Zaman Pra Sejarah

 

Bagian I

Zaman Pra Sejarah

 

 

 

Zaman Paleolithicum

Geologi dinyatakan bahwa sejak 60 juta tahun lalu adalah zaman neozikum tertiair dan quartair yang terbagi dari zaman holocen dan kebanyakan inilah, mulai manusia yang mirip dengan kita (homoseks)  20.000 tahun yang lalu. Masa ini hanya bisa mencapai 6.000 tahun saja dari sejarah (pra sejarah).

Pada zaman diluvium di Indonesia berdasarkan penelitian dan ilmu pra sejarah, berlangsungnya kebudayaan paleolithicum (manusia zaman dahulu kala) dengan penghuni pithokanthropus (manusia kera yang berjalan naik), ditemukan oleh E. Dubois di tepi Bengawan Solo tahun 1890.

Penelitian arkeologi ini menetapkan manusia lebih tinggi daripada kaum homoseksual. Kemudian tahun 1936 oleh Van Koenigswald menemukan Homo Mojokertensis, Homowajakensis di Kediri dan Homosoloensis sebagai pendukung pada lapisan / zaman holocen. Ini ditemukan pada zaman kebudayaan paleolithicum dengan penghuni pithekanthropus yang masih menggunakan alat dari tanduk, tulang, batu dan masih sangat mudah untuk pencetak (pembelanja) dengan batu-batu kecil yang diasah (flaks). Alat-alat yang digunakan oleh Homowajakensis dan Soloensis. Untuk itu perlu dipertanyakan Bahasanya dalam isi arkeologi, ilmu Bahasa dan sejarahnya. Kemudian pada lapisan budaya neolithicum, bermukim orang-orang Papua - Melanezoid. Penghidupan mereka dari hasil berburu, Temukan ikan dan mulai bercocok tanam yang bermukim di Pesisir Pantai (kyokken moddinger), gua-gua (abris sousrocho). Peralatan hidup pun masih sangat sederhana, terdiri dari kapak genggam (kapak), kapak pendek (hocke courto) dan batu penggiling. Disamping itu mereka telah mengenal lukisan dalam bentuk ornamen, dilukiskan di dinding-dinding gua tempat mereka bermukim. Hal ini dapat dilihat pada beberapa gua di teluk Tolo Sulawesi Tengah dan gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan.

Menurut Mae Modeleini Golani ahli prasejarah Perancis di Tonkin terletak Pusat Kebudayaan Mezolithikum dengan jenis penghuni Papua-Melanesoide-Austroloide-Europacide yang menyebar dari Hindia-Belanda ke Indonesia hingga di lautan Teduh dan Australia;

Zaman neolithikum yang ditandai dengan alat berbentuk kapak persegi dan kapak lonjong, ditemukan pula di Tolitoli tahun 1973. Mereka telah membuat tembikar, anyaman guling dan menenun, dapat digunakan sebagai ekskavasi di Bada tahun 1976, manik-manik, krawang berhias dan mengandung benda-benda seperti megalithe yang ada di Lore, dataran tinggi Palu, Vatunonju dan Bangga di Sulawesi Tengah.

 

Seni zaman neolithikum atau sebelum Hindu tidak ada di daerah ini karena:

1.            Tidak ditemukannya patung-patung dari pengaruh Hindu di wilayah yang tak jauh dari Pantai (mengingat sulitnya hubungan bila dibandingkan di tengah-tengah Sulawesi seperti di daerah Bada), sebentuk patung-patung atau benda-benda lain, terbuat dari batu yang sama dengan patung-patung yang ada di Indonesia dari peninggalan Hindu.

2.            Patung-patung dan benda-benda yang terbuat dari batu itu, bentuknya masih sangat sederhana, jika dibandingkan dengan patung-patung Hindu yang ada di Indonesia.

3.            Bentuk patung-patung tersebut hampir sama, mulai yang paling besar sampai yang sekecil-kecilnya yaitu mempunyai kepala yang bertelinga, mata, hidung. Mempunyai badan dan tangan, tetapi tidak berkaki (patung menhir) tertanam tak berbentuk yang terbatas di atas tanah dengan tanda lelaki atau perempuan. Patung tersebut kami perkirakan untuk melambangkan Tadulako atau tukang sihir (pawang) para ahli upacara atau pemujaan nenek moyang yang telah meninggal atau kepala-kepala suku yang berjasa sebagai dasar perkembangan pertama kepercayaan.

Ini terbukti sampai saat sekarang yang masih tetap mempunyai adat istiadat lama, bentuk bangunan rumah, kantor-kantor pemerintahan yang mengingatkan pada keunikan zaman sebelum masa klasik, dan kini mulai tumbuh spesialisasi kerja dengan meninggalkan zaman nomaden, mempunyai ketua suku atau adat yang berpengaruh, kemudian dibuatkan patung pada zamannya.

4.            Hal ini dikemukakan karena ada pendapat mengenai patung-patung tersebut adalah peninggalan Hindu.

5.            Berdasar hal tersebut di atas, maka kami berpendapat bahwa patung-patung itu sudah ada sebelum Hindu atau pengaruh Hindu di Indonesia, yaitu dari 500 tahun SM sampai 1864 tahun lalu.

Patokan ini diambil sesuai dengan perhitungan glotte chromologi yaitu terpisahnya Bahasa Bada dari Bahasa induknya (500 tahun SM - 1864). Diperkirakan sejak mereka masih berBahasa induk dan pada saat itu menurut sejarah, bangsa dan pengaruh Hindu belum sampai ke Indonesia. Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa patung-patung, lumpung batu dan kalamba yang ada di Lore, dataran tinggi Palu dan Kulavi itu, adalah hasil seni di zaman sebelum Hindu dengan kata lain karya nenek moyang kita sendiri sejak dari zaman dahulu, berdasar kebudayaan neolithicum. Pendukungnya ialah bangsa Austronesia (nenek moyang bangsa Indonesia) yang menyebar ke Indonesia  2.000 tahun SM dari Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Pada zaman logam / perunggu (megalithicum) diperoleh kapak corong seperti di Peura Kabupaten Poso, tahun 1976 dll, Nekara (seperti dandan ditelungkupkan) yang berpusat di Dongson (Tonkin) yang pembawanya juga dibawa kapak melalui laman Barat, melalui Malaysia Barat  500 tahun SM . Buat sesuai dengan apa yang dikatakan batu-batu besar atau megalit buatan manusia yang ada di Lore itu, di buat pada zaman ini. Dalam pengelompokkan Bahasa terhadap prosentase kata-kata seasal dari Napu, Besoa dan Kaili sebagai tempat temuan batu-batu besar (megalitik) yang dibuat oleh manusia, maka dapat digunakan bahasa Inggris dengan bahasa Kulavi, Koro dan Poso. Karena selisih persentasenya tidak sampai 10%. Bahasa Toraja mesti ditempatkan di luar kelompok tersebut, Karena memiliki selisih lebih dari 10% yaitu 15, 21 dan 30% bila dibandingkan dengan kelompok Bada, Napu, Poso dan Koro. Lebih jika dibandingkan dengan Bahasa Kulavi, Kaili, Pakava dan Sigi akan lebih jauh lagi perbedaannya, yaitu masing-masing 42, 51, 52 dan 61%.

Menurut Prof. Isodore Dyen (Universitas Yale) selisih persentase tidak boleh lebih dari 10%, maka Bahasa itu tidak kumpulan atau di luar kelompok Bahasa tersebut. Jadi jelaskan bahwa Toraja 'tidak ada' di Sulawesi Tengah, sesuai pula dengan menyetujui sekarang.

Bada-Sigi Kaili dan Napu-Sigi Kaili, masing-masing 52% dan 60%. Lama tiba 2168 tahun  304 tahun. Dapat diambil kesimpulan dari Bahasa Indonesia dari grup itu atau Meso Bahasa dari seluruh Bahasa yang diselidiki (Kaili, Pakava, Kulavi, Koro, Poso, Napu, Bada, Sigi) memencar 2168 tahun,  403 tahun lalu atau pada tahun 500 Masehi.

Berdasar perhitungan di atas Bahasa Toraja tidak dikelompokkan dengan Bahasa Kaili-Pamona (Kaili, Koro, Poso / Pamona, Bada, Napu).

 

Zaman Mezolithicum

Zaman ini belum ada yang memerintah sebagai tetap, sebab manusia zaman ini masih hidup kejar mengejar, siapa yang berjuang dialah yang berkuasa, dan menjadi pemimpin.

Sedang manusia waktu itu, terbanyak masih menyimpan hewan yang mereka buru di hutan, memakai alat seperti sumpitan, tombak dan makan buah-buahan. Makan nasi pun belum mereka kenal. Lambat laun setelah mereka menjadi lebih banyak, mulailah mencari tempat-tempat yang lebih bebas, hingga mereka mulai berangsur-angsur ke daratan lembah Kaili.

Di sana mereka hidup berkelompok-kelompok di lingkungan berkumpul, membuat perkampungan dikalangan beberapa keluarga terdekat dan di kepalai oleh salah satu anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan kesejahteraan. Yang paling menentukan di zaman ini, siapa yang dianggap paling beruntung dan memiliki keluarga besar serta banyak pengikut, dialah menjadi orang yang paling didengar, diterima dan sekaligus berkuasa di wilayahnya.

Demikian seterusnya, dan di dalam saat timbullah kekuatan besar di tangan seorang laki-laki pemberani. Disamping itu, ia juga memiliki banyak pengikut yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok yang ditaklukannya. Kelompok itu menjadi lebih banyak tersebar di sana-sini, di bawah kekuasaannya dan dialah disebut “Toma Langgai” atau Bapak Laki-Laki pada waktu itu.

Pada saat inilah mulai tampak unsur kekuasaan dari seseorang penguasa yang bersifat diktator, dimana segala sesuatunya dapat dilakukan sesuka hatinya, apakah bersikap arif atau bijak. Hukum adat yang menjadi benteng kekuatan sama sekali belum terlihat. Sedang hukum alam tetap merubah keadaan yang berlaku, maka disuatu saat penguasa-penguasa yang lain, mau tak mau harus mengalami masa suramnya menurut kodrat Tuhan Yang Maha Esa, menentukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya.

Demikianlah aturan hukum rimba yang menentukan masa gemilangnya untuk pindah satu zaman baru. Yang mengesankan bagi mereka, yang masih ada lagi satu yang lebih besar dari yang ada di dunia ini. Di kala mereka Tuhan kodratkan satu kekuatan gaib yang berwujud seorang wanita, sangat jelita yang dinamakan Untuk Manuru (orang dari Kahyangan). Dengan demikian, maka berakhir disinilah kediktatoran Toma Langgai.

 

Zaman Megalithicum

Tradisi zaman megalitik, zaman batu antara 1.000 dan 50 tahun Sebelum Masehi di Indonesia. Zaman yang disebut pula sebagai zaman Batu Besar ini telah dikenal peradaban yang cukup. Karena itu, kaya dengan nuansa dan corak yang tidak mudah ditelusuri.

Salah satu tanda zaman Megalitikus ini adalah patung-patung yang dikenal dengan nama Menhir, berfungsi sebagai objek pemujaan, tanda tempat upacara dan semacam nisan pekuburan. Menhir biasanya ditemukan di kawasan daratan, menandakan zaman Megalitik yang telah dikenal kultur agraris yang cukup lanjut. Berbeda dari zaman Mesolitik dan zaman Neolitik (2.000-1.000 SM).

Menurut Wiyono Yudoseputro, ahli seni rupa purba, salah satu patokan masa megalitik yang paling tua di Indonesia adalah benda temuan yang ada di lembah Bada Sulawesi Tengah. Struktur batu pada objek temuan masih kelihatan jelas, dan garis-garis pahatannya sangat sederhana dan kasar, katanya “peninggalan Megalitik di Sumatra, diterbitkan pada masa yang lebih maju. Terlihat pemahatannya sudah mampu mengolah materi. Pahatannya lebih halus, dan bentuknya lebih dinamis ”, ujar Wiyono.

Menurut Wiyono, melalui kebudayaan Dongson, ciri batu megalitik sedikit demi sedikit yang hilang, karena kesulitan memperkenalkan bahan logam, khususnya pengecoran logam perunggu. Bentuk menhir dengan sendirinya mengubah karena pengaruh itu.

“Ciri menhir yang menantang budaya Dongson adalah bentuknya sudah lebih realistis”, ujar Wiyono lagi. Ciri ini tampak jelas pada menhir yang ditemukan di daerah Pasemah, Sumatera Selatan. Dan menhir di Kabupaten Lima puluh Koto. Menurut ahli ahli purba purba, kemungkinan besar dari masa lalu, Dongson, mungkin lebih tua, mungkin juga lebih mudah dari menhir di Pasemah.

 

Zaman Migrasi

Masyarakat Gunung, jurang-jurang, pada bagian Barat dan Timur, serta di lembah Kaili dan danau di Kaili, sekarang teluk Palu, bermukim Ke Banava, Ke Pakava (Ke Lare), Ke Rimbangga, Ke Risigi, Ke Ripunde, Ke Rivonggi, Ke Raranggonau memperoleh percampuran darah dengan dukungan masyarakat yang mendukung Kebudayaan Megalit; disebut oleh Kruyt, "De Steenhouwere (pemecah batu)". Masyarakat ini diperkirakan berasal dari dua arah: Pertama dari utara, diantisipasi dari kepulauan Jepang masuk ke Sulawesi Tengah lewat Minahasa sampai di tanah Kaili pada pertemuan di sebelah timur bernama Umbuala Selatan Kulavi dan barat lembah Palu Perbatasan Luaio. Pada Dataran Tinggi Bada, Napu, Besoa. Pada negeri Loru, Lando, Vonggi, Vatunonju, Tuva, Bangga, Kulavi, Malatu dan Pevunu.

Di negeri-negeri ini hingga sekarang terdapat banyak tradisi megalit yang membentuk Lumpung Batu dan Kalamba.

1.            Dr. Adriani dan Kruyt pada tahun 1989 menulis “Van Poso naar Parigi, Sigi en Lindu”. Menceriterakan hanya menemukan Lumpung Batu di Lembah Palu di Desa Vatunonju  8 km dari Palu (sesuai dengan namanya, Vatunonju atau Lumpung Batu (Bahasa Kaili) di Kecamatan Biromaru; desa ini hanya tersedia sekarang; dan dipen .

2.            Tim Penuliasan Monografi Daerah yang dipimpin penulis pada akhir tahun 1974, menemukan 10 buah Vatunonju (Nonjuji) di desa tersebut dan sebuah desa Tulo Kecamatan Dolo  13 km dari Palu, kira-kira 5 km dari Vatunonju, serta pada permulaan Januari 1975 ditemukan 2 buah lagi di desa yang sama.

3.            Selanjutnya pada bulan Pebruari 1975 oleh petugas Kebudayaan Kantor Wilayah P dan K Sulawesi Tengah ditemukan di Desa Pevunu Kecamatan Dolo 3 buah dan Desa Bangga 8 buah.

4.            Pada permulaan April, penulis dengan Tim IKDN menemukan Lumpung Batu di Loru - Biromaru yang terdiri dari 6 buah, Oloboju - Biromaru 1 buah.

5.            Akhir tahun 1976 Tim P4J (Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala Jakarta) penulis bersama Dra. Ny. Belahan H. Lapasere menemukan masing-masing 7 buah temuan di desa Bangga.

Migrasi Ke II dinamakan Kruyt sebagai De Postenbakkers (pembuat tembikar) dari tanah liat. Benda ini terdiri dari tempayan besar sebagai tempat penguburan dan periuk kecil digunakan untuk memasak yang termasuk banyak bukit-bukit lembah Palu, ditemukan tertimbun di tanah di tempat-tempat Tulo (Dayoji) dan beberapa tempat yang tergali dalam tanah seperti Vatunonju, Oloboju. Diperkirakan masyarakat lokal, Sulawesi Tengah dari arah Teluk Tulang yaitu dari tempat di Malili dan Votu dari Arah laut (selat Makassar) menjelajahi daerah Kaili dan menyebar ke daerah lembah Palu.

Hal ini dikemukakan karena adanya pendapat tentang patung-patung dan lumpung-lumpung, kalamba, menhir, batu bergores, batu kerbau di lembah Palu, Kulavi dan Lore itu adalah peninggalan Hindu. Berdasarkan temuan ini maka penilaian tim patung-patung, lumpung batu dan kalamba yang sudah ada sebelum Hindu atau pengaruh Hindu di Indonesia, yaitu dari 500 SM sampai tahun lalu.

Patokan itu diambil sesuai kalkulasi glotte tentang pengelompokkan Bahasa yang dibagi Bahasa Bada dari Induknya, diperkirakan 500 tahun SM hingga 1864 tahun lalu.

Dengan demikian, besar sekali kemungkinannya bahwa patung-patung yang ada di Lore itu adalah hasil seni (buatan manusia) di zaman sebelum Hindu dengan kata lain karya nenek moyang kita sendiri sejak dari zaman dahulu berdasarkan kebudayaan neolithicum dan tradisi megalit. Masyarakat pendukung baru itu membawa anasir kebudayaan baru ke dalam kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial dan religi yang diuraikan sebagai berikut :

1.            Dalam bidang ekonomi diperkenalkan teknik pertanian berpengairan.

2.            Dalam lapangan religi disumbangkan sistem yang mengenal struktur dewa-dewa yang bertingkat-tingkat. Di samping itu juga diperkenalkan upacara-upacara keagamaan yang rumit.

3.            Dalam lapangan kehidupan sosial diperkenalkan sejumlah peraturan baru, termasuk inovasi dari suatu lapisan sosial baru, yakni lapisan bangsawan, yang berada di atas lapisan sosial yang telah ada lebih dahulu berlaku, dalam masyarakat, yaitu lapisan budak dan merdeka.

Melalui kebudayaan Dongson, tradisi megalitik menembus ke zaman Hindu dan masa Pra-Islam. Sebab, kebudayaan Dongson ini memang merupakan akar seluruh budaya di Indonesia.

 

Zaman To Manuru

Memasuki abad III sampai abad V, keadaan mengalami perubahan besar, setelah manusia pada waktu itu mulai menganut kepercayaan adanya satu kekuasaan yang lebih tinggi (di luar batas kekuasaan manusia biasa).

Hal ini terjadi pada zaman dahulu, ketika Toma Langgai dan pasukannya masuk hutan untuk berburu rusa. Di tengah hutan, mereka melihat serumpun bambu kuning kemasan yang dalam Bahasa Kaili disebut Bolovatu Mbulava yang artinya Bambu Kuning Keemasan.

Bambu semacam itu baru pertama kali terlihat oleh Toma Langgai, sehingga sangat menarik perhatiannya untuk mengarahkan perjalanan mereka menuju bambu itu. Ketika melihat bambu, Toma Langgai sangat tertarik hendak mengambilnya untuk dijadikan tempat menyimpan air (simbua nu uve), dan untuk pengangkat air dari kali ke rumah (kaita). Toma Langgai memerintahkan pasukannya agar segera menebang bambu tersebut.

Setelah ditebang, terjadi dengan seketika perubahan cuaca dari menjadi gelap, hujanpun turun dengan lebat meminjamkan guntur dan halilintar sambung-menyambung. Kemudian keaadaan menjadi teduh kembali, cuacapun kembali menjadi terang, kemudian terlihat oleh mereka di tempat itu, duduk seorang wanita muda yang cantik.

Melihat kejadian ini, Toma Langgai takjub dan kagum bertanya kepada pengawalnya yang meminta atau meminta nasihat, siapakah gerangan itu dan dari mana asalnya? Dengan spontan pengawalnya menjawab, “Ia adalah Untuk Manuru atau manusia penjelmaan Dewa dari Kahyangan, diturunkan ke dunia untuk menjadi istri (permaisuri) Tuan dan ditentukan oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Ia harus dibawa pulang, dipikul dengan Tuan dalam satu pikulan menuju ke tempat tuan Tuan ”, lanjut penasehat yang diterima Toma Langgai.

Akhirnya, pengawal tertunda mengeluarkan perintah pada anak buahnya untuk membuat satu pikulan besar, yang dibuat lebih lengkap dari bolo vatu mbulava (bambu kuning keemasan). Oleh karena itu, hingga sekarang bolo vatu mbulava itu masih dapat kita temukan pada upacara-upacara adat seperti perkawinan, mokeso (sunatan), kematian dan kegiatan adat lainnya.

Setelah pikulan selesai dibuat, maka dengan segala hormat Toma Langgai mempersilahkan tuan putri Untuk Manuru untuk naik ke atas pikulan, kemudian disusul Toma Langgai. Mereka duduk bersama, berdampingan dalam jinjingan itu. Pengawal meminta kemudian kembali mengeluarkan perintah untuk mengangkat pikulan. Para pengikut Toma Langgai bersorak memberi penghormatan tertinggi bagi para Pikulan Toma Langgai bersama To Manuru dibawa masuk ke kampung kediaman. Dengan penuh kebesaran dan kemewahan pikulan itu pindah kampung, diarak keliling dan diperlihatkan kepada seluruh masyarakat atas pembaharuan yang belum pernah terjadi juga melampaui dugaan mereka.

Pesta perkawinanpun dilaksanakan untuk pertama kalinya oleh masyarakat, jumlah besar selama 1 bulan. Berbagai kelengkapan pesta tersedia dan tersaji yang digembirakan masyarakat pendukung Toma Langgai. Karena hidup di dalam rumah tangga yang damai, membuat Toma Langgai menjadi lahan yang berubah, sebagian besar terapan dalam kepemimpinannya, berangsur-angsur kediktatorannya menjadi hilang. Beberapa bulan kemudian, mereka dikaruniakan seorang putra, mendapat perawatan baik oleh To Manuru sampai akhirnya menganjak dewasa.

Putra Mahkota dengan sendirinya menjadi penerus kekuasaan yang didukung sebagai Pemimpin. Sistem terapan kepemimpinannya membuat perubahan besar di Kampung itu. Semua yang dibahas dan dirembuk bersama dalam sistem dewan adat, disamping melakukan semedi (bertapa) kompilasi itu sangat pelik terpecahkan. Ia meminta petunjuk kepada Tuhan agar semua petaka dan meminta yang melanda negerinya dapat teratasi. Dengan demikian di kampung negara, banyak terlihat oleh pembangunannya perkembangan luar biasa yang dibangun dan diterapkan Putra Mahkota. Kemajuan dengan pesat, maka oleh pendukungnya ia berhak gelar To Baraka, berarti Pemberi Berkah.

Demikianlah jalannya pemerintahan yang memberi perubahan, didukung oleh masyarakatnya. Kesewenang-wenangan lenyap dalam sistem terapan pembawa berkah. Untuk Baraka sebutan yang dikenal masyarakatnya, disegani dan disingkirkan oleh seluruh lapisan masyarakat, semakin maju dalam negerinya semakin bertambah real yang di Pimpinan oleh yang jujur ​​dan menantang.

Proses itu berlaku terus menerus, hingga terangkatlah derajat masyarakat dan pemenuhan hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Semakin jauh dari generasi ke generasi, turunan bangsawan tidak perlu memegang kepemimpinan, dapat diprediksi sebagai turunan bangsawan. Merekapun tetap menganggap penting hak dan tanggung jawab memajukan negerinya dan menghargai siapa saja yang dipilih sebagai Pemimpin.

Tahapan ini menciptakan awal, hadirnya keinginan masyarakat dalam menuntut kemerdekaan dan keadilannya. Perasaan merdeka itu terpatri dan tumbuh pada putra-putra bangsawan, meskipun mereka tidak memegang kekuasaan. Penguasapun tetap memiliki perasaan yang sama dengan saudara-saudaranya yang tidak dapat melibatkan banyak orang, hingga mereka digelar sebagai “anak merdeka” yang artinya “putra bangsawan”. Kata 'merdeka' merupakan predikat yang diberikan Pimpinan Negeri bagi mereka untuk memiliki kebebasan dalam segala hal sebagai 'Putra Bangsawan'.

Dengan gelar ini, mereka menggunakan di mana-mana, sambil mencari partisipasi dari masyarakat. Salah satu cara yang digunakan dalam merekrut pengikut adalah mengawini wanita kampung, di mana orang tuanya melihatnya memahami atau menerima dari keluarga besar di kampung itu. Saat ini telah hadir menang di putra-putra bangsawan itu untuk merebut kedudukan dan kekuasaan yang ada.

Akhirnya di hampir semua kampung, telah dijelajahi, hingga mereka memiliki tujuan dan perasaan yang sama, untuk merdeka. Perasaan merdeka itu mulanya hanya terpendam dalam, dihati putra-putra bangsawan. Akhirnya keinginan itu meluas sampai selesai masyarakat yang dibekali dengan keinginan dan tujuan satu, merdeka! Keadaan inilah yang membuat hadirnya satu zaman, di mana zaman itu adalah zaman ingin merdeka untuk membentuk masyarakat adil dan makmur.

 

Sumber : DISINI

0 comments:

Post a Comment