Zaman Pra Sejarah
Bagian I
Zaman Pra Sejarah
Zaman Paleolithicum
Geologi dinyatakan bahwa sejak 60
juta tahun lalu adalah zaman neozikum tertiair dan quartair yang terbagi dari
zaman holocen dan kebanyakan inilah, mulai manusia yang mirip dengan kita
(homoseks) 20.000 tahun yang lalu. Masa ini hanya bisa mencapai 6.000 tahun
saja dari sejarah (pra sejarah).
Pada zaman diluvium di Indonesia
berdasarkan penelitian dan ilmu pra sejarah, berlangsungnya kebudayaan
paleolithicum (manusia zaman dahulu kala) dengan penghuni pithokanthropus
(manusia kera yang berjalan naik), ditemukan oleh E. Dubois di tepi Bengawan
Solo tahun 1890.
Penelitian arkeologi ini
menetapkan manusia lebih tinggi daripada kaum homoseksual. Kemudian tahun 1936
oleh Van Koenigswald menemukan Homo Mojokertensis, Homowajakensis di Kediri dan
Homosoloensis sebagai pendukung pada lapisan / zaman holocen. Ini ditemukan
pada zaman kebudayaan paleolithicum dengan penghuni pithekanthropus yang masih
menggunakan alat dari tanduk, tulang, batu dan masih sangat mudah untuk
pencetak (pembelanja) dengan batu-batu kecil yang diasah (flaks). Alat-alat
yang digunakan oleh Homowajakensis dan Soloensis. Untuk itu perlu dipertanyakan
Bahasanya dalam isi arkeologi, ilmu Bahasa dan sejarahnya. Kemudian pada
lapisan budaya neolithicum, bermukim orang-orang Papua - Melanezoid.
Penghidupan mereka dari hasil berburu, Temukan ikan dan mulai bercocok tanam
yang bermukim di Pesisir Pantai (kyokken moddinger), gua-gua (abris sousrocho).
Peralatan hidup pun masih sangat sederhana, terdiri dari kapak genggam (kapak),
kapak pendek (hocke courto) dan batu penggiling. Disamping itu mereka telah
mengenal lukisan dalam bentuk ornamen, dilukiskan di dinding-dinding gua tempat
mereka bermukim. Hal ini dapat dilihat pada beberapa gua di teluk Tolo Sulawesi
Tengah dan gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan.
Menurut Mae Modeleini Golani ahli
prasejarah Perancis di Tonkin terletak Pusat Kebudayaan Mezolithikum dengan
jenis penghuni Papua-Melanesoide-Austroloide-Europacide yang menyebar dari
Hindia-Belanda ke Indonesia hingga di lautan Teduh dan Australia;
Zaman neolithikum yang ditandai
dengan alat berbentuk kapak persegi dan kapak lonjong, ditemukan pula di
Tolitoli tahun 1973. Mereka telah membuat tembikar, anyaman guling dan menenun,
dapat digunakan sebagai ekskavasi di Bada tahun 1976, manik-manik, krawang
berhias dan mengandung benda-benda seperti megalithe yang ada di Lore, dataran
tinggi Palu, Vatunonju dan Bangga di Sulawesi Tengah.
Seni zaman neolithikum atau
sebelum Hindu tidak ada di daerah ini karena:
1. Tidak ditemukannya patung-patung dari pengaruh Hindu di
wilayah yang tak jauh dari Pantai (mengingat sulitnya hubungan bila
dibandingkan di tengah-tengah Sulawesi seperti di daerah Bada), sebentuk
patung-patung atau benda-benda lain, terbuat dari batu yang sama dengan
patung-patung yang ada di Indonesia dari peninggalan Hindu.
2. Patung-patung dan benda-benda yang terbuat dari batu itu,
bentuknya masih sangat sederhana, jika dibandingkan dengan patung-patung Hindu
yang ada di Indonesia.
3. Bentuk patung-patung tersebut hampir sama, mulai yang
paling besar sampai yang sekecil-kecilnya yaitu mempunyai kepala yang
bertelinga, mata, hidung. Mempunyai badan dan tangan, tetapi tidak berkaki
(patung menhir) tertanam tak berbentuk yang terbatas di atas tanah dengan tanda
lelaki atau perempuan. Patung tersebut kami perkirakan untuk melambangkan
Tadulako atau tukang sihir (pawang) para ahli upacara atau pemujaan nenek
moyang yang telah meninggal atau kepala-kepala suku yang berjasa sebagai dasar
perkembangan pertama kepercayaan.
Ini terbukti sampai saat sekarang
yang masih tetap mempunyai adat istiadat lama, bentuk bangunan rumah,
kantor-kantor pemerintahan yang mengingatkan pada keunikan zaman sebelum masa
klasik, dan kini mulai tumbuh spesialisasi kerja dengan meninggalkan zaman
nomaden, mempunyai ketua suku atau adat yang berpengaruh, kemudian dibuatkan
patung pada zamannya.
4. Hal ini dikemukakan karena ada pendapat mengenai
patung-patung tersebut adalah peninggalan Hindu.
5. Berdasar hal tersebut di atas, maka kami berpendapat
bahwa patung-patung itu sudah ada sebelum Hindu atau pengaruh Hindu di
Indonesia, yaitu dari 500 tahun SM sampai 1864 tahun lalu.
Patokan ini diambil sesuai dengan
perhitungan glotte chromologi yaitu terpisahnya Bahasa Bada dari Bahasa induknya
(500 tahun SM - 1864). Diperkirakan sejak mereka masih berBahasa induk dan pada
saat itu menurut sejarah, bangsa dan pengaruh Hindu belum sampai ke Indonesia.
Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa patung-patung, lumpung batu dan
kalamba yang ada di Lore, dataran tinggi Palu dan Kulavi itu, adalah hasil seni
di zaman sebelum Hindu dengan kata lain karya nenek moyang kita sendiri sejak
dari zaman dahulu, berdasar kebudayaan neolithicum. Pendukungnya ialah bangsa
Austronesia (nenek moyang bangsa Indonesia) yang menyebar ke Indonesia 2.000
tahun SM dari Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Pada zaman logam / perunggu
(megalithicum) diperoleh kapak corong seperti di Peura Kabupaten Poso, tahun
1976 dll, Nekara (seperti dandan ditelungkupkan) yang berpusat di Dongson
(Tonkin) yang pembawanya juga dibawa kapak melalui laman Barat, melalui
Malaysia Barat 500 tahun SM . Buat sesuai dengan apa yang dikatakan batu-batu
besar atau megalit buatan manusia yang ada di Lore itu, di buat pada zaman ini.
Dalam pengelompokkan Bahasa terhadap prosentase kata-kata seasal dari Napu,
Besoa dan Kaili sebagai tempat temuan batu-batu besar (megalitik) yang dibuat
oleh manusia, maka dapat digunakan bahasa Inggris dengan bahasa Kulavi, Koro
dan Poso. Karena selisih persentasenya tidak sampai 10%. Bahasa Toraja mesti
ditempatkan di luar kelompok tersebut, Karena memiliki selisih lebih dari 10%
yaitu 15, 21 dan 30% bila dibandingkan dengan kelompok Bada, Napu, Poso dan
Koro. Lebih jika dibandingkan dengan Bahasa Kulavi, Kaili, Pakava dan Sigi akan
lebih jauh lagi perbedaannya, yaitu masing-masing 42, 51, 52 dan 61%.
Menurut Prof. Isodore Dyen
(Universitas Yale) selisih persentase tidak boleh lebih dari 10%, maka Bahasa
itu tidak kumpulan atau di luar kelompok Bahasa tersebut. Jadi jelaskan bahwa
Toraja 'tidak ada' di Sulawesi Tengah, sesuai pula dengan menyetujui sekarang.
Bada-Sigi Kaili dan Napu-Sigi
Kaili, masing-masing 52% dan 60%. Lama tiba 2168 tahun 304 tahun. Dapat
diambil kesimpulan dari Bahasa Indonesia dari grup itu atau Meso Bahasa dari
seluruh Bahasa yang diselidiki (Kaili, Pakava, Kulavi, Koro, Poso, Napu, Bada,
Sigi) memencar 2168 tahun, 403 tahun lalu atau pada tahun 500 Masehi.
Berdasar perhitungan di atas
Bahasa Toraja tidak dikelompokkan dengan Bahasa Kaili-Pamona (Kaili, Koro, Poso
/ Pamona, Bada, Napu).
Zaman Mezolithicum
Zaman ini belum ada yang
memerintah sebagai tetap, sebab manusia zaman ini masih hidup kejar mengejar,
siapa yang berjuang dialah yang berkuasa, dan menjadi pemimpin.
Sedang manusia waktu itu,
terbanyak masih menyimpan hewan yang mereka buru di hutan, memakai alat seperti
sumpitan, tombak dan makan buah-buahan. Makan nasi pun belum mereka kenal.
Lambat laun setelah mereka menjadi lebih banyak, mulailah mencari tempat-tempat
yang lebih bebas, hingga mereka mulai berangsur-angsur ke daratan lembah Kaili.
Di sana mereka hidup
berkelompok-kelompok di lingkungan berkumpul, membuat perkampungan dikalangan
beberapa keluarga terdekat dan di kepalai oleh salah satu anggota keluarga yang
memiliki kemampuan dan kesejahteraan. Yang paling menentukan di zaman ini,
siapa yang dianggap paling beruntung dan memiliki keluarga besar serta banyak
pengikut, dialah menjadi orang yang paling didengar, diterima dan sekaligus
berkuasa di wilayahnya.
Demikian seterusnya, dan di dalam
saat timbullah kekuatan besar di tangan seorang laki-laki pemberani. Disamping
itu, ia juga memiliki banyak pengikut yang merupakan gabungan dari
kelompok-kelompok yang ditaklukannya. Kelompok itu menjadi lebih banyak
tersebar di sana-sini, di bawah kekuasaannya dan dialah disebut “Toma Langgai”
atau Bapak Laki-Laki pada waktu itu.
Pada saat inilah mulai tampak
unsur kekuasaan dari seseorang penguasa yang bersifat diktator, dimana segala
sesuatunya dapat dilakukan sesuka hatinya, apakah bersikap arif atau bijak.
Hukum adat yang menjadi benteng kekuatan sama sekali belum terlihat. Sedang
hukum alam tetap merubah keadaan yang berlaku, maka disuatu saat
penguasa-penguasa yang lain, mau tak mau harus mengalami masa suramnya menurut
kodrat Tuhan Yang Maha Esa, menentukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya.
Demikianlah aturan hukum rimba
yang menentukan masa gemilangnya untuk pindah satu zaman baru. Yang mengesankan
bagi mereka, yang masih ada lagi satu yang lebih besar dari yang ada di dunia
ini. Di kala mereka Tuhan kodratkan satu kekuatan gaib yang berwujud seorang
wanita, sangat jelita yang dinamakan Untuk Manuru (orang dari Kahyangan).
Dengan demikian, maka berakhir disinilah kediktatoran Toma Langgai.
Zaman Megalithicum
Tradisi zaman megalitik, zaman
batu antara 1.000 dan 50 tahun Sebelum Masehi di Indonesia. Zaman yang disebut
pula sebagai zaman Batu Besar ini telah dikenal peradaban yang cukup. Karena
itu, kaya dengan nuansa dan corak yang tidak mudah ditelusuri.
Salah satu tanda zaman Megalitikus
ini adalah patung-patung yang dikenal dengan nama Menhir, berfungsi sebagai
objek pemujaan, tanda tempat upacara dan semacam nisan pekuburan. Menhir
biasanya ditemukan di kawasan daratan, menandakan zaman Megalitik yang telah
dikenal kultur agraris yang cukup lanjut. Berbeda dari zaman Mesolitik dan
zaman Neolitik (2.000-1.000 SM).
Menurut Wiyono Yudoseputro, ahli
seni rupa purba, salah satu patokan masa megalitik yang paling tua di Indonesia
adalah benda temuan yang ada di lembah Bada Sulawesi Tengah. Struktur batu pada
objek temuan masih kelihatan jelas, dan garis-garis pahatannya sangat sederhana
dan kasar, katanya “peninggalan Megalitik di Sumatra, diterbitkan pada masa
yang lebih maju. Terlihat pemahatannya sudah mampu mengolah materi. Pahatannya
lebih halus, dan bentuknya lebih dinamis ”, ujar Wiyono.
Menurut Wiyono, melalui
kebudayaan Dongson, ciri batu megalitik sedikit demi sedikit yang hilang,
karena kesulitan memperkenalkan bahan logam, khususnya pengecoran logam
perunggu. Bentuk menhir dengan sendirinya mengubah karena pengaruh itu.
“Ciri menhir yang menantang
budaya Dongson adalah bentuknya sudah lebih realistis”, ujar Wiyono lagi. Ciri
ini tampak jelas pada menhir yang ditemukan di daerah Pasemah, Sumatera
Selatan. Dan menhir di Kabupaten Lima puluh Koto. Menurut ahli ahli purba
purba, kemungkinan besar dari masa lalu, Dongson, mungkin lebih tua, mungkin
juga lebih mudah dari menhir di Pasemah.
Zaman Migrasi
Masyarakat Gunung, jurang-jurang,
pada bagian Barat dan Timur, serta di lembah Kaili dan danau di Kaili, sekarang
teluk Palu, bermukim Ke Banava, Ke Pakava (Ke Lare), Ke Rimbangga, Ke Risigi,
Ke Ripunde, Ke Rivonggi, Ke Raranggonau memperoleh percampuran darah dengan
dukungan masyarakat yang mendukung Kebudayaan Megalit; disebut oleh Kruyt,
"De Steenhouwere (pemecah batu)". Masyarakat ini diperkirakan berasal
dari dua arah: Pertama dari utara, diantisipasi dari kepulauan Jepang masuk ke
Sulawesi Tengah lewat Minahasa sampai di tanah Kaili pada pertemuan di sebelah
timur bernama Umbuala Selatan Kulavi dan barat lembah Palu Perbatasan Luaio.
Pada Dataran Tinggi Bada, Napu, Besoa. Pada negeri Loru, Lando, Vonggi,
Vatunonju, Tuva, Bangga, Kulavi, Malatu dan Pevunu.
Di negeri-negeri ini hingga
sekarang terdapat banyak tradisi megalit yang membentuk Lumpung Batu dan
Kalamba.
1. Dr. Adriani dan Kruyt pada tahun 1989 menulis “Van Poso
naar Parigi, Sigi en Lindu”. Menceriterakan hanya menemukan Lumpung Batu di
Lembah Palu di Desa Vatunonju 8 km dari Palu (sesuai dengan namanya,
Vatunonju atau Lumpung Batu (Bahasa Kaili) di Kecamatan Biromaru; desa ini
hanya tersedia sekarang; dan dipen .
2. Tim Penuliasan Monografi Daerah yang dipimpin penulis pada
akhir tahun 1974, menemukan 10 buah Vatunonju (Nonjuji) di desa tersebut dan
sebuah desa Tulo Kecamatan Dolo 13 km dari Palu, kira-kira 5 km dari
Vatunonju, serta pada permulaan Januari 1975 ditemukan 2 buah lagi di desa yang
sama.
3. Selanjutnya pada bulan Pebruari 1975 oleh petugas
Kebudayaan Kantor Wilayah P dan K Sulawesi Tengah ditemukan di Desa Pevunu
Kecamatan Dolo 3 buah dan Desa Bangga 8 buah.
4. Pada permulaan April, penulis dengan Tim IKDN menemukan
Lumpung Batu di Loru - Biromaru yang terdiri dari 6 buah, Oloboju - Biromaru 1
buah.
5. Akhir tahun 1976 Tim P4J (Proyek Pembinaan dan
Pemeliharaan Peninggalan Purbakala Jakarta) penulis bersama Dra. Ny. Belahan H.
Lapasere menemukan masing-masing 7 buah temuan di desa Bangga.
Migrasi Ke II dinamakan Kruyt
sebagai De Postenbakkers (pembuat tembikar) dari tanah liat. Benda ini terdiri
dari tempayan besar sebagai tempat penguburan dan periuk kecil digunakan untuk
memasak yang termasuk banyak bukit-bukit lembah Palu, ditemukan tertimbun di
tanah di tempat-tempat Tulo (Dayoji) dan beberapa tempat yang tergali dalam
tanah seperti Vatunonju, Oloboju. Diperkirakan masyarakat lokal, Sulawesi
Tengah dari arah Teluk Tulang yaitu dari tempat di Malili dan Votu dari Arah
laut (selat Makassar) menjelajahi daerah Kaili dan menyebar ke daerah lembah
Palu.
Hal ini dikemukakan karena adanya
pendapat tentang patung-patung dan lumpung-lumpung, kalamba, menhir, batu
bergores, batu kerbau di lembah Palu, Kulavi dan Lore itu adalah peninggalan
Hindu. Berdasarkan temuan ini maka penilaian tim patung-patung, lumpung batu
dan kalamba yang sudah ada sebelum Hindu atau pengaruh Hindu di Indonesia,
yaitu dari 500 SM sampai tahun lalu.
Patokan itu diambil sesuai
kalkulasi glotte tentang pengelompokkan Bahasa yang dibagi Bahasa Bada dari
Induknya, diperkirakan 500 tahun SM hingga 1864 tahun lalu.
Dengan demikian, besar sekali
kemungkinannya bahwa patung-patung yang ada di Lore itu adalah hasil seni
(buatan manusia) di zaman sebelum Hindu dengan kata lain karya nenek moyang
kita sendiri sejak dari zaman dahulu berdasarkan kebudayaan neolithicum dan
tradisi megalit. Masyarakat pendukung baru itu membawa anasir kebudayaan baru
ke dalam kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial dan religi yang
diuraikan sebagai berikut :
1. Dalam bidang ekonomi diperkenalkan teknik pertanian
berpengairan.
2. Dalam lapangan religi disumbangkan sistem yang mengenal
struktur dewa-dewa yang bertingkat-tingkat. Di samping itu juga diperkenalkan
upacara-upacara keagamaan yang rumit.
3. Dalam lapangan kehidupan sosial diperkenalkan sejumlah
peraturan baru, termasuk inovasi dari suatu lapisan sosial baru, yakni lapisan
bangsawan, yang berada di atas lapisan sosial yang telah ada lebih dahulu
berlaku, dalam masyarakat, yaitu lapisan budak dan merdeka.
Melalui kebudayaan Dongson,
tradisi megalitik menembus ke zaman Hindu dan masa Pra-Islam. Sebab, kebudayaan
Dongson ini memang merupakan akar seluruh budaya di Indonesia.
Zaman To Manuru
Memasuki abad III sampai abad V,
keadaan mengalami perubahan besar, setelah manusia pada waktu itu mulai
menganut kepercayaan adanya satu kekuasaan yang lebih tinggi (di luar batas
kekuasaan manusia biasa).
Hal ini terjadi pada zaman
dahulu, ketika Toma Langgai dan pasukannya masuk hutan untuk berburu rusa. Di
tengah hutan, mereka melihat serumpun bambu kuning kemasan yang dalam Bahasa
Kaili disebut Bolovatu Mbulava yang artinya Bambu Kuning Keemasan.
Bambu semacam itu baru pertama
kali terlihat oleh Toma Langgai, sehingga sangat menarik perhatiannya untuk
mengarahkan perjalanan mereka menuju bambu itu. Ketika melihat bambu, Toma
Langgai sangat tertarik hendak mengambilnya untuk dijadikan tempat menyimpan
air (simbua nu uve), dan untuk pengangkat air dari kali ke rumah (kaita). Toma
Langgai memerintahkan pasukannya agar segera menebang bambu tersebut.
Setelah ditebang, terjadi dengan
seketika perubahan cuaca dari menjadi gelap, hujanpun turun dengan lebat
meminjamkan guntur dan halilintar sambung-menyambung. Kemudian keaadaan menjadi
teduh kembali, cuacapun kembali menjadi terang, kemudian terlihat oleh mereka
di tempat itu, duduk seorang wanita muda yang cantik.
Melihat kejadian ini, Toma
Langgai takjub dan kagum bertanya kepada pengawalnya yang meminta atau meminta
nasihat, siapakah gerangan itu dan dari mana asalnya? Dengan spontan
pengawalnya menjawab, “Ia adalah Untuk Manuru atau manusia penjelmaan Dewa dari
Kahyangan, diturunkan ke dunia untuk menjadi istri (permaisuri) Tuan dan
ditentukan oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Ia harus dibawa pulang, dipikul
dengan Tuan dalam satu pikulan menuju ke tempat tuan Tuan ”, lanjut penasehat
yang diterima Toma Langgai.
Akhirnya, pengawal tertunda
mengeluarkan perintah pada anak buahnya untuk membuat satu pikulan besar, yang
dibuat lebih lengkap dari bolo vatu mbulava (bambu kuning keemasan). Oleh
karena itu, hingga sekarang bolo vatu mbulava itu masih dapat kita temukan pada
upacara-upacara adat seperti perkawinan, mokeso (sunatan), kematian dan
kegiatan adat lainnya.
Setelah pikulan selesai dibuat,
maka dengan segala hormat Toma Langgai mempersilahkan tuan putri Untuk Manuru
untuk naik ke atas pikulan, kemudian disusul Toma Langgai. Mereka duduk
bersama, berdampingan dalam jinjingan itu. Pengawal meminta kemudian kembali
mengeluarkan perintah untuk mengangkat pikulan. Para pengikut Toma Langgai
bersorak memberi penghormatan tertinggi bagi para Pikulan Toma Langgai bersama
To Manuru dibawa masuk ke kampung kediaman. Dengan penuh kebesaran dan
kemewahan pikulan itu pindah kampung, diarak keliling dan diperlihatkan kepada
seluruh masyarakat atas pembaharuan yang belum pernah terjadi juga melampaui
dugaan mereka.
Pesta perkawinanpun dilaksanakan
untuk pertama kalinya oleh masyarakat, jumlah besar selama 1 bulan. Berbagai
kelengkapan pesta tersedia dan tersaji yang digembirakan masyarakat pendukung
Toma Langgai. Karena hidup di dalam rumah tangga yang damai, membuat Toma
Langgai menjadi lahan yang berubah, sebagian besar terapan dalam
kepemimpinannya, berangsur-angsur kediktatorannya menjadi hilang. Beberapa
bulan kemudian, mereka dikaruniakan seorang putra, mendapat perawatan baik oleh
To Manuru sampai akhirnya menganjak dewasa.
Putra Mahkota dengan sendirinya
menjadi penerus kekuasaan yang didukung sebagai Pemimpin. Sistem terapan
kepemimpinannya membuat perubahan besar di Kampung itu. Semua yang dibahas dan
dirembuk bersama dalam sistem dewan adat, disamping melakukan semedi (bertapa)
kompilasi itu sangat pelik terpecahkan. Ia meminta petunjuk kepada Tuhan agar
semua petaka dan meminta yang melanda negerinya dapat teratasi. Dengan demikian
di kampung negara, banyak terlihat oleh pembangunannya perkembangan luar biasa
yang dibangun dan diterapkan Putra Mahkota. Kemajuan dengan pesat, maka oleh
pendukungnya ia berhak gelar To Baraka, berarti Pemberi Berkah.
Demikianlah jalannya pemerintahan
yang memberi perubahan, didukung oleh masyarakatnya. Kesewenang-wenangan lenyap
dalam sistem terapan pembawa berkah. Untuk Baraka sebutan yang dikenal
masyarakatnya, disegani dan disingkirkan oleh seluruh lapisan masyarakat,
semakin maju dalam negerinya semakin bertambah real yang di Pimpinan oleh yang
jujur dan menantang.
Proses itu berlaku terus menerus,
hingga terangkatlah derajat masyarakat dan pemenuhan hak-haknya untuk
mendapatkan perlindungan hukum. Semakin jauh dari generasi ke generasi, turunan
bangsawan tidak perlu memegang kepemimpinan, dapat diprediksi sebagai turunan
bangsawan. Merekapun tetap menganggap penting hak dan tanggung jawab memajukan
negerinya dan menghargai siapa saja yang dipilih sebagai Pemimpin.
Tahapan ini menciptakan awal,
hadirnya keinginan masyarakat dalam menuntut kemerdekaan dan keadilannya.
Perasaan merdeka itu terpatri dan tumbuh pada putra-putra bangsawan, meskipun
mereka tidak memegang kekuasaan. Penguasapun tetap memiliki perasaan yang sama
dengan saudara-saudaranya yang tidak dapat melibatkan banyak orang, hingga
mereka digelar sebagai “anak merdeka” yang artinya “putra bangsawan”. Kata
'merdeka' merupakan predikat yang diberikan Pimpinan Negeri bagi mereka untuk
memiliki kebebasan dalam segala hal sebagai 'Putra Bangsawan'.
Dengan gelar ini, mereka
menggunakan di mana-mana, sambil mencari partisipasi dari masyarakat. Salah
satu cara yang digunakan dalam merekrut pengikut adalah mengawini wanita
kampung, di mana orang tuanya melihatnya memahami atau menerima dari keluarga
besar di kampung itu. Saat ini telah hadir menang di putra-putra bangsawan itu
untuk merebut kedudukan dan kekuasaan yang ada.
Akhirnya di hampir semua kampung,
telah dijelajahi, hingga mereka memiliki tujuan dan perasaan yang sama, untuk
merdeka. Perasaan merdeka itu mulanya hanya terpendam dalam, dihati putra-putra
bangsawan. Akhirnya keinginan itu meluas sampai selesai masyarakat yang
dibekali dengan keinginan dan tujuan satu, merdeka! Keadaan inilah yang membuat
hadirnya satu zaman, di mana zaman itu adalah zaman ingin merdeka untuk
membentuk masyarakat adil dan makmur.
Blog Archive
-
▼
2025
(40)
-
▼
May
(24)
- Wilayah Kerajaan Sejarah Kabupaten Donggala
- Perang SIGI (1905-1908)
- Sejarah Lembah Palu
- BUOL SALING SAPA
- Sejarah Kerajaan BUOL
- Zaman Permulaan Magau dan Islam di Palu Tanah Kaili
- Zaman Sejarah
- Zaman Pra Sejarah
- Zaman Klasik dan Saverigading Di Palu Tanah Kaili
- Sejarah Singkat Kecamatan SIGI BIROMARU
- Sejarah Kota Palu
- Menapaki Jejak Pitu Nggota Ngata Kaili
- Kaili itu Ramah, Tapi Jangan Diusik
- Sejarah Desa WATUNONJU
- Sejarah Desa LOLU
- Sejarah Desa LORU
- Sejarah Singkat Desa NAMO
- Sejarah Terbentuknya Ngata Toro, Kulawi
- Sejarah Desa Jono Oge
- Sejarah Desa Oloboju
- Sejarah Desa Baluase
- TO SILONGA
- Islamisasi Ala Cikoang di Lembah Palu: Peran Sayyi...
- Jejak Diaspora Cikoang di Tawaeli
-
▼
May
(24)
0 comments:
Post a Comment