 yang diubah terakhir
tanggal 20 April 1952. Wilayah Pemerintahannya meliputi beberapa
Onderafdeeling Palu, Donggala, Parigi dan Tolitoli. Dengan terbentuknya daerah
Tingkat II Donggala pada tanggal 12 Agustus 1952 berdasarkan PP No. 33 Tahun
1952, maka pemerintah daerah tingkat II Donggala berusaha melaksanakan
Pembentukan lembaga pemerintah serta badan kelengkapan lainnya. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Darah-daerah Tingkat II
di Sulawesi, wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala menjadi berkurang
dengan mekarnya wilayah tolitoli yang kemudian bergabung dengan wilayah Buol
dan selanjutnya terbentuk menjadi Daerah Tingkat II Buol Tolitoli.
Demikian pula Wilayah Daerah
Tingkat II Poso dibagi menjadi 2 (dua) Daerah otonom tingkat II yang baru yaitu
: Daerah Tingkat II Poso dan Banggai. Dengan demikian daerah Sulawesi Tengah
menjadi 4 (empat) Daerah Otonom tingkat II yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri yaitu :
Daerah Tingkat II Donggala,
berkedudukan di Palu.
Daerah Tingkat II Poso,
berkedudukan di Poso.
Daerah Tingkat II Buol Tolitoli,
berkedudukan di Tolitoli, dan
Daerah Tingkat II Banggai,
berkedudukan di Luwuk.
Dengan Undang-undang itu pula
dinyatakan secara tegas pembubaran lembaga-lembaga Daerah Swapraja. Pembubaran
ini dilaksanakan dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah tanggal
12 Januari 1961 yang direalisir Tahun 1963, jabatan “Kepala Pemerintahan
Negeri” (KPN) diubah menjadi Wedana. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6
Tahun 1969 tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan Umum dan Peraturan Peraturan
Presiden No.22 Tahun 1963, maka Keresidenan dan Kewedanan dihapuskan yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi “Pembantu Gubernur dan Pembantu Bupati”.
Pembubaran Swapraja tersebut
diatas diikuti dengan pembentukan Kecamatan di Kabupaten Daerah Tingkat II
Donggala sebanyak 15 Kecamatan, Sesuai Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Sulawesi Tengah Nomor : Pem.1/85/706 Tanggal 2 November 1964 yang
ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Donggala Nomor :
Pem 1/1/5 Tanggal 20 Februari 1965.
Palu dalam kedudukannya sebagai
Ibu Kota Kabupaten Donggala dan Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, sehingga pada Tahun 1978 ditingkatkan statusnya
menjadi Kota Administratif sekaligus menjadi 2 (dua) Kecamatan masing-masing
Kecamatan Palu Timur dan Kecamatan Palu Barat dengan Walikota pertamanya Drs.
H. Kiesman Abdullah.
Selanjutnya dengan ditetapkannya
Daerah Tingkat II Donggala sebagai Daerah Otonomi percontohan, sesuai PP No. 43
Tahun 1995 tentang Pembentukan Kecamatan di Propinsi Sulawesi Tengah, maka
Kabupaten Donggala dimekarkan dari 15 Kecamatan menjadi 18 Kecamatan, Yaitu :
Kecamatan Banawa di Donggala.
Kecamatan Kulawi di Kulawi.
Kecamatan Sigi Biromaru di
Biromaru.
Kecamatan Dolo di Dolo.
Kecamatan Marawola di Binangga.
Kecamatan Palolo di Makmur.
Kecamatan Tawaeli di Labuan.
Kecamatan Sindue di Toaya.
Kecamatan Sirenja di Tompe.
Kecamatan Balaesang di Tambu.
Kecamatan Dampelas di Sabang.
Kecamatan Sojol di Balukang.
Kecamatan Moutong di Moutong.
Kecamatan Tomini di Palasa.
Kecamatan Tinombo di Tinombo.
Kecamatan Ampibabo di Ampibabo.
Kecamatan Parigi di Parigi, dan
Kecamatan Sausu di Sausu.
Namun pada Tahun 2002, dengan
terbentuknya Kabupaten Parigi Moutong sesuai Undang-undang No. 10 Tahun 2002
tentang Pembentukan Kabupaten Parigi Moutong yang meliputi 6 wilayah Kecamatan,
maka dari 18 Kecamatan tersebut berkurang kembali menjadi 12 Kecamatan.
Pada tahun 2002 telah terbentuk 2
(dua) buah Kecamatan yaitu
Kecamatan Pipikoro yang merupakan
Pemekaran dari Kecamatan Kulawi serta
Kecamatan Rio Pakava sebagai
hasil pemekaran dari Kecamatan Dolo, dan
Pada Tahun 2004 Kecamatan Banawa
dimekarkan dan melahirkan Kecamatan Banawa Selatan, sehingga Kecamatan
Kabupaten di Donggala menjadi 15 Kecamatan. Selanjutnya pada tahun 2005 telah
diresmikan kembali 7 Kecamatan baru yaitu :
– Kecamatan Dolo Selatan, pemekaran
dari Kecamatan Dolo sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 8 tahun
2004
– Kecamatan Gumbasa, pemekaran
dari Kecamatan Sigi Biromaru sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 9
tahun 2004
– Kecamatan Tanambulava,
pemekaran dari Kecamatan Sigi Biromaru sesuai Peraturan Daerah Kabupaten
Donggala Nomor 13 tahun 2005
– Kecamatan Tanantovea, pemekaran
dari Kecamatan Tawaeli sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 7 tahun
2004 dan
– Kecamatan Tawaeli berubah nama
menjadi Kecamatan Labuan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 3
tahun 2005
– Kecamatan Kulawi Selatan,
pemekaran dari Kecamatan Kulawi sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala
Nomor 15 tahun 2005
– Kecamatan Pinembani, pemekaran
dari Kecamatan Marawola sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 19
tahun 2005.
Pada akhir Tahun 2007 awal tahun 2008 jumlah kecamatan dan
desa di Kabupaten Donggala bertambah
dari 21 Kecamatan menjadi 30 Kecamatan, dan dari 268 desa menjadi 293 desa
serta 9 kelurahan. Adapun 9 Kecamatan baru
yang diresmikan tersebut adalah :
– Kecamatan Sojol Utara di
Ogoamas II, diresmikan tanggal 17 Desember 2007 merupakan pemekaran dari
Kecamatan Sojol sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggal2a Nomor 10 Tahun
2007.
– Kecamatan Sindue Tobata di Oti,
diresmikan tanggal 19 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan Sindue
sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 5 Tahun 2007.
– Kecamatan Sindue Tombusabora di
Tibo, diresmikan tanggal 19 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan
Sindue sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 4 Tahun 2007.
– Kecamatan Lindu di Tomado,
diresmikan tanggal 28 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan Kulawi
sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 8 Tahun 2007.
– Kecamatan Marawola Barat di
Dombu, diresmikan tanggal 29 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan
Marawola sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 2 Tahun 2007.
-Kecamatan Kinovaro di Porame,
diresmikan tanggal 29 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan Marawola
sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 1 Tahun 2007.
– Kecamatan Dolo Barat di Kaleke,
diresmikan tanggal 24 Desember 2007 merupakan pemekaran dari Kecamatan Dolo
sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 6 Tahun 2007.
-Kecamatan Nokilalaki di Kamarora
A, diresmikan tanggal 2 Januari 2008 merupakan pemekaran dari Kecamatan Palolo
sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 9 Tahun 2007, dan
-Kecamatan Banawa Tengah di
Limboro, diresmikan tanggal 4 Januari 2008 merupakan pemekaran dari Kecamatan
Banawa sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 7 Tahun 2007.
Dalam perkembangannya pada tahun
2008 berdasarkan UU RI No. 27 tanggal 21 Juli 2008 tentang Pembentukan
Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah yang merupakan pemekaran dari
kabupaten Donggala yang diresmikan pada tanggal 15 Januari 2009, maka wilayah
kabupaten Donggala menjadi berkurang dari 30 kecamatan dengan 302
desa/kelurahan menjadi 15 kecamatan dengan 146 desa/kelurahan, dan pada saat pembentukan
ini 3 (tiga) desa dalam wilayah Kecamatan Marawola Barat yakni Desa Malino,
Lumbulama dan Desa Ongulara yang semula merupakan kesatuan dalam wilayah
Kecamatan Marawola Barat menjadi satu kesatuan dalam wilayah Kecamatan Banawa
Selatan. Pada tahun 2009 jumlah desa di Kabupaten Donggala bertambah menjadi
149 Desa/Kelurahan yakni dengan mekarnya desa Pakava yang merupakan Hasil
Pemekaran Desa Bonemarawa Kec. Rio Pakava, dan desa Ujumbuo yang merupakan
hasil pemekaran Desa Tondo Kec. Sirenja.
Pada tahun ini juga Jumlah
kecamatan di Kabupaten Donggala bertambah menjadi 16 kecamatan yakni dengan
diresmikannya Kec. Balaesang Tanjung yang dibentuk berdasarkan dengan PERDA
Kab. Donggala Nomor 5 tahun 2004.
sumber
https://donggala.go.id/sejarah/
May 12, 2025 | Labels: Riwayat, Tutura | 0 Comments
Perang SIGI (1905-1908)
Di Lembah Palu terjadi perlawanan
yang dilakukan oleh seorang tokoh bernama Karanja Lembah atau Toi Dompo.
Awalnya, yang memegang tampuk pemerintahan sebagai raja adalah Daeng Masiri.
Namun, dalam segala hal yang penting, Toi Dompo-lah yang banyak didengar,
termasuk sikap terhadap Belanda.
Sejak awal, Toi Dompo atau
Kerajalembah sangat benci pada Belanda. Ia menyarankan pada raja-raja di lembah
Palu dan sekitarnya agar menolak kedatangan pemerintah Belanda di Sulawesi
Tengah. Pengaruh Kerajalembah tidak terbatas pada golongan raja saja, tetapi
juga berpengaruh dan dicintai oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebenarnya, ia
juga masih keponakan dari Raja Daeng Masiri. Karena pengaruhnya yang besar dan
sikapnya yang keras pada Belanda, maka Belanda yang sudah menduduki
kerajaan-kerajaan pantai, seperti Kerajaan Palu, Kerajaan Parigi, Kerajaan
Banawa, dan Tawaeli bertekad menangkap dan membuang Kerajalembah alias Toi
Dompo ini.
Beliau mempunyai watak keras dan
sama sekali tidak mau mengadakan hubungan dengan Belanda. Bahkan, pada waktu
Kruijt dan Adriani mengadakan penelitian di wilayahnya (1897), Toi Dompo sudah
mulai curiga pada kedua orang itu dan tidak diizinkan lama-lama berada di
wilayah Sigi. Semua orang Barat tidak dipercayai dan dianggapnya datang untuk merampas
kemerdekaan dan kekuasaan kerajaan dan rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat
dipersiapkan untuk melawan karena diketahuinya cepat atau lambat pasti serangan
Belanda akan datang.
Sebelum Belanda datang ke
wilayahnya, Kerajalembah pernah mengundang madika-madika Palu, Tawaeli, Parigi,
Kulawi dan Tojo (raja Kolomboi yang semuanya masih merupakan keluarganya), guna
mengadakan pertemuan membicarakan persoalan kedatangan Belanda. Dalam pertemuan
itu, Karajalembah memberikan satu putusan: “Kita jangan tunduk kepada Belanda
dan harus menentang mati-matian terhadapnya.” Karena sejak dari nenek moyang
kita, kita tak pernah melihat bangsa Belanda, apalagi datang memerintah di
wilayah kita”. Akan tetapi, ada yang membocorkan keputusan itu keluar
(melaporkan kepada Belanda).
Pada waktu Belanda menduduki
dengan kekerasan pantai penggaraman Talise, Kerajalembah turun dengan
pasukannya untuk mengusir pasukan Belanda itu, hingga terjadi pertempuran.
Kekuatan Belanda ketika itu kecil, sehingga mereka terpaksa mundur kembali ke
Donggala. Kebenciannya pada Belanda merembet pula sampai kepada
pengikut-pengikut kaki tangan Belanda. Karajalembah Toi Dompo menginstruksikan
pada rakyatnya jika perlu pengikut-pengikut Belanda dibunuh saja. Terlaksana
dengan pembunuhan seorang juru tulis yang bekerja pada Belanda di Tanaboa
(Parigi) serta merampas harta benda Belanda di Tanaboa. Juga terjadi pembunuhan
terhadap seorang opzichter (mandor jalan) di Bora.
Belanda merencanakan menyerbu
Sigi dari tiga arah, yakni dari Palu, Parigi, dan Poso. Untuk persiapan itu,
maka ketiga tempat itu dikuasainya lebih dahulu. Mengetahui kerajaan-kerajaan
Palu, Parigi, Donggala dan Tawaeli sudah jatuh ke tangan Belanda, maka Toi
Dompo menjadi sedih, tapi tekadnya tetap walau sendirian harus tetap melawan.
Untuk menyelidiki kekuatan Belanda di Loji Parigi, dikirimkannya kurir bernama
Palukota dan Mojo. Kurir ini berhasil kembali membawa lari seekor kuda pilihan
Belanda dan mengambil bintang jasa Vierde Kruis (bintang tanjung) dari
poshouder Belanda di Parigi yang bernama Ince Dahlan. Maksud pengambilan kuda
itu ialah agar Belanda terhalang mengadakan penyelidikan dan pengambilan
bintang jasa sebagai satu ajakan pada rakyat Parigi supaya bangkit melawan
Belanda.
Menghadapi sikap/tindakan Toi
Dompo ini, Belanda lalu menyiapkan pasukannya di Donggala, Parigi dan Poso.
Mereka yang dapat diperalatnya antara lain Inco Muhamad, Karaeng Putih,
Yojovuri, Mangge Cinco (Yahya), semuanya. tinggal di Palu dan Marakaili di
kampung Kalukubula. Mula-mula rencana Belanda untuk menangkap Toi Dompo dapat
dicegah oleh raja Tawaeli Jaelangkara alias Mangge Dompo karena ia menjadikan
dirinya sandera pada Belanda. Memang hanya Jaelangkara saja yang disegani oleh
Toi Dompo (Kerajalembah). Mereka berdua masih terpaut sebagai ipar. Namun
karena ternyata kemudian Jaelangkara pula yang membantu dan melindungi Malonda
(setelah berontak di Donggala), maka akhirnya Jaelangkara pun dicurigai Belanda
walaupun Tawaeli sudah dikuasainya. Jaelangkara, raja Rawaeli ini, akhirnya
dibunuh secara licik oleh kaki tangan Belanda ketika beliau memeriksa
perbatasan wilayahnya dengan perbatasan Wilayah Toli-Toli. Peristiwa ini
terjadi di pinggir pantai Baerumu (Sirenja) ketika ia kembali dari Toli-Toli.
Karena Belanda mencurigai terus
Toi Dompo Karajalembah, dikirimlah seorang kurir bernama Ince Muhamad ke
Watunonju tempat kediaman Toi Dompo, sambil membawa biji opium (candu) penebus
kuda yang diambil dari Parigi. Namun kuda-kuda kurir ini pun dirampas sehingga
terpaksa ia jalan kaki pulang ke Palu. Akibat dari ini semua, Belanda lalu
menyiapkan penangkapan terhadap Toi Dompo. Pasukan Belanda disiapkan dari Palu
dengan penunjuk jalan bernama Ince Muhamad, dibantu pula oleh sekutu-sekutunya
Karaeng Putih, Yojoburi, Mangge Cinco (Yahya) dan Marakaili. Dari Poso, pasukan
Belanda diberangkatkan ke Parigi lalu memotong gunung melalui Sausu tembus ke
Sigi dengan penunjuk jalan Ince Dahlan.
BACA JUGA GOR Madani Bergemuruh: FORKI Sigi Lahirkan
Bibit-Bibit Karateka Tangguh
Pemimpin pasukan Belanda adalah
Letnan S. Voskuil. Di tempat kediaman Toi Dompo di Watunonju, pasukan-pasukan
Belanda menyerang serentak ketika Toi Dompo belum begitu siap karena tak
menduga adanya serangan tiba-tiba ini. Terjadilah pertempuran sengit di Watunonju
sehingga beberapa orang pasukan dari kedua belah pihak jatuh sebagai korban.
Akan tetapi karena persenjataan yang tak seimbang, Toi Dompo akhirnya
tertangkap dan dibawa ke Palu dengan menyeberang kali Palu dari Kalukubula ke
Tinggede. Toi Dompo dipikul oleh Marakaili yang sudah diperalat Belanda dan
seterusnya ia dibawa ke Palu dimana tiga buah kapal Belanda telah dipersiapkan
untuk membawa Toi Dompo ke Jawa dan diasingkan ke Sukabumi.
Besoknya, pasukan Belanda datang
dengan perlengkapan yang lebih banyak. Seperti halnya pada penyerangan pertama,
Belanda diserang disaat mereka lagi istirahat. Walaupun hasil yang dicapai oleh
rakyat Sigi Bora tidak sebesar pada pertempuran pertama, tetapi Belanda dipukul
mundur lagi ke Watunonju. Di tempat inilah Belanda mendatangkan pasukan dari
Palu, Dolo sehingga perlawanan rakyat terpaksa mengundurkan diri ke gunung dan
hutan-hutan. Belanda lalu merubah siasat dengan menggunakan Pue Langa yang
tadinya ditawan Belanda, memerintahkan agar Pue Langa menyuruh rakyatnya
kembali dari gunung dan hutan-hutan dan mengadakan persahabatan dengan Belanda.
Pue Langa lalu dijadikan raja menggantikan kakaknya Karajalembah dan kelak
menandatangani korte verklaring pada tanggal 3 Desember 1908 dengan nama
Itondei. Karena patuh pada rajanya, rakyat menghentikan perlawanan.
Pue Langa (Itondei) (raja puteri)
didampingi Dewan Pitunggota dan Tadulakonya bernama Ponulele. Walaupun
kelihatannya Sigi sudah aman, tetapi sebenarnya keadaan masih belum aman
betul-betul. Karena rakyat sakit hati akibat rajanya dibuang, maka secara
diam-diam ada gerakan untuk mengadakan perlawanan pada Belanda, sering-sering
diadakan rapat gelap dipimpin oleh Mahasuri, Palarante dan Lamariapa. Hasil
rapat adalah tindakan mengacau keamanan. Hal ini sebenarnya diketahui oleh
Ponulele sebagai Tadulako, tetapi tidak dilaporkan karena secara diam-diam ia
setuju pada rencana itu. Oleh karena Pue Langa ternyata tak dapat mengatasi
keadaan (masih sering ada pengacauan terutama dari rakyat Lande Raranggonan)
maka akhirnya Belanda mengakui bahwa Karajalembahlah yang dapat mengatasi dan
menguasai rakyatnya. Ia lalu didatangkan dari Sukabumi pada tahun 1914 dan
dikembalikan menjadi raja Sigi. Ia disambut secara besar-besaran secara adat
oleh rakyatnya ketika kembali di Palu. Walaupun Toi Dompo sudah dikembalikan ke
Sigi, tetapi Belanda tetap mencurigainya sehingga langkah-langkah dan
perbuatannya tetap diawasi Belanda melalui Bestuur Assisten di Biromaru yang
pada waktu itu dijabat oleh Haji Sunusi. Memang ternyata Toi Dompo tidak
berubah pendiriannya terhadap Belanda walaupun ia telah diasingkan. Dalam
hubungan tersebut, A.C. Kruyt mencatat dalam bukunya berjudul De West Toradj’s
op Midden Celebes (halaman 98): “Peristiwa penyerangan ke Watunonju ini terjadi
pada hari Jumat bulan September 1905 jam 10.00 pagi” (terjemahan).
Mendengar ayahnya tertawan oleh
Belanda, maka putera dari Toi Dompo bersama Malasingi sangat marah dan dengan
parang terhunus ia menyerbu ke tengah-tengah pasukan Belanda hingga beberapa
orang tentara Belanda tewas dan luka-luka, tapi dia sendiri pun ikut gugur kena
berondongan tembakan.
Selain itu, rakyat Sigi segera
berkumpul dengan kelengkapan persenjataannya lalu mengadakan pengejaran
dipimpin oleh dua orang kemenakan Toi Dompo bernama Lamakarato (Putera
Jaelangkara dan Lamasatu). Pertempuran sengit terjadi di Kalukubula. Serangan
rakyat secara frontal menimbulkan korban yang cukup banyak di pihak Belanda.
Pasukan Belanda hanya dapat diselamatkan dengan bantuan tentara cadangannya
dari Palu.
Karena pembuangan atas diri Toi
Dompo ke Sukabumi, maka kemarahan rakyat makin bertambah. Dua utusan rakyat
Sigi masing-masing Pue Langa, saudara perempuan Toi Dompo Karajalembah, dan
Simbasigi Toma Intolipe. segera ke Palu mengadakan perundingan dengan Belanda supaya
Toi Dompo dapat dikembalikan ke Sigi. Ternyata dua utusan ini pun ditawan oleh
Belanda dan hanya dapat dibebaskan setelah ditebus 100 ekor kambing. Rakyat
Sigi dan Biromaru lalu merencanakan serangan umum terhadap Belanda di Palu,
tetapi hal ini tercium pula oleh Belanda. Belanda menyerang lebih dahulu ke
Bora, pusat pertahanan Sigi. Karena rakyat telah menduga kedatangan Belanda,
maka Bora dikosongkan; semua rakyat mengungsi ke gunung dan membuat kubu
pertahanan. Hanya delapan pemuda yang tinggal di kampung bersembunyi mengintai
gerakan Belanda. Melihat tak ada perlawanan, pasukan Belanda beristirahat di
Bantaya (rumah adat), tetapi sekonyong-konyong delapan pemuda tadi dipimpin
oleh Lasoso, Tuvaya dan Kanasoki menyerbu ke tengah pasukan Belanda yang sedang
istirahat sambil berseru memberi isyarat pada rakyat di gunung. Serangan ini
mengakibatkan kematian yang sangat banyak pada pasukan Belanda, termasuk
seorang komandannya tewas. Sisa pasukan Belanda lari ke Dolo. Akibat dari
pertempuran ini, rakyat menyingkir ke gunung karena diperhitungkan tentu
Belanda akan kembali lagi menyerang. Hanya dua pemuda pengintai yang tinggal di
kampung, masing-masing Langgo dan Runda dari Watunonju.
BACA JUGA Banjir Rendam Rumah Warga dan Rusak TK di
Sigi Biromaru
Rakyat Raranggonau yang tak mau
tunduk pada Belanda meninggalkan perkampungannya pada tahun 1916 menuju ke
pegunungan yang lebat “Manggalai” (kelak bernama Nyilalaki atau Nakilalaki).
Katanya mereka ke sana atas instruksi dari Toi Dompo yang pada satu pesta di Maenusi
Daerah Palolo pernah menyampaikan pesan pada pengikut-pengikutnya untuk
meninggalkan tempatnya/kampungnya karena Toi Dompo sendiri dalam tempo tak lama
akan bergabung dengan mereka.
Karena diketahui Belanda, Toi
Dompo memimpin lagi rakyatnya untuk berontak, kedua kalinya ia ditangkap dan
dibuang ke Sukabumi dan meninggal di sana pada tahun 1917.
Dibuangnya Karajalembah untuk
kedua kalinya tidaklah berarti bahwa perlawanan rakyat sudah berhenti.
Pemerintah Belanda lalu menyodorkan dua orang calon raja Sigi yaitu Simba Sigi
dan Pue Toi (Pue Langa atau Itondei). Dalam pemilihan ini sebenarnya dari segi
adat Samba Sigi yang berhak menjadi Raja sesuai silsilah keturunannya, tetapi
Pue Toi mengusulkan karena ia seorang wanita maka biarlah ia tetap jadi raja
dan Simba Sigi karena ia laki-laki bisa selalu tornei, menjadi Madika Malolo.
Usul ini diterima Belanda sehingga tetaplah Pue Toi menjadi raja puteri.
Gerakan yang pernah ada sebelum
Karajalembah dimulai lagi pada tahun 1914. Adanya gerakan-gerakan ini akhirnya
tercium juga oleh Belanda melalui mata-matanya sehingga Pue Toi dianggap
bersekongkol dengan saudaranya Karajalembah karena ia tidak menindak komplotan
yang mengacau itu. Akibatnya ia diturunkan dari tahtanya dan oleh Belanda
didudukkanlah Lamakarate seorang bangsawan dari Tawaeli (anak dari Jaelangkara)
yang juga kemenakan dari Karajalembah.
Di bawah Lamakarate keadaan dalam
negeri mulai agak aman. Tiga tokoh yang sering mengadakan rapat-rapat gelap
untuk mengorganisir tentara pada Belanda ditangkap dan dibuang ke Jawa. Dua
orang meninggal di pembuangan yaitu Lamariapa dan Mahasuri. Palarante sempat
pulang ke Biromaru sesudah habis hukumannya. Dengan tertangkapnya tiga tokoh
tadi maka keadaan mulai tenang, tetapi rakyat Lando (Raranggonau) masih tetap
tak mau takluk pada Belanda.
Raja Lamakarate mengirim dua
utusan ke Lando Marajati dan Sampale untuk menyampaikan pesan supaya Lando
menghentikan sikapnya yang membangkang itu. Jawaban Tadulako Lando: “Kami tidak
mau tunduk pada Belanda” ditambah pula dengan ucapan “Maloi maputi ratarima
kami” (“Merah putih kami terima”). Makna ucapan ini, biar darah mengalir pada
titik terakhir rakyat Lando tidak akan tunduk kepada pemerintahan Belanda.
Namun kedua utusan itu tetap memaksakan kehendaknya supaya rakyat Lando merobah
sikapnya.
Kedua utusan diserang oleh
Tadulako Lando hingga Marajati terbunuh dan Sampale meloloskan diri melapor
pada raja. Tadulako Lando lalu membunyikan genderang perang. Karena peristiwa
ini tentara Belanda lalu menyerang Lando disambut rakyat Lando yang sudah siap.
Terjadilah perang tanding di mana Belanda menderita banyak kekalahan kena
sumpit wila, tombak dan guma. Sebaliknya di pihak Lando pun banyak yang gugur
kena tembakan-tembakan Belanda. Tadulako Lando yang terkenal waktu itu
Lahulemba, Tirolemba dan Toma Ipedi.
Peristiwa inilah yang dikenal
dengan nama perang Lando, dan lanjutan dari perlawanan Karajalembah (perang
Sigi). Sejak itulah orang-orang Raranggonau yang tidak mau tunduk kepada
Belanda masuk hutan gunung dan kemudian menjadi salah satu suku terasing di
Sulawesi Tengah.
Perang Kulawi (1904-1908).
Kerajaan Kulawi di bawah pimpinan
raja Intovoalangi yang lebih dikenal dengan panggilan Toma Itorengke juga
mempunyai sikap yang keras terhadap Belanda. Tiap kali Belanda berusaha
memasuki daerahnya selalu gagal karena perlawanan yang ketat dari rakyat.
Belanda lalu merencanakan
menyerang dengan persiapan yang seksama. Gerakan dari Palu ke Kulawi melewati
medan yang berliku-liku dan jurang-jurang yang dalam. Di tempat yang strategis
inilah rakyat Kulawi mengadakan penghadangan terhadap setiap kedatangan Belanda.
Sebelum menyerang, Belanda mengirim dua orang utusan untuk membujuk raja Kulawi
supaya menyerah saja pada Belanda, tak usah melawan. Utusan itu adalah
Lamarauna, raja Donggala, dan Yojokodi, raja Palu. Toma Itorengke menolak
mentah-mentah ajakan itu. Beliau merasa terhina dan kepada utusan ia katakan
bahwa ia sama sekali tidak mengizinkan Belanda menginjakkan kakinya di wilayah
Kulawi, dan kalau berani melanggarnya akan ditentangnya dengan kekerasan.
BACA JUGA Maling Kios di Sigi Babak Belur Diamuk Massa
Toi Torengke menduga Belanda
segera akan menyerang. Karena itu genderang tanda bahaya segera dibunyikan
sehingga panglima-panglima dan tentaranya lengkap dengan senjatanya siap sedia.
Yang dijadikan benteng pertahanan adalah gunung Momi. Menurut ceritera
orang-orang tua, tempat itu dilengkapi dengan 500 pucuk senjata api terdiri
dari meriam-meriam bermacam-macam ukuran serta senapan-senapan di samping
tombak, keris, guma (parang), sumpit dan onggokan batu-batu besar.
Tahun 1904, Belanda mulai memberangkatkan
tentara pilihannya dengan senjata-senjata yang serba lengkap menuju ke Kulawi.
Di Tuwa mereka berhenti untuk mengatur strategi penyerbuan, beberapa hari
kemudian mulailah diadakan penyerbuan disambut dengan tembakan meriam, sumpit,
panah dan gulingan batu-batu bagai hujan. Terpaksa Belanda mundur ke Tuwa
dengan membawa korban. Pertempuran itu berlangsung sampai tiga bulan.
Yang menjadi penunjuk jalan
Belanda adalah Ince Muhammad dari Palu. Dari dialah Belanda memperoleh
informasi bahwa ada jalan lain untuk menuju ke Kulawi, dan yang mengetahui
adalah Madika Tuwa, Jaraba. Mula-mula Jaraba menolak, tetapi karena disiksa,
antaranya dipanggang di atas api, maka terpaksalah ia memberitahukan jalan itu,
yaitu mengitari aliran sungai Miu kohulu tembus ke kampung Beteha di Kulawi.
Untuk mencegah kemungkinan musuh menempuh jalan tersebut, orang-orang Kulawi
semula merencanakan memperkuat pertahanan di Pedoa dengan mengirim 70 orang.
Akan tetapi pasukan Belanda yang telah diperkuat dengan bantuan dari Palu dan
Manado, setelah mendapat informasi adanya jalan lain ke Kulawi melalui sungai
Miu lalu mengirimkan pasukannya melalui jalan tersebut dan sebagai pancingan
supaya orang Kulawi tak curiga dikirim pula pasukan mengadakan serangan ke
gunung Momi. Akibat pancingan ini tak jadilah pasukan Kulawi dikirim memperkuat
pertahanan Pedoa sehingga tentara Belanda hanya menemui perlawanan tak berarti
sebelum masuk Kulawi dari belakang. Demikianlah pada tahun 1905, pasukan
Belanda berhasil tembus ke Kulawi dari arah belakang dan memanfaatkan suatu
tradisi di Kulawi, yaitu apabila musuh menaikkan bendera putih maka pertempuran
harus dihentikan. Sewaktu pasukan Belanda sampai di Mamo (Kulawi) dinaikkannya
bendera putih. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari istana raja yang
terletak di atas bukit yang bernama Lemo. Sebagai balasannya, raja Toi Torengke
menyuruh naikkan pula bendera putih dari kain kulit kayu (disebut Tobula).
Karena pertahanan Kulawi
dipusatkan di gunung Momi, maka Kulawi dapat dikatakan kosong waktu itu, bahkan
perempuan dan anak-anak disingkirkan ke Gimpu. Yang ada di istana waktu itu
hanya raja Toi Torengke dan Mekuasa. Mereka berdualah yang ditemui ketika kurir
Belanda tiba, yaitu masing-masing bernama Yojobula dan Yojovuri berasal dari
Palu.
Toi Torengke dipaksa menyerah dan
disuruh mengumpulkan rakyat dari gunung Momi. Kalau tidak, maka ia bersama
keluarganya akan dibunuh dan Kulawi akan dibakar habis. Karena ancaman ini, dan
melihat kenyataan pasukan Belanda sudah masuk Kulawi, maka terpaksalah Toi
Torengke memanggil rakyatnya pulang dari gunung Momi hingga perlawanan
berhenti. Setiba di Kulawi, para hulubalang Kulawi yang pulang dari gunung Momi
masih mau melawan, tetapi dicegah oleh raja untuk menghindari jatuhnya korban
yang lebih banyak. Dalam buku Meededeelingen van Afdeeling Bestuurzaken van
Binnenlandsch Bestuurs. seri A No. 3 dapat dibaca bahwa pada tanggal 30
Nopember 1908 Intowea Tomatorengke menandatangani korteverklaring. Karena jiwa
Tomatorengke yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda maka setelah terpaksa
menandatangani korteverklaring tersebut lalu mengundurkan diri sebagai raja dan
menunjuk kemenakannya bernama Tomampe menggantikannya menjalankan pemerintahan
di Kulawi. Tomatorengke meninggal dunia pada tanggal 21 Desember 1948 di Kulawi.
Disclaimer:
Sumber Tulisan pada artikel ini
diambil dari buku: “Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme
Di Daerah Sulawesi Tengah”
Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi Dan
Dokumentasi
Tim Penulis:
Masyhuddin Masyhuda
Ny. Nurhayati Nainggolan
Zohra Mahmud
Daeng Patiro Laintagon
May 11, 2025 | Labels: Kareba, Riwayat, Tutura | 0 Comments
Sejarah Lembah Palu
SEJARAH LEMBAH PALU
Suku kaili adalah suku yang mendiami
lembah palu. Atau bisa disebut juga sebagai suku asli lembah palu.
Masyarakatsuku ini mendiami sebagian besar wilayah sulawesi tengah meliputi
Kota Palu, Wilayah kabupaten Donggala, Kabupaten Kulawi, Parigi dan Ampana,
Sebagian Kabupaten poso dan sejumlah kecil mendiami kabupaten lainnya seperti
Kabupaten Buol dan kabuaten Toli-toli. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan
etimologi dari kata kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi
nama suku orang palu ini berasal dari nama pohon dan buah kaili, yang umumnya
tumbuh dihutan-hutan dikawasan daerah ini. Penulis belum pernah membaca
penelitian tentang khasanah budayah daerah ini dalam suatu karya ilmiah yang
komprehensif mengenai budaya dan tradisi masyarakat ini. Tapi paling tidak
berdasarkan pengalaman, penulis dapat mengungkapkan bahwa Bahasa Kaili yang
menjadi bahasa dimasyarakat ini sangatlah unik dan banyak ragamnya. Misalnya
bahasa kaili ledo oleh masyarakat palu, kaili edo bagi masyarakat watunonju,
Kaili inja bagi masyarakat Bora, Kaili Tara untuk masyarakat Lasoani, Kaili Ija
untuk masyarakat Lambara, Kaili ado untuk masyarakat Pakuli….dan masih banyak
lagi …….
Kawasan Lembah Palu dan
sekitarnya beberapa abat yang lampau merupakan dataran air sungai Palu, dan
merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri has kebudayaan dan pemerintahan.
Adat hidup dinegeri ini khusus lemba Palu saat
ini kecamatan Palu Timur dan Palu Barat, minus kelurahan Tondo, Petobo, dan
kecamatan Marawola adalah kerajaan Palu yang dahulu masuk dalam lingkungan
kerajaan Gowa.
Kerajaan Palu yang terletak di
dataran sungai Palu didirikan seorang pangeran yang berasal dari “MARIMA” diatas Poboya yang bernama “Pue
Nggari”. Pue Ngari bersama rakyat turun dari “Marima” dan tinggal beberapa lama
di “Pantosu”, dan setelah itu pindah lagi di Valangguni kemudian pindah lagi
dilokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke “Pandapa” nama sekarang ini Besusu.
Setelah tinggal dibesusu
dibuatlah Istana untuk Pangeran yaitu Pue Nggari dan tempatnya dibuat dari
bahan tanah disusun secara tinggi dan bertingkat. Setelah dibuatkan Istana di
Besusu Pue Nggari kawin lagi dengan Pue Puti dari Dolo, Pue Putih ini, saudara
dari Penguasa dolo yang di sebut pada waktu itu “Bulanggo”
Pue Nggarai mempunyai tiga orang
putera dan dua orang puteri yang berada di Palu yaitu :
Putera :
- Lasamaingu
- Pue Songu dan
- Andi Lana
Puteri
- Yenda Bulava dan
- Pue Rupiah,
Tidak lama Pue Nggari mendiami
Lemba Palu kemudian di ikuti keluarganya dari “Malino” yaitu :
- Rombongan Yantakalena turun dan
mendiami Kayu Malue
- Rombongan Pue Voka turun dan mendiami Vatu Tela
- Rombongan Pue Nggari turun dilokasi
penggaraman nama saat ini, dan kemudian mendiami Besusu.
Dilokasi penggaraman ini
digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama “Rasede”, sumur
inilah yang diberi nama “Buvu Rasede”
sampai sekarang.
- Rombongan dari Bulili, Gunung Gawalise
dan sekitarnya turun langsung ke “Tatanga” di bawah kepala suku bernama
“Raliangi”, kemudian langsung mendiamai bulava dan Penggeve tidak lama kemudian terus kesiranindi.
PERISTIWA BERSEJARAH
Setelah seluruh persyaratan dari
Sombarigowa diterima Pue Nggari maka diadakanlah sebagai berikut :
- Pengislaman terhadap Pue Nggari
bersama keluarganya yang dilaksanakan oleh Dato Karama dengan istilah “PoVonju
Tevo”
Keluarga-keluarga bangsawan yang turut di islamkan sebagai
berikut :
- Vua Pinano isteri dari Pue Nggari
- Lasamaingu
- Andi lana bersama isteri dari Tatanga
- Pue Songu tidak mau di Islamkan
- Yenda Bulava , suaminya tidak mau di
Islamkan dan tidak menerima agama Islam.
- Pue Rupiah yang dikenal dengan Pue
Sese
- Keluarga dari labunggulili keturunan
Dari silalangi. Serta di Islamkan juga Pue Njidi yang Berkedudukan Panggewe.
Setelah persyaratan dari somba ri
gowa di penuhi semuanya Palu di Proklamirkan sebagai kerajaaan yang berdiri
sendiri.
Sesudah terlepas dari kekuasaan
somba ri gowa tapi yang dipertahankan adalah :
Kalau Gowa menjadi Rusuh maka
palu menjadi Susah, kalau Palu tidak dapat menyelesaikan masalah di
ujungpandang kapasana.maka disusunlah Pemerintahan sebagai berikut :
- Magau adalah Pue Nggari
- Madika Malolo dari keluarga Silalangi
- Madika Matua tetap dipegang keluarga
dibesusu
- Baligau keluarga madika Tatanga
SEJARAH KERAJAAN PALU
Panjaroro (Pue boNgo) putra dari
mbulava lemba pangeran dari bangga. Kawin dengan yenda bulava. Yenda Bulava
puteri pue nggari, magau pertama yang di islamkan pertama dato karama bersama
pemberian payung kerajaan dari Sulawesi Selatan.
Hasil perkawinan pebolai dengan
adik magau dolo (pue Puti) pue putih dibuatkan istana di tangga banggo. Di
istana inilah panjororo dilahirkan. Pue inggari pangeran dari besusu yang
menerima payung kerajaan dari Sulawesi Selatan. Adapun Payung kerajaan yang ada
dilemba kaili masing masing :
- Payung kerajaan palu berasal dari Gowa
yang diBawah Dato Karama diterima pue nggari di besusu pada akhir abad ke 19.
payung kerajaan dibawah ketatanga.
- Payung Kerajaan Dolo bersal dari bone
dibawah Manuraja diterima oleh sumba lemba di palu, kemudian diteruskan sumba
Bulava di Dolo pada waktu itu berkedudukan di Bodi, sumba bulava pangkatnya
magau.
- Payung kerajaan Sigi berasal dari Luwu
di bawah oleh Towiwa, kemudian towiwa kawin dengan bakulu, hasil perkawinan
dengan bakulu melahirkan saera dan tandalabua, mereka inilah menurunkan raja
raja sigi dan tavaili. Towiwa ini berpangkat Capita pada waktu itu pusat
kerajaan sigi berpusat sigimpu.
- Puenggari mempunyai dua orang isteri
antara lain isteri pertama dari Bulu Masomba di bawah keistana besusu.
- Isteri Nibolai Berasal dari Dolo
tinggal di Tangga banggo.
Dilemba kaili pada saat itu ada
dua persekutuan yaitu Rantempanau yang terdiri kerajaan Palu dibawah Pimpinan Pue
Sese
Kerajaan Dolo dibawah Pimpinan
Pue Boga dan Rantempandake yang terdiri dari kerajaan sigi dan Tavaeli pada
saat itu dipimpin oleh “Tomai Bakulu”.
Atas perkawinan pue nggari dengan
pue putih madika dolo lahir dua orang puteri yaitu
1. …
bulava
2. Daesana
Pue puti semasa kawin dengan Pue
Nggari menempati Istana Tangga Banggo. Istana ini ditempati juga oleh
Yendabulava, Yendabulava dikawini oleh bangsawan dari bangga yang bernama
Mbulawa lemba.Dan hasil perkawinan Yendabulawa dengan Bulawa Lemba lahir
seorang putera bernama “Panjaroro” yang dikenal dengan nama “Pue Bongo”.
“Daesana” dikawini oleh bangsawan
dari “Tavaili”,
Panjoro yang disebut sekarang
dengan nama “Pue Bonggo” yang berjasa meluaskan kerajaan palu.
Esepansi Panjaroro, kesebelah
barat sampai dengan tanah kasolowa yaitu di Sorodu melahirkan seorang putera
bernama “Tiro lemba”.
Mbangejo Lemba kawin dengan Daeng
Mangipi Madika “Bulanggo Dolo”, hasil perkawinan Mbangejo Lemba dengan Daeng Mangipi Lahir seorang anak
bernama Yaruntasi. Yaruntasi inilah diangkat sebagai Magau Dolo yang ke 4.
Panjororo juga kawin di Labuan
dan anak dari labuan kawin dengan Makagera (Pue Lemba) Melahirkan Jalalemba, Limuintan (Madika
Randalabuan) kemudian kawin lagi di Maboro dan Palu.
Setelah panjaroro meluaskan
kerajaan Palu kemudian bergerak ke utara sampai kebuol. setelah tiba di buol
Panjororo (Pue Bonggo) tinggal puluhan tahun di Buol
Setelah puluhan tahun di buol
kerajaan Palu diserang dari arah timur dan selatan oleh kerajaan Sigi kecuali ibu
kota kerajaan tidak diserang yaitu
Besusu dengan diplomasi Sigi dari Magau Mombine.
Setelah rombongan Pue Sese dan
Pue Bongo tiba di Palu dibuatlah serangan pembalasan terhadap kerjaan Sigi
kemudian Pue Sese dan Pue Bongo mengatur persiapan pasukan untuk serangan
balasan. Pasukan yang disiapkan terdiri dari :
Pasukan dari Dombu / Gunung
Gawalise dibawah pimpinan Bangsawan Pindagi dari Bangga.
Panjororo juga ikut berperang
langsung sebagai penanggung jawab.
Pue Indate Ngisi dan Pue Mpero sebagai panglima perang.
Pasukan terbagi dua masing masing
dibawah pimpinan Puempero dan Pue Ndatengisi, setelah siap semua persiapan
serangan balasan serangan dilaksanakan pada waktu sigi mengadakan “Salia Madika
“ pesta raja
Pasukan Pue Ndatengisi menyerang
dari arah timur, Pasukan Pue Mpera menyerang dari arah barat yaitu dari dolo.
Kecuali ibu kota kerajaan sigi tidak diserang.
Pasukan dari Palu mengobrak-abrik
Pasukan Sigi yang berada di Vatunonju dan Bora.
Rakyat dari Vatu Nonju bernama
Lolu di jadikan tawanan perang kemudian di bawah ke Palu. Dan sebagian tinggal
di Biromaru, dan rakyat berasal dari Sigi tinggal di Palu kemudian diberian
tempat tinggal yang baru yaitu karena mereka berasal dari Sigi.
Setelah Panjororo membawa
kemenangan melawan pasukan sigi maka diadakan beberapa isi perjanjian :
1. Diadakan upacara Notiro Uve yaitu upacara
sumpah setia mengeluarkan Batu Putih yang diambil dari Sigi pada muara sunggai
Palu dengan sumpah setia berbunyi : “Meumbapa Vatu Puti Hie pade Mahancuru
Tanah Nupalu”
2. Diadakan pemindahan ibukota kerajaan dari
besusu keserang sungai Palu bagian barat.
3. Magau kedua yaitu Pue Sese mengadakan
Manjingge Toru artinya melepaskan dan menyerahkan Kaogea
4. Panjororo Akan dikawinkan dengan Puteri
dari siralangi yang bernama Buse Mbaso, tindakan angka 2, 3, dan 4 disebut
diatas dilaksanakan secara damai.
Setelah pue Sese menyerahkan
jabatan magau kepada panjaroro Yang disebut saat ini Pue Bongo yaitu dengan
acara Panjingge Toru ibu kota kerajaan dipindahkan dari besusu kebesusus kota
yang sekarang disebut Kelurahan Baru. Maka terjadilah hal sebagai Berikut :
1. Panjororo yang disebut Pue Bonggo dan
keturunannya berhak menduduki tahta Magau Palu dengan Bulanggo
2. Labunggulili dan dinastinya menduduki
jabatan sebagai madika malolo Palu
3. Keturunan Pue Sese beserta dinastinya
akan menjadi Madika Matua Palu.
4. Labunggulimu dan dinastinya menjadi
Baligau Palu.
Hal-hal tersebut diatas hasil
perjanjian / sumpah setia agar tidak terjadi perebutan kekusaan dikerajaan
Palu. Setelah Panjororo tinggal di Besusu Busi Mbaso dari hasil perkawinannya
lahir seorang anak bernama Malasigi.
Malasigi inilah menggantikan
ayahnya sebagai magau kedua untuk kerajaan Palu. Malasigi mempunyai yang diakui
oleh kerajaan yaitu seorang berkedudukan dibesusu dan seorang lagi berkedudukan
di Panggona (Kel. Lere) saat ini.
Yajibose salah seorang bangsawan
yang berpengaruh kuat di dolo. dan siapa yang berhak menggantikan Yaruntasi,
apakah Pue Bengge atau Yanuraja atau Putra dari Yajibose. dan untuk
menyelesaikan masalah ini diadakan musyawarah dikerajaan antara kerajaan Dolo
dengan kerajaan Palu dipimpin oleh Madika Matua dari Besusu dan hasil
musyawarah yaitu dibuatkan baruga lima di kaleke baruga 7 di dolo.
1. Saudara dari yanu raja bernama Satimanuru
dikawinkan dengan Jalalolu (pue langgo)
2. Saudara dari Pue Bengge bernama Pue mbaso
dikawinkan dengan Lasambili
3. Para Bangsawan Masing Masing mEnerima
upeti yang sama
4. anak dari pue mbaso dan lasambili
setelah besar akan berkedudukan
dikerajaan dolo.
Isteri dari besusu lahir seorang
anak laki-laki yang diberi nama Raja Dewa. Isteri dari panggona ini keturunan
dari Silalangi kemudian lahir seorang anak lakilaki bernama Lamakaraka (Tondate
Dayo).
PALU DALAM CATATAN SEJARAH
Kota Palu yang berada
tepat di tengah-tengah pulau sulawesi merupakan sebuah kota yang kecil yang
berpenduduk sekitar 400rb jiwa. Memiliki kultur masyarakat heterogen, berasal
dari hampir seluruh suku bangsa negeri ini.
Dalam rentan sejarah bangsa ini, kota Palu sangat jarang di sebutkan baik itu sejarah sebelum maupun sesudah kemerdekaan. yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, kenapa yah? apa sebabnya bisa begitu? apakah Kota Palu belum ada pada saat itu?
Dalam kesempatan ini kami mencoba mengungkap kembali berbagai peristiwa penting yang terjadi di Palu yang saat ini sedikit terlupakan (atau mungkin tidak pernah didapatkan di bangku sekolah?) dan mengendap di perpustakaan-perpustakaan dan di rak-rak buku kita yang sudah berdebu, seperti debu-debu yang beterbangan di dalam kota.
Sekilas,
Untuk ukuran sebuah kota, dalam
hal ini sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan Palu telah berumur lebih
dari 400 tahun yang di diami oleh penduduk asli yaitu suku Kaili. Yang sampai
saat ini menjadi salah satu suku yang terbanyak jumlah penduduknya di Sulawesi
Tengah yang berjumlah sekitar 45% dari keseluruhan jumlah penduduk Sulawesi
Tengah.
Sangat sedikit literatur yang
membicarakan kota Palu, kalaupun ada usianya sudah lebih dari 20 tahun yang
lalu. hal ini menjadi salah satu penghambat penelusuran sejarah. namun banyak
hal yang dapat dilakukan untuk melacak sejarah yang terlupakan ini, salah
satunya dengan folk-tale (cerita rakyat) yang masih ada dimasyarakat sampai
saat ini.
Sedikit mengali,
Pada awalnya peadaban to-Kaili
terletak di pegunungan yang mengintari laut Kaili (saat itu kata Palu belum
digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa
Kerajaan lokal. to-Kaili juga terdiri dari beberapa subetnik Kaili diantaranya
To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, To-Dolo, To-Kulawi, To-Banggakoro, To-Bangga,
To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Tavaili, To-Parigi, To-Kulavi dan masih banyak lagi
subetnis Kaili lainnya.
To-Kaili mendiami hampir seluruh
seluruh Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong.
Selain itu to-Kaili juga
mempunyai beberapa dialek diantaranya dialek Ledo, Rai, Tara, Ija, Edo/Ado,
Unde, dan lain-lain. an dari semua dialek, dialek Ledo merupakan dialek yang
umum di gunakan. Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakab dari kata
"sangkal", karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengrartian
"tidak".
Kaili sendiri konon katanya
diambil dari satu jenis pohon yang bernama Kaili (saat ini sudah punah) sebuah
pohon yang sangat besar dan tinggi yang menjadi penanda daratan bagi
orang-orang yang memasuki teluk Kaili (teluk Palu dulu bernama teluk Kaili). Pohon
Kaili ini diperkirakan terletak diantara Kalinjo (sebelah timur Ngata Baru) dan
Sigimpu (sebelah Tenggara desa Bora). ditengarai pohon ini terletak di Ngata
Kaili (sebuah kampung yang terletakdi sebelah selatan Paneki, saat ini masih
didiami oleh masyarakat etnik Kaili).
Dalam Epos Galigo tercatat satu
riwayat Sawerigading, yang pernah menginjakan kakinya di tanah Kaili, peristiwa
ini terjadi sekitar abad 8-9 M. Cerita tentang Sawerigading sangat populer di
masyarakat Bugis dan juga masyarakat Kaili. Peristiwa ini juga merupakan cikal
bakal terjalinnya hubungan dagang antara Kerajaan-Kerajaan di Tanah Kaili
khususnya Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi.
Kapan adanya Palu?
Teluk Kaili dahulu sangat luas
yang tepi pantai sebelah barat berada di Desa Bangga, di belah timur sampai ke
Desa Bora dan mengintari Desa Loru. Bisa di bayangkan seperti apa lembah Palu
pada saat itu. proses surutnya laut teluk Kaili diperkirakan terjadi sebelum
Abad 16, sebab pada Abad 16 sudah ada Kerajaan Palu.
Ada beberapa versi tentang
surutnya laut Kaili yang berkebang di masyarakat, salah satunya adalah saat
seekor anjing yang mengganggu ketenangan seekor belut lalu kemudian terjadi
perkelahian hebat yang menyebabkan sang belut keluar dari lubangnya kemudian
oleh si anjing, belut tersebut di seret menuju laut dan serta merta air laut
pun surut dan berakhir di talise.
Lubang belut itu yang kemudian
menjadi Rano Lindu (Danau Lindu) sedangkan tanah bekas di seretnya sang belut
kemudian menjadi sungai Palu.
Dalam versi lain di sebutkan
proses surutnya air laut terjadi pada saat Kerajaan sigi yang saat itu di
pimpin oleh seorang perempuan bernama Ngilinayo atau lebih di kenal dengan nama
Itondei sedang melakukan pesta besar untuk rakyat Sigi da terjadi sebuah
bencana besar yang mengguncang seluruh daerah Tanah Kaili. bencana itu
menyebabkabkan laut Kaili menyusut dan membentuk daratan yang pada saat itu di
sebut "LEMBA" atau lembah. tidak diketahui berapa lama proses ini
berlangsung. pun halnya dengan menjadi subur dan nyamannya "LEMBA"
untuk ditinggali.
Subur dan nyamannya lembah Kaili
menggoda para masyarakat yang pada saat surutnya laut Kaili sudah menjadi
masyarakat pegunungan untuk menempatinya. terjadilah gelombang urban baik dari
barat lembah maupun dari timur lembah. di timur lembah terjadi dua gelombang
yaitu:
- gelombang pertama menempati
daerah yang di tumbuhi ilalang (Biro) yang sekarang bernama Biromaru
- gelombang kedua memecah diri
menjadi dua, kelompok yang satu pun memilih Biromaru dan yang lainnya
melanjutkan perjalanan menuju Palu.
Gelombang urban ini kesemuanya
berasal dari Raranggonau, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Paneki.
Untuk menamai tempat yang di
diaminya (dalam hal ini urban yang menuju ke Palu) maka masyarakat menanan Avo
mPalu di tepi sungai Palu (tidak diketahui dimana letak yang pasti). Avo mPalu
adalah adalah salah satu jenis bambu yang bentuknya kecil (Avo mPalu = bambu
kecil) yang tumbuh di Daerah Raranggonau. dan seterusnya nama Palu ini
digunakan.
dari barat lembah terjadi satu
gelombang yang berasal dari bangga lalu kemudian menempati satu wilayah yang
kini dikenal dengan nama Dolo.
Berapa usia kota Palu?
Pada Abad 16 dalam Aksara Lontara
telah di sebutkan satu Kerajaan di tanah Kaili yang bernama Kerajaan Palu.
punhalnya para intelektual belada pada Abad 18 telah menggunakan kata Palu
untuk menunjuk daerah lembah Kaili.
Patut ditelusuri kapan tepatnya
penggunaan kata Palu untuk Kota Palu sebab hal ini dapat mengungkap tabir
peradaban masyarakat Kaili. Sayangnya, masyarakat Kaili tidak menganut budaya
tulis, melainkan budaya lisan. Hal ini disebabkan karena orang Kaili mempunyai
satu filosofi bahwa tubuh adalah dunia yang kecil, dan apun yang terjadi di
dunia merupakan kejadian dalam diri. Dengan kata lain tubuh adalah rangkaian
catatan-catatan yang terus mengalir dari waktu kewaktu.
Pengertian Kaili secara lingua
franca lebih merujuk kepada tubuh, tempat mengalirnya darah. No -Kaili =
mengaliri, dari hulu ke hilir memberi kehidupan dan pengalaman baru kepada
apapun yang dilaluinya.
= catatan khusus=
dari semua peradaban to-Kaili
yang coba diungkap disini masih ada lagi satu peadaban yang di tengarai juga
sangat tua yaitu peradanan Lando, yaitu peradaban to-Kaili yang terletak
diantara raranggonau dan tompu. dan ada satu Kerajaan Kaili tertua yang bernama
Kerajaan Sidima yang terletak di Negeri Kalinjo (sebelah timur Tompu). Namun,
kurangnya literatur menyebabkan pembahasan ini belum dapat di publikasikan.
Pada tulisan ini juga kami tidak
menggunakan kata bolovatu mPalu tapi avo mPalu, dikarenakan penamaan bambu bagi
To-Kaili untuk bolovatu digunakan untuk bambu berukuran besar seperti bambu
gobong. Sedangkan avo di gunakan untuk bambu yang berukuran lebih kecil.
Tulisan ini dihimpun dari
berbagai sumber yang di observasi secara literatur dan wawancara.
sekian,
forum polibu to-Kaili
ditulis oleh mukminsogeahmad
(tulisan ini pernah di tulis di
polibutokaili.multiply.com)
Teluk Palu, Diambil dari AFFAN
AKA AFFANDO Fotopage
Sebelumnya wilayah Kota Palu
sebagai kerajaan Tanah Kaili dengan ibu negerinya Palu memberlakukan sistim
pemerintahan adat raja-raja.
Pemerintahan tanah Kaili dipimpin
seorang raja yang dikenal dengan sebutan To Manuru.
Raja-raja keturunan To Manuru
disebut Madika. Kerajaan Tanah Kaili meliputi empat Kerajaan yaitu : Kerajaan
Palu, Kerajaan Tawaili, Kerjaaan Sigi dan Kerajaan Banawa.
Masuknya pengaruh Belanda akhir
abad 19 mengakibatkan
takluknya kerajaan-kerajaan
dilembah Palu setelah di dahului oleh perang, setelah takluk, kerajaan-kerajaan
Tanah Kaili
diikat dengan perjanjian jangka
panjang (Lange Contruct), kemudian dilanjutkan jangka pendek ( Karte
Velklaring).
Pemerintahan Kerajaan Tanah Kaili
memiliki 3 badan :
1. Patanggota, artinya pemegang
kekuasaan yang merupakan mentri. Patanggota terdiri dari empat orang berfungsi
sebagai Badan Eksekutif.
2. Pitunggota, artinya pemegang
kekuasaan yang merupakan mentri. Pitunggota terdiri dari empat orang yang
berfungsi sebagai Badan Legislatif.
3. Valunggota, artinya pemegang
kekuasaan yang merupakan mentri. Valunggota terdiri dari 8 orang yang berfungsi
sebagai Badan Eksekutif.
susunan Pemerintahan kerajaan
Tanah kaili pada masa raja-raja yang ditetapkan adat:
1. Magau adalah Raja yang dipilih
dan dilantik secara adat
2. Madika Malolo adalah Raja Muda
sebagai wakil magau, dengan syarat pemilihan yang sama dengan Magau.
3. Madika Matua adalah Perdana
Mentri merangkap urusan luar negeri dan ekonomi diangkat dan diberhentikan oleh
magau atas persetujuan Baligau atau Ketua Kota Pitunggota.
4. Punggava adalah mentri dalam
negeri
5. Tadulako adalah mentri
pertahanan keamanan
6. Galara atau mentri kehakiman
7. Pabicara atau mentri
penerangan
8. Sabandara adalah mentri
perhubungan laut
Namun pada akhir abad ke-19
Belanda masuk ke lembah palu dan menaklukan beberapa kerajaan. Beberapa
kerajaan lagi melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, salah satunya
kerajaan Tatanga, namun yang menyedihkan beberapa kerajaan bersekutu dengan
pihak Belanda untuk merebut kerajaan. Kerajaan yang kalah kemudian dihadiahkan
kepada pihak sekutu dan mengankat Raja baru yang dianggap tunduk kepada
Pemerintahan Belanda. Hal ini mereka tempuh untuk melanngengkan kekuasaannya.
Hingga akhirnya banyak Raja-raja baru yang bermunculan. Yang sering menjadi
pertanyaan hingga saat ini, apakah Raja-raja yang sering disebut saat ini benar
- benar keturunan To Manuru ataukah raja yang di angkat oleh Belanda.
Wajar ketika pihak pemerintah
Kota Palu menetapkan Pahlawan lokal Sulteng banyak menuai kritik. Bukan tidak
beralasan, namun karena adanya sejarah yang simpang siur membuat kota Kaledo
ini tidak memiliki Pahlawan lokal seperti Hasanuddin di Kota Makassar.
Sumber : DISINI
May 11, 2025 | Labels: Riwayat, Tutura | 0 Comments
BUOL SALING SAPA
SEJARAH BUOL
zaman kuno abad (1-1500 M)
kehidupan pemerintahan
kisah empat buah negeri
Zaman terdahulu, bahwa TILO Ombu
kilan pindah dari gunung Pogogul lalu menempati daratan ditepi sungai
yanag subur, dibawah pimpina datuknya
Donolangit. Tempat tersebut dibuka menjadi kebun. Kebun dalam bahasa buol
sisebut : GUA. Kemudain tempat tersebut diberi nama : GUAMONIAL.
Pertama-tama didirikan tiga
buah rumah yang disebut BOLRE TOTOYU,
Masing-masing untuk DONOLANGIT suami istri dan anak-anaknya. Setelah itu
masyarakat dibagi 4 keelompok dan masing-masing kelompok membuka daerah
baru.pada pemukiman yang baru ini mereka berkembang menjadi empat rumpun
masyarakat yang berdiri sendiri.
Setelah berjalan bebrapa waktu
lamanya seiring dengan berkembang biaknya penduduk,berdirilah empat buah negeri
dan mulai mengatur tata pemerintahan. Keempat buah negeri terseabut
masing-masing bersama : Negeri Biau,Tongon,Talaki, dan Bunobogu pemimpin masing-masing
bergelar TA MODOKA,dan diatas TA MODOKA
dari ke empat negeri itu adalah Donolangit sebagai pimpinan tertinggi
dengan gelar : TIKAYANGANO. Keempat
rumpun masyarakat sudah mengenal peradaban. Menurut perkiraan, ini
terjadi sekitar tahun 1000 M (buku mengenal buol toli-toli hal. 27).
Pemerintah dikendalikan dari
BLORE TOTOYU yang berpusat di Gua Monial. Selama dono langit masi hidup,rakyat
keempat buah negeri hidup rukun dan damai. Mereka hidup tolong menolong sebagi
satu keluarga besar.
Setelah dono langit wafat
kedudukanya diganti oleh : TAMODOKA dari negeri Biau atas perseaatujuan bersama
dari pimpinan ke empat negeri.
Dari kepemimpinanya keadaan mulai
berubah .masing-masing negeri jalan sendiri-sendiri. Kearjsama dan tolong
menolong mulai ditingalkan. Persaatua
makin rapuh, maka keempat negeri mulaikacau dan mundur. Pemimpin yang
baru ini bukanlah tokoh yang bijaksana dan berwibawa seperti Donolangit.
Pada tahun 1100 M, datang
serangan pasukan kerajaan Sigi. Kerajaan Sigi merupakan kerajaan di Lembah Palu
pada saat itu. Negeri Biau yang diserang pasukan Sigi tidak dapat bantuan dari
tiga negeri lainya yang takluk pada pasukan Sigi. Pimpinan ( TAMODOKA) negeri
Biau ditawan bersama sejumlah pengikutunya dan dibawa kenegri sigi. Jadi yang ditawan
dalam peperangan tersebut adalah raja negeri Biau, bukan raja Buol seperti
ditulis dalam beberapa buku sejarah sebelum ini (oleh karena pada pada masa
itu kerajaan buol terbentuk ). Dalam
sejarah kerajaan buol terbentuk karena
timbulnya kesadaran dari rakyat ke empat negeri untuk bersatu kembali,setelah
mengalami serangan bertubi-tubi dari pihak musuh. Serangan itu datangnya dari
kerajaan Sigi dan dari bajaklaut Magindano. Selama puluhan tahun bajak laut
mangindano merajalela di Buol raja ke empat negeri tidak bisa berbuat apa-apa
karena meraka tidak bersatu. Serangan Manginano tersebut antara lain tahun ±
1150 M dan ± 1200 M, dan beberapa kalai
pada masa-masa sesudah itu. Mereka juga menculik putri-putri Buol dibawa
kenegrinya.
Sebagian dari penyerang memilih
menetap di Buol. Terjadilah perkawinan diantara mereka dengan penduduk asli.
Disaamping itu terjadi pula perbauran budaya antara budaya Buol dengan budaya
Sigi/kaili dan antaara budaya Buol dan budaya Mangindano. Maka dalam adat
istiadan buol MOGUTU BWUIYAN dikenal adanya BWUIYAN KAILI yaitu adat leluhur
kaili dan BWUYIAN MANGINAO yaitu adat leluhur Mangindano. Karena adanya
serangan-serangan daari luar itulah kebanyakan pusat-pusat kerajaan buol dahulu
berada dipedalaman.
RAJA MANGAMU PEDIRI KERAJAAN BUOL
Rakyat negeri Biau sangat risau
ditinggalkan pimpinan yang ditawan oleh pasukan Sigi. Mereka bersama-sama
memohon kepada yang maha kuasa supaya diturunkan seorang raja untuk memimpin
mereka. Selang beberapa waktu lamanya atas kehendak Yang Maha Kuasa terjadi
angin tofan dan angn ribut. Setelah cuaca cerah kembali, rakyat negeri Biau
beramai-ramai pergi kegunug Pogogul. Mereka menemukan sepasang manusia.dari
rumpun Kayu BINDONU keluar seorang laki-laki mengaku bernama : Mangamu dan dari
Batu hitam yanng terbelah muncul seorang perempuan yang bernama : SAKILATO.
Mereka menjadi suami istri dan sangat dihormati oleh rakyat karena arif dan
bijaksana dan baik budi pekertinya. Atas kehendak rakyat, kemudian mangamu
diangkat menjadi Raja Biau pada tahun 1380 M. Dalam kepemimpinanya negeri
menjadi makmur dan aman. Kesejahtraan rakyat sangat diutamakan. Mengetahui hal
tersebut maka rakyat dari ketiga negeri sangat berhasrat untuk brgabung dengan
negeri Biau . secara bersama-sama wakil mereka menghadap raja Mangamu
menyampaikan semua maksudnya.
Raja Mangamu menyetujui. Keempat
buah negeri digabung menjadi satu,dalam bentuk sebuah kerajaan yang diberi nama
kerajaan Buol pada tahun 1400 M, dengan Mangamu sebagai Madika ( Raja ) sedangkan
ke tiga TAMODOKA dari negeri Tongon,Talaki dan Bunobogu masing-masing sebagai
raja muda. Dipemukiman Baru sudah terbentuk kampung-kampung yang masing-masing
dipimpin oleh seorang yang tertua dari mereka dengan gelar : TI KAPAYA NO
KAMBUNG . peradaban mulai maju dan berkembang. Masyarakat bersatu dalam
persekutuan hidup yang mempunyai pemimpin masing-masing tapi merasa satu
kesatuan yang dinamakan satu Suku bangsa Buol. Pemerintahan dikendalikan dari
BLORE OPATO = rumah empat.
Tugas pokok pemerintahan adalah
memajukan usaha-usaha untuk kesejahtraan rakyat. Persatuan dan kesatuan
digalang kembali terutama untuk membina keamanan dan pertahanan diri dari
serangan musuh. Rakyat harus hidup tentram, aman dan damai. Padawaktu itu
mereka sudah mengenal bercocok tanam. Tidak dapat lagi mengantungkan diri dari
bahan makana yang diambil dihutan seperti buah-buahan dan umbi-umbian,karena
makin lama makin habis.
Raja Mangamu nama lain : NDUBU I
dicintai rakyatnya ia memerintah pada tahun 1380-1430 M. Dalam sejarah buol
raja Mangamu diyakini sebagai pendiri kerajaan buol, mempersatukan rakyat Buol
dalam suatu kerajaan dan meletakan sasar-dasar pemerintahan yang pertama.
Menurut versi belanda dalam Buol
staat, bahwa raja Buol pertama adalah sultan EATO. Namun setelah diadakan
penelitian dan pengkajian yang mendalam tentang sejarah Buol, maka diyakini
raja buol Biau,Tongon,Talaki dan Bunobogu menjadi sebuah kerajaan yaitu
kerajaan BUOL. Dalam buku sejarah daerah sulawesi tengah tercatat pula nama
dari tiga raja muda yaitu :
DAI PARUNDU : dari negeri Tongon
PULILI BWUTA : dari negeri Talaki
UMAYA (UMAJAD) : dari negeri
Bunobogu
Mangamu mempunya tiga orang anak.
Anak pertama perempuan baernama : ANGGATI BONE,
yang lahir bersama Telur dalam
Gengamanya. Yang kedua lelaki bernama : ANOGU LRIPU dengan kembaranya SAMADA
(songkoraja) anak ketiga barnama : DAIBOLRE dengan kembaranya sebila keris
(sundang).
Sumber : DISINI
May 10, 2025 | Labels: Kareba, Riwayat, Tutura | 0 Comments
Sejarah Kerajaan BUOL
Sejarah Buol mulai dikenal secara
teratur sejak jaman pemerintahan NDUBU I dengan permaisurinya bernama SAKILATO
(sekitar 1380 M) dan selanjutnya digantikan oleh Anogu Rlipu sebagai Madika
yang kemudian memindahkan Pusat pemerintahan dari Guamonial ke Lamolan. Setelah
Anogu Rlipu meninggal dunia dan Dae Bole belum kembali maka Bokidu memutuskan
BATARALANGIT menjadi Madika (Raja) dengan gelar Madika Moputi atau Sultan Eato
dan diperkirakan Madika Moputi adalah Raja Buol yang pertama memeluk Agama
Islam dengan nama Muhammad Tahir Wazairuladhim Abdurahman dan meninggal pada
tahun 1003 H atau 1594 M.
Pengganti Madika Moputi adalah putra Dai Bole yaitu Pombang Rlipu yang diberi gelar Prins Yakut Kuntu Amas Raja Besar oleh Portugis. Setelah masa pemerintahan Pombang Rlipu yang terkenal adalah Sultan Pondu yang banyak melakukan perlawanan pada Portugis yang pada akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1770. Sesudah Sultan Pondu, yang memerintah adalah Dinasti Mokoapat, yaitu : Sultan Undain, Datumimo (1804 – 1810), Mokoapat (1810 – 1818), Ndubu II, Takuloe, Datumula (1839 – 1843), Elam Siradjudin (1843 – 1857), Modeiyo (wakil 1857 – 1858), Lahadung (1858 – 1864), dilanjutkan oleh Dinasti Turumbu/Turungku yaitu : Turumbu / Turungku (1864 – 1890), Haji Patra Turungku (1890 – 1899), Datu Alam Turungku (1899 – 1914), Haji Akhmad Turungku (1914 – 1947), Mohammad Aminullah Turungku (1947 – 1997), Mahmud Aminullah Turungku (1997 – 2014), Safri Abdullah T. Turungku (2014 – sekarang)
Kabupaten Buol adalah salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang RI Nomor 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Sebelumnya, pada pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Buol merupakan Daerah Swapraja yang tergabung dalam Daerah Gorontalo. Selanjutnya melalui Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959 gabungan Swapraja Tolitoli dan Swaparaja Buol menjadi Kabupaten Buol Tolitoli.
Sejak tanggal 16 Februari 1966 melalui Keputusan DPR-GR Propinsi Sulawesi Tengah Nomor: 1/DPR-GR/1966 tentang Pemekaran Sembilan Kabupaten Dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tengah, Buol diusulkan sebagai Daerah Tingkat II / Kabupaten. Keinginan ini baru terealisir pada pada tahun 1999 atau 33 tahun kemudian dengan diresmikannya Pembentukan Kabupaten Buol tanggal 12 Oktober 1999. Ir. Abdul Karim Mbouw ditunjuk sebagai Pejabat Bupati melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 131.52-1146 tanggal 8 Oktober 1999. Oleh karena sakit beliau meninggal dunia pada tanggal 10 Februari 2000, maka Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 131.52081 mempercayakan Drs. A. Karim Hanggi sebagai Pejabat Bupati Buol yang Ke II. Bupati yang ke-III adalah Amran Batalipu periode 2007-2012 dan Bupati ke-IV adalah Amirudin Rauf (2012-sekarang).
Kabupaten Buol merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam peta Pulau Sulawesi, Kabupaten Buol nampak memanjang dari timur ke barat, terletak di sebelah utara garis khatulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 lintang utara dan 120 – 122,09 bujur timur, serta mempunyai batasbatas sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Sulawesi, Sebelah Timur : Kabupaten Gorontalo Utara, Sebelah Selatan : Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Parigi Moutong, dan Sebelah Barat : Kabupaten Tolitoli
Kabupaten Buol memiliki luas wilayah 4.043,57 km2. Wilayah kabupaten Buol terbagi kedalam 11 kecamatan, yaitu: Lakea, Biau, Karamat, Momunu, Tiloan, Bokat, Bukal, Bunobogu, Gadung, Paleleh dan Paleleh Barat. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Tiloan, yaitu sebesar 1.437,70 km2 atau sekitar 35,55 persen dari luas Kabupaten Buol. Kecamatan Momunu memliki luas kedua terbesar, yaitu 400,40 km2 atau 9,90 persen. Kecamatan Paleleh memiliki luas ketiga terbesar, yaitu 386,19 km2 atau 9,55 persen.
Ketinggian ibukota kecamatan dari permukaan laut di Kabupaten Buol berkisar antara 2-27 m diatas permukaan laut. Wilayah dengan letak paling dekat dengan permukaan laut adalah Kecamatan Paleleh yang berada 2 meter diatas permukaan laut. Sedangkan wilayah dengan letak paling tinggi adalah Kecamatan Tiloan yang terletak 27 meter diats permukaan laut. Jika dilihat dari letak ketinggiannya dari permukaan laut, wilayah Kabupaten Buol sebagian besar merupakan daerah dataran rendah, hal ini dikarenakan letak ibukota kecamatan yang terdapat di daerah pesisir pantai, kecuali untuk kecamatan Momunu, Tiloan dan Bukal yang terletak jauh dari pantai.
Suhu udara Kabupaten Buol pada tahun 2014 berkisar antara 21oC sampai 34oC dengan rata-rata suhu 27,1oC sepanjang tahunnya. Rata-rata kelembaban udara pada tahun 2014 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2013, yaitu dari 83,85% menjadi sebesar 84,33%. Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan geografi dan perputaran/ pertemuan arus udara. Pada musim hujan, angin bertiup agak menurun dibandingkan dengan keadaan angin pada musim kering. Pada tahun 2014 di Kabupaten Buol rata-rata kecepatan angin adalah 1009,8 knot. Curah hujan sepanjang tahun 2014 di lokasi stasiun pengamat Lalos Kabupaten Buol tercatat jumlah curah hujan sebesar 1802,9 mm. Sehingga rata-rata curah hujan sebesar 150,2 mm.
Kabupaten Buol sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tolitoli yang kemudian dimekarkan menjadi kabupaten yang berdiri sendiri berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Morowali, dan Banggai Kepulauan. Pada saat ini Kabupaten Buol mempunyai wilayah yang terdiri dari 11 kecamatan dan terdiri dari 7 kelurahan dan 303 daerah pedesaan.
Visi Pemerintah Kabupaten Buol merupakan gambaran kesuksesan yang ingin dicapai dalam kurun waktu 5 (lima) tahun kedepan yang disusun dengan memperhatikan visi RPJPD Provinsi Sulawesi Tengah dan Visi Kabupaten Buol Tahun 2025-2045 dan arah Pembangunan Nasional RPJMN Tahun 2025-2029. Dengan menyadari keberadaan seluruh potensi yang dimiliki, baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia termasuk potensi sosial budaya dan sinergitas diantara berbagai sumber daya serta partisipasi aktif seluruh stakeholders dan elemen masyarakat Kabupaten Buol, maka Visi Pemerintah Kabupaten Buol Tahun 2025-2029 dirumuskan sebagai berikut : “BUOL AGAMIS, MAJU, SEJAHTERA, BERKEADILAN DAN BERDAYA SAING”
Dalam rangka mewujudkan Visi, maka Pemerintah Kabupaten Buol menetapkan serangkaian Misi Pembangunan yang bernilai strategis sebagai berikut :
1. Meningkatkan pengembangan sumber daya manusia berkualitas yang berlandaskan pada penguatan pendidikan, kesehatan, perekonomian masyarakat dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Meningkatkan perekonomian yang
bertumpu pada pengelolaan dan pengembangan potensi sumber daya alam lokal serta
hilirisasi melalui sinergi fungsi-fungsi pertanian, perikanan, perkebunan,
pariwisata, perdagangan, pertambangan industri, dengan penekanan pada
peningkatan pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja;
3. Meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, dinamis, dengan mengedepankan
prinsip good governance and clean government;
4. Meningkatkan layanan pendidikan,
keterampilan, peningkatan derajat kesehatan individu dan
masyarakat;Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi
daerah, terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Koperasi, serta Badan
Usaha Milik daerah, (BUMD), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) serta membangun dan
mengembangkan pasar bagi produk lokal;
5. Meningkatkan pelayanan
infrastruktur dan sarana – prasarana layanan dasar yang berkualitas dan ramah
lingkungan;
6. Memantapkan keamanan daerah,
tangguh, demokrasi substansial dan stabilitas ekonomi makro daerah.
Sumber : DISINI
May 10, 2025 | Labels: Kareba, Riwayat, Tutura | 0 Comments
Blog Archive
-
▼
2025
(40)
-
▼
May
(24)
- Wilayah Kerajaan Sejarah Kabupaten Donggala
- Perang SIGI (1905-1908)
- Sejarah Lembah Palu
- BUOL SALING SAPA
- Sejarah Kerajaan BUOL
- Zaman Permulaan Magau dan Islam di Palu Tanah Kaili
- Zaman Sejarah
- Zaman Pra Sejarah
- Zaman Klasik dan Saverigading Di Palu Tanah Kaili
- Sejarah Singkat Kecamatan SIGI BIROMARU
- Sejarah Kota Palu
- Menapaki Jejak Pitu Nggota Ngata Kaili
- Kaili itu Ramah, Tapi Jangan Diusik
- Sejarah Desa WATUNONJU
- Sejarah Desa LOLU
- Sejarah Desa LORU
- Sejarah Singkat Desa NAMO
- Sejarah Terbentuknya Ngata Toro, Kulawi
- Sejarah Desa Jono Oge
- Sejarah Desa Oloboju
- Sejarah Desa Baluase
- TO SILONGA
- Islamisasi Ala Cikoang di Lembah Palu: Peran Sayyi...
- Jejak Diaspora Cikoang di Tawaeli
-
▼
May
(24)