Zaman Klasik dan Saverigading Di Palu Tanah Kaili

 


Zaman Sejarah

Zaman pra sejarah Indonesia seperti yang telah dikemukakan saebelumnya, berakhir pada abad ke-IV setelah ditemukannya prasasti-prasasti tertulis di atas batu,  400 sampai tahun 500 berdiri kerajaan Hindu I di Kutai, dikepalai oleh cucu Kudungga yang bernama Mulawarman. Kerajaan ini bertetangga dengan  Kerajaan Banava, Sigi, Pakava dan Kulavi, sehingga tidak mustahil pengaruhnya sampai di Sulawesi Tengah bagian Barat atau tanah Kaili dan Kulavi.

Pada masa Kerajaan Kutai yang dipimpin Mulawarman ini, telah mendapat pengaruh Hindu yang berasal dari India. Bahasa dan kosa kata Indonesia diperkaya oleh bahasa Sansekerta. Karena beberapa Kerajaan Kaili seperti Banava, Palu, Bangga, dll, bertetangga dengan Kerajaan Kutai. Pengaruh bahasa Sansekerta itu, terlihat pula pada bahasa Kaili, misalnya :

a.            Fonem V, (pada katauve, eva, vana, vara, dll) dari bahasa Sansekerta (air, seperti, bagus, hutan, dll);

b.            Morfologi, adanya gejala konyugasi pada kata kerja, seperti mangande, nangande, nangandemo, dst (akan makan, sedang makan, sudah makan, dst);

c.             Sintaksis P/S lebih produktif dari pada S/P, dalam bahasa Kaili sering ditemukan kalimat : Mangande yaku (akan makan saya), hau kami (pergi kami), naturu ia (tidur ia), dll;

d.            Contoh-contoh beberapa kata Sansekerta yang ada dalam bahasa Kaili, seperti guru, samaya, guna, caya, jala, janji, kala, dll.

Pada saat itu, bahasa Austronesia dan Melayu Polinesia bercampur dengan bahasa Sansekerta, yang dapat kita kenal sekarang dengan bahasa Banjar dialek Melayu seperti dialek Manado, Ambon, Jakarta. Kemudian pada abad ke-V sampai VI berdiri kerajaan Hindu, terutama di wilayah Jawa Barat yang dipimpin oleh Raja Purnawarman. Telah ditemukan 7 buah prasasti yang bertuliskan Pallawa dan berbahasa Sansekerta, diantaranya berada di Ciliwung Jakarta, berisikan syair dan karya Raja Purnawarman yang menggali sungai sepanjang 6.122 Busur (12 km). Dan memberi hadiah 1.000 lembu pada para Brahmana.

Pada abad ke-VII sampai XIII berdiri Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Syailendra. Menurut catatan musafir dari Tionghoa Itsing, di Minangatamawan dijadikan sebagai pusat kegiatan ilmu dan agama Budha. Kerajaan ini menaklukan Kerajaan Melayu, Kerajaan Tulang Bawang, Kerajaan Malaka, Kerajaan di Jawa Tengah dan Kalimantan. Pada masa kejayaannya, banyak didirikan candi-candi di Jawa Tengah dan memperkenalkan bahasa Austronesia (Melayu). Pada saat itu, bahasa sudah berkedudukan sebagai Bahasa Pengantar. Kemudian setelah datangnya pedagang dari India Bagian Barat (Gujarat) memperkenalkan ajaran Islam, pengaruh kerajaan disini mulai pudar.

Tahun 1326, berdirilah Kerajaan Samudra yang dipimpin oleh Sultan Muhammad. Abad ke-XV, muncul pusat perdagangan dan kegiatan Islam yang baru, berkedudukan di Malaka. Pada saat itu, bahasa pengantar yang lebih luas adalah bahasa Melayu Polinesia (bahasa Austronesia) yang memperoleh pengaruh dan perbendaharaan kata bahasa Arab, Tamil dan Parsia. Serta pengaruh Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.

Pada zaman pemerintahan Sultan Mahmud sejak tahun 1488-1511, kerajaan ini mengalami kemunduran. Tahun 1509 muncullah kapal Portugis yang pertama di Bandar Malaka dan menggempur habis-habisan negeri itu. Tahun 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis.

Disamping Kerajaan Samudra, di Jawa berdiri pula Kerajaan Islam Demak (1500-1550) yang dipimpin oleh Raden Fattah, berkedudukan di Demak. Demikian pula Kerajaan Banten, diberi nama Jayakarta yang diperintah oleh Fatahillah. Sedangkan di Cirebon dipegang oleh anaknya yang bernama Hasanuddin. Di Maluku berdiri Kerajaan Ternate, di Sulawesi Selatan Kerjaan Gowa dan sebagainya.

Kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Tengah seperti Kerajaan Banggai pada tahun 1500 yang diperintah Adi Cokro dari Jawa, Kerajaan Buol tahun 1550 oleh Entoh Moh. Thahir, Kerajaan Lambuno, Sigi, Moutong, Bungku, Banava, Tavaeli, Palu, Parigi serta Kerajaan Sindue.

Kemudian Kerjaan Kulavi, Pamona, Pekurehua, Mori di Sulawesi Tengah, tetap bertahan sampai masuknya Agama Kristen di Mori. Tahun 1917 di Pekurehua dan 1918 di Lore. Kerajaan ini, satu demi satu ditaklukan oleh Belanda, sehingga dapat berkuasa dan menduduki wilayah-wilayah kerajaan umumnya di Indonesia.

Untuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah, misalnya Kerajaan Lore/Pekurehua, penjajahan Belanda berlangsung   37 tahun. Pada kerajaan inilah banyak ditemukan untuk pertama kalinya benda-benda megalit yang merupakan peninggalan zaman pra sejarah; berupa Patung-patung, Menhir, Kalamba dan sebagainya.

 

Zaman Klasik

1. Mazhab Seni Amaravati, ditemukannya Arca Budha yang terbuat dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan , maka untuk pertama kalinya kita mendapatkan bukti tentang adanya hubungan serta pengaruh tertua budaya India di Indonesia. Penemuan arca ini sangat penting, karena dapat memberi petunjuk tentang bagaimana taraf hidup dan budaya Bangsa Indonesia pada waktu itu.

Berdasarkan ciri-ciri iknografinya, dapat ditentukan bahwa Arca Sempaga ini berasal dari Mazhab Seni Amaravati, yang rupanya dibuat sama, kemudian dibawa ke Indonesia. Mungkin sebagai barang dagangan, tetapi mungkin pula sebagai barang persembahan untuk Vihara. Selain di Sempaga yang berbatasan dengan Banava, arca-arca Langgam Amaravati ini juga ditemukan di Jember dan bukit Siguntang. Sementara di kota Bangun (Kutai) ditemukan sejumlah Arca Budha yang memperlihatkan langsung seni Arca Gandara.  Disamping arca-arca Budha tersebut, ditemukan arca-arca yang memperlihatkan sifat-sifat ke Hinduan, diantaranya Arca Mukhalinga yang ditemukan di Sepau dan Arca Ganesha yang ditemukan di Serawak .

Walaupun daerah Kalimantan dan Sulawesi berada di luar perhatian Cina, tetapi tidak berarti bahwa ke dua daerah tersebut tertutup sama sekali dari kemungkinan mengadakan hubungan dengan daerah luar. Temuan-temuan yang disebutkan di atas, merupakan salah satu buktinya. Hubungan tersebut tentulah dimulai melalui hubungan niaga, kemudian berkembang menjadi hubungan agama dan budaya. Melalui hubungan niaga, turut para Pendeta yang bermaksud menyebar agama, kemudian disusul dengan perginya orang Indonesia ke daerah asal. Para guru agama atau pendeta. Hubungan seperti itu telah berlangsung cukup lama . Di dalam proses terjadinya hubungan timbal balik seperti itu, maka masyarakat setempat yang telah menetap di beberapa daerah tertentu, menerima budaya dan peradaban baru pula.

2. Amulet yang terbuat dari Perunggu/Kuningan, digunakan pada upacara sakral kerajaan-kerajaan di Pegunungan Pakava-Bangga-Kulavi-Sigi. Terbuat dari Emas yang terdapat di Kerajaan Tanah Kaili, Tovale (Banava) dan Biromaru yang juga disebut Pinaito, Pinetau di Kulavi.

3. Taiganja, Pandika dari Sigi, Bangga, Pakava (Maravola), Palu, dll.

4.            Patung Kecil dari Tovale. 

Pada akhir tahun 1933, Dr. S.J. Esser menemukan di Tovali dan Banava Etnik Kaili sebuah Patung Kecil dari Emas zaman Hindu. Oleh Prof. Dr. N. Krom di Leiden (Negeri Belanda) menyatakan bahwa di Jawa pada Gunung Ringgit pegunungan Tengger, juga terdapat patung-patung kecil semacam Patung dari Tovali.

Prof. Dr. Krom berpendapat bahwa, patung-patung dari Tovali itu asalnya dari akhir zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-XIV atau ke-XV. Ia sependapat dengan ahli-ahli lain bahwa, patung-patung kecil ini dipakai untuk Gesper (Pengunci), Ban ikat pinggang atau lain sebagainya. Ceritra tentang Patung itu menurut Dr. Esser, menunjukkan bahwa pembuatan benda itu sama sekali diluar kemampuan Kebudayaan Orang Kaili. Benda itu disimpan hanya sebagai Jimat (Amulet). Benda semacam dengan patung tersebut, terdapat pula di Palu yang menurut ceritra mereka, tidak dapat dilihat oleh siapa pun, termasuk kerabat Kerajaan. Mereka menamakan Patung tersebut Ntodi (Anak Perempuan Kecil).  Namun sebagian orang mengemukakan bahwa patung tersebut tidak berbentuk manusia.

Adanya benda-benda yang menyerupai Patung Ntodi, banyak terdapat pada kerajaan-kerajaan kecil di Tanah Kaili, seperti Perahu Kecil dari emas di Kerajaan Biromaru dan Patung Kucing dari emas (Bulava Mpongeo) di Tovale.

 

Zaman Kerajaan

Kerajaan Parigi

Magau-magau Parigi menurut mereka berasal usul dari Topo Tara yang mengikuti sejarah nenek moyangnya. Ceritra-ceritra yang serupa itu, didengar di Kavatuna dari seorang perempuan tua yang nenek moyangnya berasal dari tempat tersebut. Dari Bolo Vatu Mbulava di Tava Tea ada seorang perempuan yang kawin dengan seorang laki-laki, dan mempunyai anak perempuan kembar. Salah seorang kembar itu kawin dan menjadi istri ke dua. Kemudian ceritra itu berubah jalannya. Diterangkan bahwa Tava Tea kembali ke langit 7 kali dan kembali ke bumi 7 kali. Dari Tava Tea ini, asal usul magau-magau Parigi.

Magau I dari Parigi bernama Maruf (Torikota). Makamannya terbuat dari batu yang di semen. Magau-magau yang meninggal kemudian, dimakamkan serupa dengan makamannya. Beliau adalah magau pertama yang memeluk agama Islam. Anaknya yang keenam bernama Magau Janggo. Magau ini di abad ke-XVIII, mengadakan perjalanan ke Ternate guna bertemu dengan VOC. Sebagai bukti pertemuan tersebut, ia membawa sepotong besi hitam kira-kira satu elo panjangnya dan kedua ujungnya dibungkus dengan perak. Pada ujung yang pertama terdapat monogram VOC, bergambar lipat-lipatan berbentuk huruf T di atasnya, kira-kira menunjukan arti Ternate. Pada sisinya terdapat kata Prige  artinya Parigi. Pada ujung yang ke dua terdapat pinggir perak yang di dalamnya melekat satu uang perak, dimana di atasnya terdapat gambar kapal layar dengan posisi layar terbuka. Maksud perjalanannya ke Ternate tidak dapat diketahui secara jelas. Kita akan mengerti dalam buku karangan Valentin bahwa ; seorang Belanda yang bernama Franszoon diperintahkan oleh Gubernur Peatbrugge dengan kawalan tentara bersenjata dari Toltioli. Perjalanan ini melawati Kaili-Palu, dan melanjutkan perjalanannya ke Parigi untuk memberitahukan magau-magau di wilayah itu, agar pergi ke Gorontalo atau Manado menyatakan sumpah setia kepada E. Maskapay. Boleh jadi inilah hasil perjalanan Magau Janggo ke Ternate. Tahun 1850, Magau Parigi Iskandar Abdul Muhammad diangkat menjadi Magau di Parigi oleh Coan der Kart.

Tahun 1890 Magau Kunusu mempunyai 3 orang anak, 2 orang laki-laki dan seorang perempuan. Yang laki-laki namanya Nggai dan Papa Ihainta, perempuan bernama Joae-Boki. Papa Ihainta meninggal di tahun 1897.

De’i, sebuah titel Magau (Raja) seorang perempuan dalam Bahasa Ternate, dipakai pula pada Magau Perempuan di Parigi. De’i ini mempunyai seorang Tobosena (Pembantu Utama), seorang perempuan yang berasal dalam lingkungan Istana. Ia bertugas menerima semua permintaan orang-orang yang kemudian disampaikan kepada De’i. Ia menjadi perantara De’i dengan masyarakatnya. Di bawah Tobosena, ada seorang Madika Malolo (Putra Pengganti), Madika Jougugu (Perdana Menteri) dan seorang Madika Matua (Raja Tua). Yang terakhir itu, juga sebagai Kalif (Kepala Urusan Agama). Begitulah susunan pemerintahan di Parigi dalam tahun 1897. Madika-madika itu, dibantu oleh beberapa orang pegawai bawahan, diantaranya 1 orang Ahli Hukum, 2 orang Syahbandar dan 2 orang Galara. Tugas-tugas mereka tidak tentu, ahli hukum bisa bertindak sebagai syahbandar, apabila ada urusan penting diperlukan. Pegawai bawahan (Boboto), mendapat satu tempat di Pengadilan. Mereka itu dikirim ke sana atas perintah De’i. Urusan luar dan dalam negeri, mereka bertindak atas nama De’i (Magau/Raja).

 

Topo Tara

Antara Kerajaan Tavaeli dan tempatnya orang Raranggonau, terdapat satu bagian tanah dengan nama Topo Tara, memakai bahasa  Tara. Sekarang orang katakan Kavatuna yang berarti Kampung Batu, terletak tak jauh dari sebuah gunung. Gunung lain di tempat itu dinamakan Umbuala (Bubungan). Pada bagian Barat Daya, terdapat gunung Sitobo. Di sini berhulu sungai Wingga Pondo, melepaskan airnya dekat Talise diteluk Palu. Sungai ke dua mengalirkan air melalui Kavatuna, namanya sungai Keku, dekat Tatura yang bermuara di Teluk Palu. Sungai ini terjadi dari beberapa anak-anak sungai, di antaranya sungai Ourate, memotong dua buah gunung yaitu Bulu Masomba dan Bulu Biro. Pada pinggir bagian sebelah pegunungan, terdapat beberapa anak sungai yang menjadikan sungai Lantibu, bergabung dengan Sungai Parigi. Bagian utama dari mata air sungai itu ialah Oumaramudi. Salah satu dari sungai-sungai itu menjadi satu telaga, namanya Limbangan.

Benteng pertahanan Topo Tara dinamakan Topo Tara-Bulu Biro. Dari sini terjadi Kampung Tamungku, Bolovatu, Marima dan Vonggi. Keempat buah Kampung itu sekarang telah sunyi, sebab masyarakatnya makin lama makin banyak turun ke dataran rendah. Kita sudah lihat bahwa masyarakat Palu terjadi dari sebagian besar orang-orang yang berasal dari Vonggi. Keturunan dari Topo Tara terutama tinggal di Kampung Besusu dan disana pula Pue Nggari dimakamkan. Masyarakat kampung-kampung lainnya, terjadi dari percampuran darah Topo Tara, orang-orang yang berasal dari Biromaru,  masyarakat dari bagian Tatanga sampai ditepi laut dari Teluk Palu.

Kampung Boli, Talise dan lebih jauh lagi bernama Kavatuna, Lasoani, Poboya dan Tanamondidi. Semua masyarakat yang tua-tua dari Kawatuna, sekata bahwa Parigi itu didirikan dari Topo Tara dan pendapat ini dimiliki juga oleh masyarakat Parigi bagian pedalaman. Masyarakat pinggir laut Parigi bercampur dengan masyarakat keturunan Poso. Orang-orang Bugis dan suku-suku lainnya yang datang tinggal disana tahun 1897 bahwa orang-orang Parigi datang dari Timur. Air yang dipakai di tempat itu berasal dari Telaga Maraya, air itu mengalir melalui Nobigili sampai di Keke. Lalulintas antara Topo Tara dan Kampung Lantibu di Parigi, pertama-tama pada sebelah Barat selalu ramai. Dari Vonggi ada jalan ke gunung Alo, lalu didaki Pombilikari kemudian di daki pula gunung Potende. Begitulah orang sampai di Kobalanggari, satu jalan yang diapit antara dua jurang. Dari sini orang turun ke Binangga Kodi, salah satu dari mata air  Lantibu melalui Gunung Tivalu, kemudian menurun lagi ke Lantibu menjadi tempat pertama buat kediaman. Sekarang kita tahu bahwa, orang-orang Parigi dan orang-orang Palu adalah sebagian berasal dari Topo Tara.

 

Masyarakat Kulavi

Kampung-kampung yang ada di Kulavi, didirikan kemudian. Keseluruhan dataran waktu itu, ditutupi dengan hutan lebat. Di sebelah Utara terdapat dua Perkampungan, Pangkoana dan Karopu. Keduanya terletak dekat Kampung Ntolu Manu. Pada sisi Selatan jurang, terletak Kampung Teajua. Dimana orang berjalan pergi pulang, tak jauh dari Taveu (Lantibu) dan Benati di atasnya Matauve. Masyarakat kampung-kampung pada sebelah Utara dan Selatan selalu berperang.

Gunung sebelah Timur dari jurang itu, masyarakatnya diberi nama Orang Sinduru. Pemakaian kata itu, sama halnya dengan orang-orang di Lindu.

Asal usul berdiri hingga dimukimnya Kampung dengan nama Kulavi, sangatlah mitologis. Versi mitos biasanya tidak pernah memberikan gambaran yang menyakinkan kita. Alb. C. Kruyt (dalam bukunya “De West Toradja Of Midden Celebes,” Deel I, Hlm. 122ff) menceritrakan secara singkat asal usul manusia. Konon disana, demikian oleh rakyat setempat, terdapat empat orang bersaudara yang bernama masing-masing Duruka, Datu Pilano, Sadomo dan Dindi Lemba (yang masing-masing menguasai daerah-daerah Bangka, Tuva dan Tanangki). Yang bungsu kawin dengan orang Sigi.

Pada suatu hari yang tertua dari mereka, memerintah adiknya Sadomo membersihkan di daerah Mungku (sekarang Desa Bolapapu). Sekitar 6 bulan lamanya, Sadomo tinggal di Bulu Tiva (Gunung Hitam) bagian Timur Kampung Bolapapu. Di tengah perjalanannya selama 7 hari 7 malam ke Mungku tersebut, ia bertemu dengan bermacam-macam binatang seperti anoa, ular, babi hutan, dll. Setibanya di Mungku, Sadomo melepas lelah sambil memakan pinang dibawah sebatang pohon yang rindang. Konon kabarnya, ia melihat sebatang pohon yang belum pernah dilihat orang sebelumnya. Pohon itu berbeda dengan pohon seperti biasanya, yang hanya mempunyai dua lembar daun, besar sekali. Satu lembar daunnya menghadap ke Utara (Palu) dan satunya lagi mengarah ke Selatan. Setelah bekerja membersihkan hutan, Sadomo kembali ke Batonga dan Tanangki. Keajaiban pohon itu, dikisahkannya pada kakak tertuanya, Duruka. Saudaranya mengatakan bahwa pohon tersebut bernama Ngkulavi (istilah lain Sawoko dan Rarona). Dalam bahasa Kulavi berarti Daun. Duruka menyuruh adiknya Sadomo, kembali ke tempat tersebut untuk menamakan tempat itu “Kulavi”. Sebelum Sadomo pergi, ia diberi pesan untuk membawa masing-masing satu keluaraga dari Peajua, Lempe, Lalu, Saoso dan Bantene (semuanya tidak jauh dari Kulavi). Sejak saat itulah, tinggal disana sebanyak lima keluarga yang sekaligus dianggap kemudian sebagai pendiri dan asal-usul “Orang Kulavi”.

Apakah ini merupakan mitos atau kenyataan sejarah ? Dalam kesempatan ini kita tidak permasalahkan. Yang jelas adalah, ceritra ini dipercaya oleh masyarakat setempat, dan menurut silsilah magau-magau di Kulavi mengatakan bahwa Taura (yang muncul dalam sejarah Kulavi adalah cucu dari Sadomo), kawin dengan Tampere (perempuan dari Sigi) .

Daerah ini sekarang disebut dengan nama aslinya yaitu Kulavi, dan Kecamatannyapun disebut demikian. Kulavi adalah Ibukota Kecamatan yang terdiri dari 37 Desa (dulunya Kampung) dengan luas wilayah 22.320 km2.

Letak daerah ini cukup jauh dari pesisir pantai (71 km. dari Palu, masuk ke pedalaman hingga Ibukota Kecamatan). Bahasa yang mereka pakai dinamakan Moma. Bahasa inipun menjadi satu grup, yang juga dipakai oleh orang Tomongkulowi, Tuva, Lindu, Tavaeli dan Vinua (Kelompok Lore). Hal ini nyata dari penelitian Dr. Esser bahwa bahasa kelompok Kulavi dapat juga disebut bahasa Kaili Selatan.

 

Kerajaan Kulavi

Kalau kita menanyakan pada masyarakat asli Kulavi yang masuk golongan kerajaan tentang asal usul magau-magaunya, selalu mendapatkan jawaban dengan hadirnya nama “Balu”.  Hal ini kita temukan pada asal usul pertama, dari orang Pipikoro di daerah Karo. Mengenai keturunan Balu, dapat ditemukan pada beberapa riwayat tentang To Bongo (orang tuli). Tobongo bisa dianggap sebagai Bapaknya Balu, sebagai Anaknya Balu atau sebagai Saudaranya Balu.

Balu dan To Bongo itu adalah keturunan dari Duruku yang berarti Gagangnya Lembing. Diriwayatkan bahwa Ibu dari Balu adalah seorang perempuan yang berasal dari Sigi, bernama Tampere dan Bapaknya adalah Magau dari Banasu bernama Taura. Bapaknya Taura sendiri bernama Terano. Turunan magau-magau dari kerajaan kecil Kaili, Kulavi dan Koro berasal usul yang sama. Balu mengajarkan orang-orang membuat sawah yang juga melatih orang Kulavi, Ilmu Bela Diri. Hingga Balu dijadikan satu suku bangsa di daerah-daerah Sulawesi Tengah, ia pun sangat disegani. Selain Balu, ada seorang pemberani bernama Pola Pole, dijadikan pendekar untuk Magau Sigi (Tangan Patih). Kemudian ada Paliva alis Deakandea, seorang laki-laki yang bertubuh besar. Makam Paliva terdapat di Sigi, dimana orang sering meletakkan sirih (pinang) dimakamnya dengan maksud agar panen padi dapat berhasil. Sedangkan makam Pola Pole, terdapat di dekat Kampung Hao Manu (Rumah Burung) yang tak jauh dari Lantibu.

Hao Manu adalah sebuah tempat baik, sebab bila orang Kulavi hendak pergi berperang, tempat itu disajikan isi perut seekor ayam atau burung yang dipercaya dapat membaca apakah dalam perjalanan ke medan perang akan sukses atau menemui kesulitan. Sebab antara lain inilah Pola Pole dimakamkan di tempat itu, sebagai seorang pendekar dan dijadikan sarana perantara permohonan dengan ucapan kepada Tuhan YME. Makamnya berukuran panjang 3 meter dan lebar 1 ½ meter, beratapkan daun pohon sagu dan ijuk pohon enau. Pada bagian di atas Kepalanya terdapat batu yang rata, sebagai tempat perlengkapan nazar/sesajian. Dan pada bagian di bawah Kakinya biasanya diletakkan benda-benda nazar, bermohon agar panen padi dapat berhasil.

Pada zaman dahulu, masyarakat setempat sering memberi sajian makanan pada makam Pole-Pole, sebelum pergi ke medan perang. Dan sekembalinya dari medan itu, kembali meletakkan di makam Pola Pole secuil kulit kepala (tengkorak) lawan perang yang kalah itu. Pedang Pola Pole masih tersimpan pada salah seorang turunannya di Lantibu. Keterangan lain pada makam Pola Pole, jika atapnya dipugar masyarakat setempat mempersembahkan seekor kerbau.

Untuk  makam Balu terdapat di Bolapapu. Arsitektur makamnya serupa dengan makam Paliva di Sigi, terdapat batu-batu kecil di atasnya. Makam yang dibuat kemudian, tidak terdapat lagi batu-batu kecil di bagian atasnya. Masyarakat setempat menjaga makam itu, agar atapnya tidak sampai bocor. Jika atap makam itu bocor, maka pertanda ladang, sawah akan diserang hama dan binatang-binatang, hingga panen tidak berhasil dengan baik. Demikian kisah singkat mengenai asal usul dari orang Kulavi.

 

Kerajaan Sigi

Memperhatikan bagian Selatan dari daerah Sigi, maka akan terlihat dalam sejarah mengenai asal usul masyarakatnya yang terkait dari 2 Kampung : Koroue dan Tanavoba. Keduanya terletak ditepi Sungai rawa, dimana sungai ini mengalirkan airnya keluar. Tanavobo artinya tanah tempat pintu gerbang. Ke 2 Kampung itu tidak berjauhan letaknya, sehingga masyarakatnya mempunyai asal usul keturunan yang sama. Masyarakat Kampung Lindu, Pakuli dan Tuva, berasal dari Tanavobo. Sebagian masyarakat Tanavobo (Kampung asal usul) pergi ke Gunung Vatumotondu dan dari sana ke Kampung Tanangge, kemudian terus ke Barat sampai di Palomba, Tobanga dan Mantendo. Mantendo terletak di atas gunung dimana dataran Kaili dapat terlihat.

Masyarakat Palolo berasal dari Koroue, ketika sungai di tempat itu sudah kering. Pada kelompok Kaili dimasyarakat Sibalaya, berasal dari Palolo.  Sedangkan masyarakat Kampung Sindondo berasal dari 2 tempat, pertama dari Palolo dan ke dua dari Singosei yang terletak ditepi seberang sungai Palu. Tempat ke dua ini oleh masyarakatnya, dijadikan tempat suci yang terdapat satu rumpun bambu dengan ke 7 batangnya tumbuh pada tepi anak Sungai Sambo. Masyarakat Bora dan kampung-kampung sekelilingnya, berasal pula dari Palolo. Magau-magau Bora mengatakan bahwa “Palolo itu adalah ladangnya. Masyarakat Palolo sering menyediakan beras, jagung, sayur-sayuran, cengkeh dan batang kayu untuk keperluan Istana di Bora. Jika di Bora akan diadakan pesta, maka orang-orang Palolo menyerahkan seekor sapi atau kerbau. Kalau istana atau Kelenteng (Lobo) diperbaiki, orang-orang Palolo pun ikut datang membantu”.

Sebagaimana mencatat tersiarnya masyarakat di dataran Kaili, masyarakat bagian Biromaru didirikan oleh orang-orang dari Bagian Selatan (Pakuli). Awalnya, masyarakat dari daerah itu turun dari lereng gunung menjadikan asal usul masyarakat di Raranggonau. Mereka dan masyarakat Biromaru mengakui bahwa Kalinjo sebagai sebuah tempat asal usul turunannya.

Oleh karena itu, pergaulan mereka sangat erat terjalin dengan orang-orang Biromaru, dibanding dengan orang di dataran Kaili (Palu). Walaupun diketahui bahwa asal usul mereka itu sebenarnya dari Kelompok Kaili.

Orang-orang Raranggonau menyatakan bahwa mereka berasal dari suku lain, bukan dari Masyarakat Bora, Pakuli maupun Palolo. Keterangan yang diperoleh bahwa masyarakat pertama berasal dari suami istri bernama Nabi dan Barbula, tinggal di Karoue. Suami istri itu melahirkan 2 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. Dari ke 7 anak perempuan itulah yang menjadi asal usul adanya orang-orang di Toraja Bagian Barat (menurut Kruyt) atau Kaili-Kulavi.

 

Kerajaan Bangga

Zaman Pue Bongo (Malasigi)  Abad XVI, menceritrakan bahwa Magau Pue Bongo  adalah anak dari Magau Bangga bernama Vumbulangi. Pada saat Pue Bongo berada di Tanah Kaili (Palu) yang juga merupakan masa awal masuknya Islam di Tanah Kaili (abad XVII) oleh Dato Karama (lihat pada Bagian IV).

Pada pemerintahan Magau Pue Bongo, Belanda meminta pada orang Kaili (To-Kaili) untuk melawan Awa, terletak didekat bagian Buol. Dari Tanah Kaili berangkat 40 orang, dan sesampai dekat Awa, menginap selama 7 malam di sebuah pondok. Saat itu mereka meminta pada Tuhan, diturunkan hujan agar masyarakat kampung yang akan diserang tidak mengetahui mereka. Waktu hujan lebat, 40 orang itu mendekati kampung musuh. Seorang tentara bernama Ntilolo, menerobos pertahanan musuh yang kemudian membuka pintu gerbang kampung itu dari dalam. Ternyata usaha itu sia-sia, hingga Ntilolo dan pasukannya disergap masyarakat kampung. Peristiwa ini banyak memakan korban dan pasukan yang masih hidup ditangkap sebagai tahanan. Raja Sagala dari Buol mengajukan usul, agar tawanan perang itu dibagi 2. Tetapi Pimpinan Kelompok Palu menjawab : “semua tawanan perang boleh tinggal disini, sebab mereka itu masih masuk keluarga kami”.

Selanjutnya diriwayatkan kehidupan Pue Bongo sebagai berikut : Dahulu, ketika masyarakat Bangga yang terletak pada sebelah Selatan dari dataran tinggi Kaili, masih mengenakan Pevo (Pakaian Tradisi), maka orang-orang Kaili-Palu dikalahkan oleh orang Sigi dan orang Tavaeli. Kekalahan amat hebat itu, hingga orang Sigi menjatuhkan hukuman pada orang Palu sangat berat, yaitu memotong telinga laki-laki serta merusak peralatan tenun perempuan. Hukuman ini menyebabkan orang-orang Palu merasa tertindas, sampai datangnya Magau Bangga Ralawa Lemba di Palu, maka masyarakat Palu tertolong dari penindasan sekaligus mengusir musuh. Peristiwa ini, menciptakan hubungan baik antar orang Kaili-Palu dan orang Bangga. Hal ini dapat dilihat ketika orang Bangga tiba di Palu, mereka diterima baik oleh masyarakat Palu dengan tangan terbuka. Bahkan salah seorang anak perempuan Magau Palu, meminta agar Ralawa Lemba untuk menginap di rumahnya. Mulanya Ralawa tak bersedia dan merasa bahwa ia berasal dari gunung. Namun karena desakan anak perempuan Magau Palu, akhirnya Ralawa Lemba bersedia menetap selama 3 hari di rumah Magau tersebut.

Hubungan itu berlanjut sampai pada jejang perkawinan. Sebelum melangsungkan niat baik itu, Ralawa Lemba kembali ke Bangga untuk menyiapkan segala sesuatu kelengkapan buat pesta kawinnya. Setelah selesai, berangkatlah masyarakat Bangga ke Palu dengan membawa mas kawin yang terdiri dari Dula (Dulang kuningan), Mbesa (kain adat) dan kelengkapan lainnya.

Pada bagian belakang dari barisan-barisan masyarakat Bangga itu, datang seorang laki-laki berjalan timpang bernama I Pungku. Ia berpengetahuan luas dan bersifat sabar. Ketika rombongan sampai di Beka, mereka melihat bermacam burung hinggap dipohon kayu, dan pada puncaknya terlihat seekor burung Alo bersorak. Barisan berhenti untuk menunggu I Pungku, sebab Ia harus memberi penjelasan apa makna tanda-tanda itu. I Pungku berkata, “bunyi itu pertanda baik, artinya bahwa magau kita akan memperoleh dua orang anak”. Ternyata ucapan I Pungku benar, karena dari perkawinan Magau Bangga dengan anak perempuan Magau Palu, lahirlah 2 orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki bernama Pue Bongo yang setelah dewasa kawin dengan Pue Boso, dan anak perempuannya bernama Pue Bolu yang kawin dengan Pue Pomoda.

Ketika Ralawa Lemba menetap di Palu beserta anaknya Pue Bongo yang saat itu berusia 12 tahun, Ralawa mengadakan kesepakatan dengan Magau Sigi yang waktu itu berkedudukan di Oloboju, untuk mengakhiri perselisihan antara Palu dan Sigi dengan cara mengadakan pertarungan. Ralawa berkata kepada Magau Sigi, “apabila saya mengalahkan Saudara, saya akan minum tule (tuak) dengan mempergunakan tengkorak tuan sebagai mangkuknya”. Magau Sigipun menerima tawaran Ralawa itu dengan ucapan yang sama, yakni meminum tule dimangkuk tengkorak Ralawa, apabila ia dapat mengalahkannya.

Pertarungan berlangsung dengan sengit, keduanya mengeluarkan segala kemampuan masing-masing. Akan tetapi sebelum pertarungan berlangsung lama, lembing Ralawa mengenai sisi badan Magau Sigi. Magau ini berlari sembunyi dalam rerumputan lebat. Ralawa memberi perintah kepada anaknya Pue Bongo untuk memanjat pohon, melihat dimana Magau Sigi berada. Akhirnya Magau Sigi ditemukan, kemudian ditangkap untuk dibawa ke Palu. Mula-mula orang ingin memeliharanya, tetapi oleh Magau Tavaeli, menyuruh untuk membunuhnya saja dengan alasan bahwa tengkorak  dari Magau Sigi ada di sini. Magau Sigipun dibunuh.

Dengan kemenangan itu, maka masyarakat Palu bebas dari pendindasan yang lama dialaminya. Tekanan berat dari lawan membuat permusuhan berjalan terus. Pue Bongo berangkat ke Sarundu yang terletak di tepi Selat Makassar. Disana ia kawin, dengan satu alasan bahwa orang-orang di Sarundu dapat mengakui Magau Palu sebagai Pimpinannya.  Ketika Pue Bongo diminta pertolangannya di Buol oleh Gubernur Belanda, adik perempuannya dimasukkan ke dalam sebuah peti untuk dikirim kepadanya. Pue Bongo membuka peti itu dan melihat adiknya berada di dalam. Dengan cepat ia berangkat ke Palu dan menyerang orang Sigi. Dalam pertempuran ini, orang-orang Sigi dikalahkan dan pertentangan itu berubah wujud menjadi sebuah ikatan hubungan baik antar sesama kelompok.

Perdamaian itu ditandai dengan penanaman dua buah batu. Yang satu ditanam di bawah bangunan adat (Baruga) dan yang satunya lagi ditanam di pinggir laut. Dikatakan : “apapila pada masa datang kedua batu ini terdapat kembali di atas tanahnya, maka ada lagi perkelahian (perlawanan) terhadap Palu, dimana nanti Sigi ada di pihak yang menang”.

Perhiasan kerajaan berupa Pevo (Pakaian Tradisi) , Tempat Tembakau dan Pedang Pue Bongo tersimpan baik oleh keluarganya, sampai pada penyerahan kekuasaan ke Pemerintahan Belanda. Saudara laki-laki Pue Bongo bernama Pue Pangge. Beliau kawin di Vatutela dan kemudian menjadi Magau di daerah Tavaeli. Saudara perempuannya bernama Pue Loli, menetap tinggal di Palu dan kawin dengan Pue Lombo, Magau dari Tatanga yang menjadi turunan dari Magau Dolo.

 

Kerajaan Pakava

Orang Pakava mulanya tinggal disekitar pesisir sungai Pakava. Menurut ceritra setempat, dulunya tinggal seorang perempuan bernama Daya yang kawin dengan Songondo, seorang lelaki berasal dari Manuru (Kahyangan). Dari pasangan ini, dikaruniai 2 anak lelaki bernama Vasolabu dan Ledue. Anak pertama, Vasolabu tidak kawin dan tidak mempunyai turunan sedangkan anak kedua Ledue dikaruniakan 7 anak perempuan. Yang bungsu bernama Pae Bulava (Padi Emas).

Wilayah di Pakava lebih luas jika dibanding dengan wilayah di Rilo. Kalau membicarakan asal penamaan kampung-kampungnya, maka dihubungan dengan hasil dari sebuah riwayat, bercocok tanam (menanam padi) di wilayah itu.

Orang-orang Pakava pergi ke Utara, sampai di aliran sungai Sombe. Dari sini mereka mendirikan beberapa perkampungan yang terletak di pegunungan antara sungai  Sombe dan sungai Tara. Sekarang tempat itu dijadikan sebagai central komunikasi masyarakat (masyarakat pusat), yang terdiri dari Kampung Pobolobia, Rondingo dan Pompanasibaja. Kampung tertua bernama Volo, terletak dikaki Gunung Kinavoro dan menjadi basis perkembangan peradaban sejarah manusia. Orang di bagian Pakava ketika ditanya mengenai asal mereka, selalu dijawabnya sebagai orang Tinavoro.

Dari aliran sungai Sombe, mereka turun ke dataran Kaili, membentuk kampung-kampung kecil di kaki gunung yang membatas dataran tinggi Palu sebelah Barat; antara lain Kampung Balarova, Porame dan Balane. Masyarakatnya menggunakan dialek bahasa dengan kata Daa (Tidak). Bagi orang Balarova, tempat yang mereka huni adalah milik dari nenek moyangnya, berasal dari masyarakat Kampung Pinombani.

Salah seorang Kepala Kampungnya berasal dari Pakava bernama Tandu Bulava (Tanduk Emas) yang kawin dengan seorang perempuan dari Tatanga. Hubungan perkawinan itu menjadikan adanya Magau Tatanga. Sesudah Tandu Bulava, Kepala Kampung berikut adalah Magau dari Lontu yang kawin di Bangga, namun ia belum diakui sebagai Magau (Raja) di daerah tersebut.

Orang-orang Pakava menyebar pula ke bagian Utara, disekeliling aliran sungai Soruname. Mereka membangun sebuah perkampungan utama bernama Banja, menggunakan dialek bahasa Inde (Tidak). Sebagain orang Pakava berpendapat bahwa Kampung Banja itu, dahulu dibangun oleh orang-orang Dombu.

Pendapat lebih jauh tentang hal itu, oleh sebagian pendukungnya bahwa Pakava dan Dombu masing-masing mempunyai hubungan dengan Kampung Banja. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang Robinggi yang berasal dari Kampung Banja, tinggal disepanjang pesisir pantai. Akan tetap, orang-orang Banja sangat menghargai orang-orang Tatanga dan Palu. Lebih jauh ke Barat, orang-orang itu menetap dan tinggal pada beberapa tempat di kaki gunung Semaa. Perkampungan utama disini, dinamakan Binggi yang terletak dihulu sungai Lomutu. Salubuku (sungai tebing tebu) terletak di atasnya Ranomayane dan Pobonde (tempat ladang), terletak dihulu sungai Ira. Orang-orang disini masuk pada wilayah bagian Pakava, tetapi penamaan suku mereka berbeda. Suku di tempat ini dinamakan Ribinggi.

             Orang Dombu

Dombu terletak di sebelah Utara dan Barat sungai Sombe sampai Surumana di selat Makassar. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, Pompa adalah Kampung Tertua yang dulunya terletak di dekat Surumana. Orang Pompa menyebar dari selat Makassar kemudian pindah masuk ke daerah pedalaman. Hal ini dapat dilihat dari pola prilaku mereka, menyerupai orang-orang Pakava. Dari riwayat purbanyapun,, orang Pompa disebutkan seiring, sejalan dalam berbagai hal dengan orang Pakava (Laondep), dan hampir seluruh perkampungannya, terletak di dekat daerah Pakava.

Orang-orang Dombu kebanyakan tinggal di Volo. Mereka mengatakan bahwa jiwa dari orang meninggal ada yang berkumpul di Volo. Orang-orang yang mengembara itu bergerak dari pedalaman menuju ke pantai, bukan sebaliknya. Parengkuan menyampaikan suatu riwayat bahwa “orang Dombu 200 tahun yang lalu tetap hidup bersama dan tinggal di Dombu. Ketika itu maha raja Dombu terkena penyakit cacar di Dombu, maka magau ini pidah ke gunung Pori dan berita itu tersiar keseluruh penjuru”. Dari riwayat inilah mengapa orang-orang Dombu itu bercerai berai.

Ketika Gubernur Ind-Nederland datang dari daerah tempat tinggal mereka yang terbagi atas 4 distrik, di bawah Pimpinan Magau Dombu dan Tau Tuva dari Poni Malino dan Banja. Kampung-kampung penting itu adalah Dombu, Vayu, Levara, Poni, Likubi, Malino, Ntoli dekat Surumana. Masyarakat dari daerah Dombu, tinggal lebih dulu di Vovonjai. Seorang menceritrakan bahwa pada zaman purba, datang seorang dari Pakava bernama Lauro. Ia datang di Vavonjai di daerah Dombu. Tempat ini adalah tempat tertua sesudah Dombu sendiri yang didiami oleh orang-orang Dombu Vavonjai, terletak antara Dombu dengan Poni.

Di Vavonjai saat itu, tinggal seorang perempuan bernama Valitu. Ia kawin dengan Lauro dan mempunyai turunan menjadikan asal masyarakat daerah di Vovonjai. Diceritrakan bahwa orang-orang Pompa dulunya pergi ke Vavonjai, mengadakan perkawinan dengan orang Pakava, dan sebagiannya lagi pindah ke daerah Tavaeli. Di daerah Pakava ini, pernah terjadi musim kemarau panjang, hingga air tidak didapatkan lagi di daerahnya. Inilah salah satu alasan mengapa sebagian besar masyarakatnya, pindah ke tempat lain untuk mencari air. Mereka pergi ke Tanabete (tanah lebar), dan yang tetap tinggal bertahan hidup mencari air dari tumbuhan-tumbuhan liar (tanaman membelit pada pohon kayu) dan dari pohon bambu. Lama peristiwa itu, kemudian suatu saat turunlah hujan yang amat lebat. Hal ini membuat daerah Tanabete terpisah dengan daerah Pakava, disebabkan genangan air yang luas. Oleh karena itu, orang-orang yang pindah tadi tidak dapat kembali lagi ketempat asalnya, dan tetap tinggal di Tanabete. Tanabete tidak ditemukan jelas dalam ceritra ini, apakah daerah itu adalah pulau Kalimantan ?

             Orang Kanggone

Kanggone adalah nama sebuah daerah pegunungan yang memisahkan aliran sungai Sombe dari dataran Kaili. Kampung-kampung tersebar di puncak-puncak gunung dengan penamaannya antara lain : Pantunu Asu (tempat anjing dipanggang), Kavoko Bulu (rumput bulu), Lealing Atapapu (kampung hangus), Bolumpeva, Poli Vilau dan Bolamoa. Kalau orang menanyakan kampung asalnya, maka mereka menyebut nama kampung dimana dia terakhir berada. Misalnya masyarakat Pantunu Asu dan Poli Vilau. Kalau kita bertanya lebih jauh lagi, maka didapatkan keterangan bahwa, orang itu datang dari Volo. Bahwa Vibolo itu, mendirikan salah satu dari perkampungan tua, teletak di Gunung Bulunti, dekat pesisir sungai Pakava dan sungai Sombe. Tempat ini termasyhur, mengikuti dimana Pue Mputi diriwayatkan.

 

Kerajaan Banava

Banava adalah nama sebuah sungai kecil pada sebelah Barat Ganti yang mengalir ke laut. Seperti yang telah diurai sebelumnya bahwa, kekuasaan Magau Banava merupakan segi tiga antara Selat Makassar dan Teluk Palu, pada pinggir Barat sampai Surumana bagian Timur sampai Vatusampu. Turut pada Lanschape ini, satu bagian tanah yang luas sepanjang Pantai Barat dan Utara Pulau Sulawesi sampai ke Sungai Ogoamas sebelah Utara dan Lende bagian Selatan. Pada lapangan ini terdapat Sojol dan Batona. Lebih jauh menelusurinya, terdapat Dampelas, Towia dan Lanschape Balaesang. Bagian Selatan lapangan itu, terdapat Sirenja yang ikut Tavaeli dan sepotong tanah dari Banava turut pula dari Sungai Ombo hingga di Dalaka. Dalam pembagiannnya, Tavaeli ikut pada bagian Selatan, sekeliling Pantoloan dari Sungai Lambagu. Sebelah Utara dari tempat ini sampai di Bone sebelah Selatannya. Lebih jauh lagi, turut pula Banava dan beberapa pulau sepanjang Pantai Barat dari bagian Utara Pulau Sulawesi.

Daerah kekuasaan Banava dan Tavaeli, berada pada bagian Barat. Pada mulanya diriwayatkan, melalui hasil perkawinan turunan Magau pada zaman dahulu, di Pantoloan kawin seorang anak Magau dari Banava, hingga masyarakatnya tergantung dari Banava. Pada 2 bagian lain, dipimpin oleh anak magau-magau yang kawin di sana, hamparan tanah luas di bawah kekuasaannya. Di Sirenja terdapat Magau dari Tavaeli, yang kawin hingga berketurunan Magau dan diakui sebagai seorang “Tuan”.

Pada tanah segi tiga bagian Barat Teluk Palu, saat itu diisi oleh Banava. Terdapat Lanschape Loli yang mempunyai Pemerintahan sendiri. Kerajaan kecil ini, batasnya sampai sepanjang Teluk Palu bagian Barat, kira-kira dari Donggala sampai Vatusampu. Dalam riwayat dahulu kala, Magau dari Loli itu masih sering dibicarakan. Namun sekarang, Loli dimasukan dalam wilayah Banava. Masyarakat Banava dan Loli mempunyai garis keturunan dan asal usul yang sama.

Kampung ternama adalah Kainggurui. Kampung ini terletak dipegunungan, dan masih didiami oleh sebagian masyarakatnya. Semua meriwayatkan bahwa magau-magau yang berasal dari tempat ini, masing-masing memainkan peran penting. Mereka turun dari pegunungan ke dataran rendah dan mendirikan Kampung Ganti di bawah pengaruh orang-orang pendatang. Terdapat pula satu Kampung tua di dekat Donggala yang bernama Bale Karapea, terletak antara Tanjung Karang dan Negerilai.

Asal usul dan sejarah magau-magau di Banava diriwayatkan bahwa, nenek moyangnya sebagai penghuni istana datang di Kainggurui. Magaunya kawin dengan Rayo Londa, seorang perempuan yang berasal dari Bambu Kuning (Bolo Vatu Bulava). Perkawinan ini memperoleh seorang anak perempuan, namanya Gonenggati. Kemudian perempuan ini, melahirkan 6 orang anak lelaki dan seorang anak perempuan bernama Ilapeahi. Nama ke 6 anak lelaki itu, masing-masing Sawalandora, Yumbe Maburi, Ragaewali, Gimba Lemba, Songgora dan Paguma. Ilapeahi kawin dengan Magau Banava. anak laki-lakinya yang pertama, Sawalandora kawin dengan seorang anak perempuan dari Banava. Yang kedua, Yumbe Maburi kawin di Dombu, Ragaewali kawin di Loli, Gimba Lemba kawin di Palu, Songgora kawin di Luwu dan Paguma tidak dijelaskan kawin dengan siapa, melainkan ia dari Balaesang ke Kainggurui dan kembali menetap di Balaesang. Dalam perjalanannya, Paguma mematahkan satu tangkai pohon cendana dan menanamnya di Mamuju. Tempat dimana tangkai itu ditanamnya, dinamakan sekarang Cendana. Paman dari Gonenggati, kawin di Parigi dan tersebarnya kabar bahwa asal usul Magau mereka di Parigi itu, berasal dari 6 orang anak lelaki dari Ibu bernama Gonenggati.

 

Zaman Saverigading

Sebelum abad ke-IX Tanah Kaili masih merupakan suatu danau, gunung dengan dataran di bagian Selatan. Kemudian digenangi air laut ke dataran Selatan sampai Bangga yang membentuk laut Teluk Kaili. Sebagai akibat gempa tektonis yang melanda daerah ini. Tercatat pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal dan pinisi dari luar ialah pelabuhan Ganti (Pujananti), Bangga, Valatana, dan Baluase, Rogo, Pulu, Bomba di bagian Barat, sedang di bagian Timur Pantoloan, Labuan, Loru, Pombeve, Vatunonju, Uvemabere, Lambara, Kalavuntu, Pandere, Sakide.

Pada abad ke-IX yaitu di zaman Saverigading pelabuhan tersebut ramai dikunjungi baik dari negeri-negeri dipegunungan yaitu dari jurang pegunungan dan dataran tinggi di Bagian Timur dan Barat, Laut (Teluk) Kaili seperti negeri-negeri :

1.            Lando, Punde

2.            Vonggi, Parigi

3.            Tagari Gunung, Dombu, Volu, Pakava

4.            Lere Gunung, Kaliroya, Timbora

5.            Balaroa, Porame, Balane. Maupun dari laut pendatang : Bugis, Makasar, Kutai, Mindanau

6.            China, dll.

Sampai abad ke-X keadaan tersebut terlukis pula dalam ceritra tentang Saverigading sebagai berikut :

To-Kaili yang mendiami Tanah Kaili memiliki ceritra rakyat (folklore) yang menjadi pengikat rasa persatuan To-Kaili tentang asal usulnya.

Nenek moyang To-Kaili pada zaman dahulu, mendiami lereng-lereng gunung sekeliling laut Kaili. Konon di sebelah Timur laut Kaili itu terdapat sebatang Pohon Besar, tumbuh kokoh, tegak dan megah menjulang tinggi, sebagai tanda pengenal dataran Kaili. Pohon itu dinamakan Tiro Ntasi atau juga dinamakan pohon Kalili. Mungkin dari pohon inilah asal nama Suku Bangsa disini yaitu Suku Kaili. Pohon itu tumbuh di pantai dan terletak antara Kalinjo dengan negeri Sigi Pulu.

Pada suatu hari laut Kaili mendapat kunjungan sebuah perahu layar yang besar di bawah pimpinan pelaut luar negeri yang namanya sudah sangat tersohor di kawasan ini. Pelaut itu bernama Saverigading . Dikatakan Saverigading, singgah di teluk Kaili dalam perjalanannya kembali dari tanah China menemui dan mengawini tunangannya, bernama We Codai. Tempat disinggahi pertama oleh perahu Saverigading ialah negeri Ganti, ibunegeri Kerajaan Banava. Dengan terjalinnya tali persahabatan yang dikokohkan dengan perjanjian ikatan persatuan dengan Kerajaan Bugis-Bone, di Sulawesi Selatan.

Dalam menyusuri teluk, lebih dalam ke arah Selatan sampailah Saverigading dengan perahunya ke pantai negeri Sigi Pulu, wilayah Kerajaan Sigi. Perahu Saverigading berlabuh di Pelabuhan Uvemebere sekarang bernama Ranobomba. Kerajaan Sigi dipimpin oleh seorang Magau Perempuan bernama Ngginayo atau Ngili Nayo . Magau ini berparas sangat cantik. Setibanya di Sigi Saverigading bertemu langsung dengan Magau Ngili Nayo yang cantik itu. Pada pandangan pertama Saverigading jatuh cinta dan Iapun mengajukan pinangan untuk menjadikannya permaisuri. Magau Ngili Nayo bersedia menerima pinangan Saverigading dengan syarat, ayam aduannya yang dinamakan Calabai  dapat dikalahkan oleh ayam aduan Saverigading yang dinamakan Bakka Cimpolong (ayam berbulu kelabu kehijauan dan kepalanya berjambul). Syarat itupun disetujui Saverigading dan disepakati adu ayam itu akan dilangsungkan sekembali Saverigading dari perjalanan ke Pantai Barat, sambil mempersiapkan arena (wala-wala) adu ayam tersebut.

Di Pantai Barat perahu Saverigading berlabuh di  Pelabuhan Bangga. Magau Bangga Perempuan bernama Vumbulangi yang diceritrakan sebagai To Manuru (orang dari Kahyangan). Saverigading pun menemui baginda dan mengikat perjanjian persahabatan. Dalam silsilah magau-magau Bangga, Vumbulangi adalah Magau Bangga.

Dalam perjalanan kembali ke Sigi, perahu Saverigading singgah di salah satu pulau kecil yang bernama Bungi Ntanga (Pulau Tengah).Untuk menambatkan perahunya ditancapkannya tonggak panjang (Bg. Tonggak). Ketika meninggalkan pulau kecil itu, terlupa mencabut tonggak yang tertancap sebagai tempat menambatkan perahunya. Tonggak itu tumbuh dan sampai sekarang disebut Kabbanga atau Bulu Langa yang dipercaya oleh masyarakatnya sebagai tonggak Saverigading, terletak di Kampung Kaleke.

Setibanya di Sigi, arena untuk penyabungan ayam di atas sebuah gelanggang (wala-wala) sudah dipersiapkan. Ayam sabungan Saverigading, Bakka Cimpolong yang akan bertarung melawan Calabai ayam Ngili Nayo, siap dipertarungkan. Pada malam harinya telah di umumkan kepada segenap lapisan masyarakat, tentang pertarungan keesokan paginya. Akan tetapi sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada malam sebelum pertarungan itu berlangsung, yang menjadi sebab dibatalkannya pertarungan itu.

Anjing Saverigading, La Bolong (si hitam) turun dari perahu, berjalan-jalan di dataran Sigi. La Bolong berjalan ke arah Selatan, tanpa disadarinya ia terperangkap ke dalam lubang besar, tempat seekor Belut (Lindu) yang sangat besar. Karena merasa terganggu oleh kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu, maka Belut itupun menyerang La Bolong. Maka terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Pertarungan itu demikian dasyat, hingga seolah terjadi gempa menggetarkan bumi. Masyarakatpun ketakutan, dan La Bolong berhasil menyergap Belut itu, keluar dari lubangnya. Lubang besar sebagai tempat tinggal Belut, runtuh lalu menjadi danau yang hingga kini disebut Danau Lindu.

Anjing Saverigading, La Bolong melarikan Belut itu ke arah Utara dalam keadaan meronta-ronta dan menjadikan lubang berupa saluran yang dialiri oleh air laut yang deras, air mengalir dengan deras itu bagaikan air bah yang tumpah, menyebabkan keringnya air laut Kaili. Maka terbentuklah Tanah Kaili dan terjelmalah tanah Kaili.

Peristiwa alam yang dasyat itu, membuat rencana adu ayam yang telah dipersiapkan dengan baik, dibatalkan. Magau Ngili Nayo dan Saverigading berikrar bersama sebagai saudara kandung yang saling menghormati, bekerjasama dalam membimbing masyarakat Kaili yang mendiami Tanah Kaili bekas teluk Kaili yang telah menjadi daratan ini.

Air yang mengalir deras ke laut lepas selat Makassar, membawa Saverigading terdampar di Sambo. Ceritra rakyat menyebutkan gunung yang mengeluarkan perahu di Sambo adalah kapal bekas Saverigading, sekarang dinamakan Bulu Sakaya (Gunung Perahu). Perlengkapan perahu lainnya seperti layar, terdampar di pantai sebelah Timur. Tempat itu sekarang bernama Bulu Masomba gunung yang berarti layar. Di Baiya Tavaeli, ditemukan sebuah batu berbentuk Gong. Menurut ceritra rakyat, Gong itu berasal dari perahu Saverigading. Di Pantai Banava, terdapat batu yang melibatkan jangkar dan masyarakat lokal percaya bahwa benda itu merupakan jangkar peninggalan dari Tokoh Saverigading.


Sumber : DISINI

0 comments:

Post a Comment