Zaman Permulaan Magau dan Islam di Palu Tanah Kaili
Bagian IV
Zaman Permulaan Magau dan
Islam di Palu Tanah Kaili
Permulaan Magau
Pue Nggari berasal dari Vonggi
Kampung Topotara pada perbukitan bagian Timur Tanah Kaili. Di mana ada kuburan
Pue Mpoluku yang dikeramatkan. Dari kampung inilah lahir seorang putri yang
kawin dengan Magau dari Vau, tinggal di seberang sungai Kaili, Kampung Topo
Ledo.
Dua sejoli ini merupakan keluarga
pertama dari Magau yang membangun kota di Tanah Kaili. Saat itu Ada 4 Kampung
yaitu, Kampung Besusu, Siranindi, Baru dan Kampung Lere. Ke 4 Kampung yang
membentuk 1 Badan yang dikenal dengan “Patanggota”, terdiri dari 4 orang
menteri yang menjadikan Badan Eksekutif.
Pue Nggari terpilih sebagai Magau
I Kerajaan Kaili (Palu). Dalam susunan Pemerintahan Kaili, pemegang kekuasaan
tertinggi disebut Magau (Raja), kekuasaan bukan pada satu orang, disetujui
dipimpin oleh beberapa orang yang juga disebut Dewan Adat Patanggota,
ditambahkan dari 4 Kampung yang menghasilkan Kerajaan Kaili, masing-masing
disebut:
1. Punggava (Menteri Dalam Negeri)
2. Pabicara (Menteri Penerangan)
3. Baligau (Menteri Luar Negeri)
4. Galara (Menteri Kehakiman)
Kampung-kampung 4 anggota adalah:
1. Kampung Baru
2. Kampung Siranindi
3. Kampung Lere
4. Kampung Besusu
Untuk mengetahui lebih lanjut,
tugas dan fungsi Badan Pemerintahan Kerajaan (Swapraja) di Tanah Kaili, bagian
berikut (Bagian VI) akan dibahas lebih lanjut.
Diceritakan sebagai Pue Nggari
keturunan To Manuru (orang dari Kahyangan) dari sebelah Selatan Vatusampu yang
berasal dari puteri cantik, lahir dari (ikan) Timboro. Putri cantik ini kawin
dengan Sogomolomba, juga berasal dari To Manuru dan mendapat turunan 2 orang
laki-laki dan seorang perempuan. Perempuan bernama Sondilana, kawin dengan
Magau Tomene. Dan yang laki-laki masing-masing bernama Tondalabua dan
Payugarera.
Tondalabua kawin dengan Numanuru
Maroa dari lereng lereng. Masyarakat Kaili sebagian besar dari sini. Kemudian
Sondilana melahirkan seorang anak perempuan bernama Sondubuluva. Anak ini kemudian
kawin dengan Sompoa, dan seorang turunannnya perempuan, kawin dengan Madika
Kaili yang melahirkan 3 anak perempuan masing-masing:
1. Werelemba kawin dengan Madika Loli
2. Jamapatida kawin dengan Pue Pegaro (Parigi)
3. Langgeva kawin dengan Madika Bakulu (Sigi)
dan seorang laki-laki bernama
Lawegasi Bodawa atau dikenal dengan “Pue Nggari”.
Di atas Lando dekat Kalinjo
(dipijakankan di atas Biromaru) sebuah pernyataan menceritrakan itu, ada
seorang laki-laki bernama Lasabulava yang dalam perjalanannya pergi berburu
memetik 2 lembar Teh Tava (daun teh), dan diganti. Disediakan air yang
dicelupkan Teh Tava, habis diminum oleh 2 dara cantik yang hadir dihadapannya.
Ia pun mengejutkan, dan berhasil membantah salah seorang dari antara. Yang
seorang menghilang seketika. Dari pertemuan itu, kemudian Lasabulava kawin
dengan dara cantiknya, dinamakan Tava Tea.
Di Lando tidak pernah mendapat
serangan dari To Mene. Orang Lando berubah kekalahan dan meninggal, Bunga
Bulava dipindahkan ke Tamatumpu dengan penggantian Tomperano disebelah Timur
sungai Palu (sebelah Kaleke). Disana ia memiliki keluarga besar.
Suatu hari, diceritakan orang di
kampung ini, mengambil sapi dari Magau Palu. Kemudian orang-orang Palu
bertarung dengan kekuatan dan jumlah yang besar. Bunga Bulava meninggalkan
kampung, melalui jalan tembus ke Bulunti. Di tengah jalan, Bunga Bulava ingin
melahirkan anak dan ia pun duduk di atas batu dekat telaga kecil. Batu itu
sekarang masih ada yang disebut Vatu Mpoana. Bayi yang diberikan Bunga Bulava
dimandikan di telaga kecil, dan setelah diberi nama besar Pue Mputi.
Kemudian seorang pengikut Pue
Nggari, jatuh hati pada Pue Mputi yang kemudian menculiknya di sebuah tempat
permandian dan dibawanya ke Palu. Pasukan pendukung Pue Mputi sebanyak 1000
orang kembali, datang ke Palu untuk mengambil Pue Mputi kembali. Akan tetapi
dalam perjalanan pasukan itu, tepat di Kampung Siranindi mereka menjumpai
barisan anak-anak gadis dalam jumlah besar, mempersembahkan Siri-Pinang pada
mereka. Para misi mengatur senjatanya dan berembuk guna mencapai maksud dan
tujuan, menikahkan Pue Mputi dengan Pue Nggari. Maksudnya pun terkabul.
Akhirnya Pue Mputi dan Pue Nggari, menjadi Magau di Palu. Mereka mendirikan 2
rumah, masing-masing di Kampung Tangga Banggo dan di Kampung Besusu. Rumah di
Kampung Besusu habis terbakar, Pue Mputi dan Pue Nggari pun tinggal di
Perumahan di Tangga Banggo, Siranindi.
Pue diterima dari Vonggi. Pada
bagian Timur perbatasan, ada makam Magau zaman dulu kala, bernama Pue Mpoluku.
Sekarang, dimakam Pue Mpoluku orang banyak memberikan sesajen, melepas nazar
dengan harapan untuk diberikan kemenangan.
Pada salah satu pusat
perkampungannya, bermukim 'orang' yang disebut Topotara. Dalam sebuah
pernyataan yang menyatakan, didaerah ini di sini adalah seorang wanita cantik
yang kawin dengan Mbosi, seorang Madika dari Vau yang tinggal di seberang
sungai Palu. Dari pasangan inilah yang menurut riwayat, menjadi keluarga
pertama turunan magau-magau di Palu.
Diriwayatkan kembali Pue Nggari
berasal dari satu rumpun bambu yang bernama Palu. Mungkin asal dari kata
inilah, tempat dimana Palu dinamakan. Ceritra tentang hal ini, bertentangan
dengan riwayat lain yang menyatakan bahwa Pue Nggari berasal dari satu
keturunan pada zaman purba. Tidak disebutkan nama turunannya zaman ini, yang
jelas pasangan suami istri zaman purba.
Masyarakat Kampung Limboro di
bawah Pue Nggari ke sebuah pertahanan baru. Dari bagian Barat, utamanya
masyarakat Kampung Bente-Lewo di Pegunungan Ulayo, diberangkatkan ke tempat
rendah, membentuk Kampung Pogego pada sebalah Barat rumah Magau Palu ini.
Dari Pue Mputi diriwayatkan lagi
sebagai berikut : Pamannya bernama Baligau yang tinggal di Lando Pegunungan.
Pada suatu hari masyarakat mengadakan pesta besar di Bone, dekat Tatanga. Pue
Mputi dan keluarganya ikut hadir di pesta itu. Di kesempatan ini, Pue Mputi
masuk diarena Rego. Ia begitu asyik morego (tarian melingkar), hingga anaknya
yang sedang menagis tak dihiraukannya. Suaminya (Pue Nggari) marah,
mencaci-maki, ketika melihat anaknya sedang menangis. Makian Pue Nggari pada
istrinya Pue Mputi berbunyi : Sola Pale ….! (kudis tangan). Pue Mputi mendengar
makian suaminya itu, ia merasa malu bercampur kesal, kemudian melompat ke
sungai menghanyutkan dirinya ke laut. Masyarakat sekitarnya berusaha menolong
Pue Mputi, mengikuti dengan perahu. Pue Mputi terbawa timbul tenggelam di
permukaan air. Ketika masyarakat hendak menolongnya, ia pun menghilang
seketika. Akhirnya, disepanjang aliran sungai dibuat pejagaan-penjagaan, agar
Pue Mputi dapat ditemukan kembali.
Kodi Palo (Lamakaraka) digantikan
cucu perempuannya sebagai Magau, bernama Tandapoa, anak dari Suralemba.
Tandapoa kawin dengan Tawagau dari Boya Tonggo, sebuah tempat yang terletak di
dekat Palu. Seorang anak perempuannya, Dei, kawin dengan Madika Lero, saudara
dari Suralemba.
Silsilah Magau Biromaru dan Palu
menurut M.T. Abdullah dalam bukunya Mengenal Tanah Kaili, menggambarkan dalam
skema seperti ditampilkan pada halaman berikut :
SILSILAH RAJA BIROMARU DAN PALU
Mangumpulemba () kawin Dei Intorolanda ()
Madika Pevunu Magau
Biromaru
Pue
Endjola () kawin Datomaria
()
Madika
Pevunu Madika Palu
Lamakaraka/Tondatedayo ()
kawin Sitimanuru ()
Magau Palu Madika Labua
Suralemba
() kawin Deidonggala ()
Yodjokodi
()
Magau
Palu
Parampasi ()kawinHi. Indocenni Parausi ()…? Idjasa()kawinImpero()
Magau Palu Pettalolo() Magau
Palu Madika Labua
Baso Parenrengi () Baso ()
Andi Wawo () kawin Djanggola ()
Andi Tjatjo () Itei
()
Adri Tangkau () Djuri
()
Andi Wali () kawin Todi ()
Andi Tase () Todji
()
Anri Turu ()
Anri Ratu () kawin Tjatjo Idjasa()
Magau Palu
Andirotja Dj. ()
Andibarun Dj. ()
Djamarro Dj. ()
Setelah mempertimbangkan di atas,
dapat diterbitkan kemudian tentang silsilah Magau Palu menurut Alb. C. Kruyt
dan MT Abdullah yang diterima sebagai berikut:
SKEMA SINGKAT SILSILAH MAGAU PALU
Pue Nggari / Lawegasi Budawa ()
kawin Pue Mputi ()
Magau Palu I Vatu Mpoana
Tuvunjamaya
() kawin Lemba ()
Daelandi
() kawin Masigo ()
Pue
Balu ()
Lamakaraka / Tondatedayo ()
kawin Sitimanuru ()
Magau Palu Madika Labua
Lapatau
() kawin…?
Suralemba
() kawin Deidonggala ()
Tandapoa
()
Mangge
Irisa ()
Magau
Palu ------- digantikan --------!
Yodjokodi
()
Magau
Palu
Parampasi () kawinHi.
Indocenni Parausi () ...? Idjasa () kawinImpero ()
Magau Palu Pettalolo () Magau Palu Madika Labua
Baso Parenrengi () Baso ()
Andi Wawo () kawin
Djanggola ()
Andi Tjatjo () Itei
()
Adri Tangkau () Djuri
()
Andi Wali () kawin Todi ()
Andi Tase () Todji
()
Anri Turu ()
Anri Ratu () kawin Tjatjo Idjasa ()
Magau Palu
Andirotja Dj. ()
Andibarun Dj. ()
Djamarro Dj. ()
Pue Nggari kawin dengan Pue Mputi
dan memiliki 3 anak perempuan, masing-masing:
Sebuah. Tuvunjamaya kawin dengan Lemba dari Tatanga;
b. Pue Balu tidak kawin;
c. Daelani kawin dengan Masigo dari Tatanga, mengirim Magau
Kodi Palo (Lamakaraka) yang kawin dengan Madika Labua Sitimanuru dan memiliki 2
anak yaitu Lapatau dan Suralemba sebagai Magau. Ia menerima turunan 2 laki-laki
yang bernama Tandapoa dan Mangge Risa (Magau Moili 1897). Sesudah Mangge Risa,
kemudian digantikan Yodjokodi (Toma Isima) yang kawin dengan anak Magau Bugis
di Palu. Sesudah dia bertemu, melahirkan Parampasi yang menjadi Magau Palu dan
memiliki 2 saudara laki-laki yaitu Pariusi dan Idjasa dan juga menjadi Magau
Palu. Parampasi kawin dengan Hai. Indocenni Pettalolo, memiliki 4 anak
perempuan dan 4 anak laki-laki. Anak perempuannya masing-masing bernama Andi
Wali, Andi Tase, Anri Turu dan Anri Ratu. Sementara anak laki-laki bernama
Basoparenrengi, Andi Wawo, Andi Tjatjo dan Adri Tangkau. Andi Ratu kawin dengan
anak Pariusi bernama Janggola (Magau Palu) dan Adri Wali juga kawin dengan anak
Pariusi. Dari Pariusi diterima memiliki masing-masing perempuan bernama Besso,
Itei, Djuri, Todi dan Todji. Anak laki-laki bernama Djanggola yang menjadi
Magau Palu. Sedang Magau Palu Idjasa kawin dengan Madika Labua Impero, memiliki
anak yang juga menjadi Magau Palu bernama Tjatjo Idjasa.
Pada tanggal 6 Mei 1950 jam 7
pagi, bertindak sebagai pucuk Pimpinan BKR yang terdiri dari 3 Kerajaan yaitu
Palu, Sigi Dolo dan Kulavi semua orang bertemu dengannya, memproklamirkan
dengan ini telah meluncurkan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan
bepergian sendiri dengan Republik Indonesia.
Silsilah dari Banua Mbaso (Banua
Oge) di Kampung Lere yang dibangun oleh Yodjokodi sebagaimana dimaksud, Magau
Kodi Palo (Lamakaraka) kawin dengan Dei Janggola dari Limuinta, memiliki 4 anak
masing-masing bernama: Suralemba, Padundu, Yodjokodi dan Bidadari. Limuinta
menanggapi bersaudara dengan Lapatau. Sedangkan Suralemba bersaudara dengan
Daeng Maroca dan Wanga. Suralemba kawin di Labua. Dari Daeng Langi memiliki 5
orang anak.
Dalam silsilah Kruyt dikatakan,
Suralemba mempunyai 2 anak yaitu Tandapoa dan Mangge Irisa (Magau Moili) yang
kemudian digantikan oleh Yodjokodi (Toma
Isima). Menurut silsilah dari M. Dj. Abdullah bahwa, Yodjokodi anak dari
Suralemba dan Dei Janggola. Sedangkan dalam silsilah Banua Oge, Suralemba
bersaudara dengan Yodjokodi. Ke tiga silsilah yang telah diuraikan itu, yang
berbeda adalah turunan sebelum Yodjokodi dan mengenai Pue Bongo (Panjuroro)
anak dari Ralawa Magau Bangga dalam silsilah Banua Oge.
Ralawa kawin dengan Yenda,
menurut M. Dj. Abdullah dikatakan kawin dengan Madika Palu Gilimare, sedang
Yenda (Yenda Bulava) anaknya Ralawa.
Demikian dalam tulisan ini,
ditemukan pendapat sementara bahwa Daelani adalah Daeng Malino, dan Masigo
adalah Malasigi yang menjadi turunan dari Lamakarata, mempunyai anak Yodjokodi
dari istrinya Lumeinta dan Magau Moili anak dari istri pertamanya, Dei
Janggola.
Dari silsilah Besusu Palu,
ditulis oleh Nasarudin Pakedo menjelaskan bahwa, Pue Nggari (bukan Pue Nggori =
menurut Alb.C. Kruyt) adalah turunan dari Lasamalongi dan Wua Pinano.
Selanjutnya tidak diperoleh data mengenai Magau pertama ini, kecuali dari Alb.
C. Kruyt seperti yang telah diuraikan di atas. Sedangkan dari silsilah Banua
Oge, Pue Nggari tidak terdapat atau tidak disinggung.
Pue Nggari hanya diceritakan
bahwa; Ia keturunan Manuru, sebelah Selatan Vatusampu dari seorang puteri
cantik yang lahir dari ikan Timboro. Putri cantik itu kawin dengan Sogomolombo
juga berasal dari To Manuru, mendapat turunan 2 anak laki-laki dan seorang
perempuan. Perempuan bernama Sondilana yang kawin dengan Magau Tomene, dan
laki-laki masing-masing bernama Tondalabua dan Payugarera.
Selanjutnya, Tondalabua kawin
dengan Numanuru Maroa dari Lere di pegunungan. Masyarakat Palu sebagian berasal
dari sini. Sandilana melahirkan seorang anak perempuan bernama Sondubulava yang
kemudian kawin dengan Sompoa, dan mendapatkan turunan yang kawin dengan Madika
Kaili. Salah seorang turunannya yang kawin dengan Madika ini, kemudian
melahirkan 3 anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Laki-laki itu bernama
“Pue Nggari“. Silsilah Pue Nggari dapat digambarkan pada halaman berikut :
Sogomolombo/To Manuru () kawin
Putri Manuru/Ikan Timboro ().
Sondilana () kawin Magau
Tomene ().
Tondalabua () kawin Numanuru
Maroa ()
Patugarera () kawin ….……………..
? ()
Sondubulava () kawin Sompoa
().
Madika Kaili () kawin ……………… ?
()
…………………? ()
…………………? ()
…………………? ()
Pue Nggari ()
Magau I Palu-Tanah Kaili
Pemegang Kerajaan Palu,
masing-masing sebagai berikut :
I. Pue Nggari
II. Pue Bongo
III. Lamakaraka/Kodi Palo/Tondatedayo
IV. Suralemba
V. Tandapua
VI. Magau Moili/Mangge Irisa
VII. Yodjokodi/Toma Isima (Magau Palu 10-2-1899)
VIII. Parampasi (Magau Palu/Kepala Distrik 12-10-1938)
IX. Janggola (Magau Palu 1938)
X. Tjatjo Idjasa (Magau Palu 14-2-1949)
XI. Andi Wawo Parampasi (1956 Kepala Swapraja Palu).
Masuk dan Berkembangnya Islam
Thomas W. Arnold dalam bukunya
“The Preaching of Islam” menulis bahwa, tahun 1540 tatkala pertama kalinya
Bangsa Portugis memasuki wilayah Sulawesi di Gowa Ibukota Kerajaan Makassar,
ditemukan hanya beberapa orang saja yang telah memeluk agama Islam. Kemudian
diceritakan bagaimana hebatnya persaingan antara dakwah Islam dengan misi
Kristen dalam merebut pengaruh di kerajaan-kerajaan wilayah ini.
Mulanya beberapa asli yang telah
mendapat pengaruh Kristen, diperkenalkan oleh Gubernur Maluku saat itu, Don
Antonio Galvano. Rakyat Gowa ingin
mendapatkan pegangan batin yang lebih mantap lagi. Olehnya, mereka mengajukan
permohonan untuk didatangkan guru-guru agama, baik itu Pendeta Kristen dari
Maluku maupun Ulama Islam dari Aceh. Mereka akan menentukan pilihan pada
kepercayaan agama yang lebih dulu tiba pada mereka.
Diceritakan, begitu menerima
permintaan rakyat Gowa, Raja Aceh langsung mengirimkan para Ulama menuju Makassar.
Akhirnya dalam waktu singkat, ulama-ulama Aceh menegakkan Islam dengan kokoh di
sana.
Para pendeta, beberapa waktu
kemudian tiba di sana. Meraka dengan susah payah ingin merebut kembali hati
rakyat untuk memeluk agama Kristen, namun upaya itu sia-sia. Rakyat Sulawesi
Selatan telah memutuskan memilihnya pada Agama Islam, yang tak mungkin akan
dirubahnya kembali.
Peristiwa itu terjadi pada awal
abad XVII, terjadi pada tahun 1603. Buya Hamka dalam tulisannya “Kebudayaan dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Aceh”, di antara yang lain menyebutkan,
dengan restu dari Raja Aceh, pada awal abad XVII pergilah tiga orang mubaligh
dari pantai Padang Pariaman ke Makassar. Mereka adalah Dato Ri Tiro, Dato Ri
Bandang dan Dato Patimang.
Berdasarkan dua sumber di atas,
kita dapat menarik kesimpulan pada awal abad XVII memang ada rombongan mubaligh
atau ulama dari Aceh dan Minangkabau, datang ke wilayah Sulawesi meluncurkan
agama Islam.
Pembicaraan kita kembali ke Tanah
Kaili. Di Tanah Kaili (Kabupaten Donggala), ada 2 makam tua, masing-masing di
Kampung Lere Kecamatan Palu Barat termasuk makam Abdullah Raqie yang digelar
Dato Karama, dan di Kampung Parigimpu Kecamatan Parigi termasuk makam Dato
Mangaji.
Yang menarik di sini adalah
keberadaan kemiripan gelar yang disandang oleh ke dua tokoh yang dimakamkan di
Tanah Kaili, dengan gelar tokoh-tokoh yang datang ke Gowa pada awal abad XVII
(Datu Ri Tiro, Datu Ri Bandang dan Datu Patimang). Dapat dipastikan bahwa itu
adalah tiga tokoh yang berasal dari Minangkabau. Daerah di Sulawesi Selatan
yang menurut adatnya banyak menggunakan gelar “Datu” yang berinduk dari
penggunaan gelar “Datuk” di Minangkabau.
Penalaran kita, semakin ditopang
oleh orang-orang sekitar Kampung dimana Dato Karama dimakamkan, dipahami
sebagai turunan “Paranaka“ (istilah Kaili: “Peranakan”) dari Dato Karama.
Entahlah, yang jelas Dato Karama berasal dari Minangkabau Sumantra Barat.
Sekitar tahun 1603, Islam mulai
masuk dan berkembang pertama-tama melalui lingkungan kerajaan-kerajaan kecil di
Tanah Kaili. Di dalam penyebaranluaskan Islam, Dato Karama bersama rombongannya
antara lain Dato Ri Bandang, Dato Ri Tiro dan Dato Patimang yang akhirnya
meluas hingga ke seluruh wilayah Sulawesi Tengah.
Tahapan di atas menunjukkan
pembangunan Islam pada mulanya awal melalui pucuk pimpinan daerah yang kemudian
diikuti oleh rakyatnya.
Berkat ketekunan Dato Karama
bersama rombongannya menyebarkan Islam ke 4 Wilayah Kota Kaili, berhasil
menyambungkan Magau Kabonena bernama Pue Njidi untuk memeluk agama Islam. Hasil
ini diumumkan, dibuktikan dengan adu kesaktian menanamkan cabai antara Dato
Karama dengan Pue Njidi, yang dimenangkan oleh Dato Karama. Pue Njidi dan
seluruh rakyatnya, menerima kesaktian Dato Karama dan menyetujui juga menerima
tawaran yang disampaikan Dato Karama. Ajakan Dato Karama diterima oleh Pue
Njidi dan pengikut-pengikutnya, diikuti dengan pengucapan Dua Kalimat Syahadat,
dilanjutkan dengan pemasangan cap untuk Pue Njidi serta menanggalkan Pevo
(pakaian tradisi) bagi pengikut-pengikutnya.
Untuk Parigi dalam sebuah
kenyataan silsilah magau-magaunya, Magau yang diberi gelar Tonikota bersama
anaknya Magau Janggo, pertama memeluk agama Islam di Kerajaan ini, dibawa oleh
Dato Mangaji. Magau Janggo diberi nama Islam Makruf.
Gelar yang diberikan pada Dato
Mangaji diambil dari kebiasaan rakyat setempat melihat Dato ini gemar mengaji
dan mengajarkan mengaji (mangaji). Tidak ditemukan nama yang jelas. Apakah Dato
ini mempunyai nama dari salah seorang rombongan ; Dato Ri Bandang, Dato Ri Tiro
atau Dato Patimang ?
Kemudian menurut kisah para Totua
(orang tua), setelah Tonikota dan Magau Janggo memeluk agama Islam, mereka
menjadi Tona Baraka (pembawa berkah / sakti). Sekarang sampai sekarang
masyarakat sering berkhaul atau bernazar, sekiranya apa yang seharusnya
terkabul, mereka akan pergi ke makam Tonikota dan Magau Janggo untuk monjunusi
dayo (menyiram kubur sambil berdoa). Adapula yang masih percaya bahwa ia akan
terhindar dari malapetaka, jika mengucapakan mantra “O Pue, Tonikota Magau
Janggo, Tona Baraka, Tulungi Batuamu” (Wahai paduka, Tonikota dan Magau Janggo,
orang yang sakti, haraplah hambamu).
Meski apa yang dikisahkan para
Totua di atas bukan merupakan agama Islam, malah lolos syariat-syariatnya.
Namun, dari kenyataan itu membuktikan bahwa, mayoritas fanatisme yang
mendukungnya terhadap pengaruh Magau Islam pertama di Kerajaan Parigi itu,
membekas dalam sampai sekarang.
Setelah Dato Karama dan Dato
Mangaji, merintis masuknya Islam ke Tanah Kaili wafat, maka tugas dakwah Islamiyah
itu membuat para siswanya yang terdiri dari bangs bangsawan. Tugas mulia maju
dengan maju yang mendukung para pendatang dari Bugis Sulawesi Selatan.
Mereka memberikan metode membaca
Al-Qur'an (mangaji) yang antara lain metode mengevaluasinya menggunakan ejaan
Bugis. Sampai saat ini, metode ini masih banyak yang digunakan.
Selain itu, paham yang dibawa
oleh Karae-karae (Karaeng-karaeng), dikenal dengan nama Paha Nu Cikoa (Paham
dari Cikoang) yang berasal dari Takalar Sulawesi Selatan. Pada perayaan Maulid
Nabi selain dibacakan Mobarsanji (Barsanji), diminta pada pengikut paham
tersebut, mempersembahkan Sudaka (Sedekah) kepada para Karaeng atau turunannya.
Pada masa ini di Tanah Kaili dan
wilayah Sulawesi Tengah pada umumnya, Islam meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan. Penanaman Akhidah, Iman dan Taqwa tanpa disadari berlahan-tanaman
menimbulkan rasa persatuan yang akhirnya memupuk semangat berbangsa, yang
disatukan dengan semboyan "Habbul Wathan Minal Iman".
Masa inipun menurut Crawfurd :
“sukses yang telah dicapai itu sebagaian besar adalah berkat jasa para pedagang
yang mendapat tempat di hati rakyat, dimana mereka mempelajari bahasa rakyat
dan adat istiadat setempat, lalu secara perlahan-lahan meng-Islamkan
wanita-wanita yang mereka kawini serta orang-orang yang berhubungan erat dengan
perdagangannya. Jauh dari sifat mengasingkan diri, mereka sebaliknya larut
dalam masa rakyat sambil memanfaatkan keunggulan intelgenci dan peradabannya
untuk kepentingan dakwah, dengan kebijaksanaan meraka mengkompromikan ajaran
agama sesuai dengan kebutuhan rakyat“.
Demikian Islam semakin terpatri
disanubari rakyat Kaili, hingga disetiap kampung dibangun masjid-masjid yang
dijadikan pusat ibadah dan pendidikan rakyat setempat.
Oleh karena itu, Magau-magau
Kaili bersama Madikanya memberlakukan sistem Pemerintahan Kerajaan,
menyesuaikan dengan kehendak dan kebutuhan
hidup golongan rakyat yang mayoritas beragama Islam.
Umumnya, disamping Magau dan para
Menteri Kerajaan, diangkat pula seorang Pua-Kali (Tuan Qadhi) yang berwewenang
mengatur tata kehidupan rakyat berdasarkan syariat Islam.
Pada setiap Kampung yang dipimpin
oleh seorang Kepala Kampung, terdapat masjid yang pengurusannya diserahkan pada
Pareva (pegawai Syara). Adapun Pareva itu terdiri dari Pua Ima (Tuan Iman), Pua
Kate (Tuan Khatib), Pua Bila (Tuan Bilal) dan Pua Doja (Tuan Pelayan Masjid).
Pareva inilah yang mengurus dan mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
masalah perkawinan, talak, rujuk, kematian, Podoa (Doa kematian) dan lain-lain,
diadakan oleh rakya kampung.
Dengan demikian, Kepala Kampung
dan Pua Ima merupakan Dwi Tunggalnya Kampung. Magau juga dijadikan “penguasa
agama”. Di sebuah Istana Kerajaan
didirikan masjid dilingkungannya, sebagai tempat Magau melakukan ibadah bersama
para pengikutnya. Disamping itu juga digunakan sebagai sarana penyampaian
pengumuman-pengumuman. Penentuan tanggal permulaan puasa (1 Ramadhan) dihitung
berdasarkan keputusan Magau yang dilihat dari Nopanaguntu Bula (Menembak
Bulan). Kebiasaan ini, dilakukan Magau di depan masjid dengan menyulut sepucuk
lela (meriam kuno), menandakan bahwa bulan sabit 1 Ramadhan telah terbit dikaki
langit.
Dari iraian di atas, dapat
memperjelas betapa kokohnya pengaruh Islam pada rakyat Tanah Kaili. Bahkan
telah menyatu ‘dalam sanubari rakyat’ yang takkan mungkin tergoyahkan oleh
siapapun, termasuk Belanda.
Rakyat Kaili menyadari bahwa,
mereka tak akan membiarkan lagi Belanda dengan leluasa memperbudaknya. Olehnya,
umat Islam diseluruh pelosok Tanah Kaili dibawah pimpinan magau-magaunya yang patriotik,
bertekad mengobarkan perlawanan sengit, jika Belanda tetap memaksakan misinya
pada rakyat Tanah Kaili Sulawesi Tengah.
Karena itu, sejarah tak hanya
mencacat semangat perlawanan Karanja Lembah (Tomai Dompo) ketika menjadi Madika
Malolo (Magau Mudah) Sigi Biromaru. Dengan gigih-berani menyulut api perlawanan
pada Belanda disekitar Tanah Kaili. Walaupun dalam perlawanan itu, kekuatan
tidak seimbang yang mengakibatkan Tomai Dompo ditangkap kemudian diasingkan ke
Sukabumi Jawa Barat, September 1905.
Untuk Magau Tinombo, Tombolututu
dalam perang di teluk Tomini, tampil didepan dengan semangat juang rakyat,
demikian gigihnya. Belanda hampir kewalahan, hingga mendatangkan bantuan kapal
perang “Jawa”, menggempur perjuangan rakyat pasukan Tombolotutu. Magau ini
akhirnya jatuh di medan perang sebagai Syuhada.
Di Parigi Magau Vinono bersama
puteranya, Hanusu berjuang pula dengan sengit perjuangan Belanda. Sumpahnya
termasyhur berbunyi: “mabula boga ri vana, pade meta mbaeva Balanda” (setelah
kera putih di rimbah, barulah berhenti melawan Belanda ”). Pada tahun 1905,
putra Magau Vinano, Hanusupun diambil yang kemudian dipindahkan ke Manado.
Magau gunung Bale bernama
Malonda, ikut berperang melawan Belanda di kota Donggala. Komandonya menggema
membelah angkasa, berbunyi: "Petimbemo ngana" (Pancungkanlah pedangmu
anak-anakku).
Singkat kata, Tanah Kaili baru
dikuasai Belanda pada tahun 1905. Kemudian untuk memperlemah kekuasaan
Magau-magaunya, diikatlah mereka dengan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek).
Karena itu Belanda hanya mengakui 6 Kerajaan Islam hanya di Tanah Kaili, yaitu
kerajaan-kerajaan: Palu, Sigi-Dolo, Banava, Tavaeli, Parigi dan
Tinombo-Moutong. Kerajaan-Kerajaan itu tidak leluasa lagi mengatur, karena
bercampur tangan Belanda begitu besar ikut mendukung penggunaan politik 'adu
domba'nya.
Perjuangan umat Islam pada zaman
ini (sejak 1905), berganti Arah. Mereka tidak lagi bergantung dengan cara
menantang. Perlawanan lebih diarahkan pada pembinaan kader, mengorganisir
kekuatan masa depan dan pembangunan / pengembangan sarana pendidikan.
Ketika pimpinan pergerakan
Serikat Islam (SI) termasyhur, Hos Cokroaminoto tiba di Donggala dari
perhelatannya ke Manado. Maka di tahun 1920, Islam bangkit dengan kesadaran
nasionalnya, beramai-ramai membesarkan organisasi pergerakan SI.
Melihat kondisi ini, Belanda
merasa terancam kedudukannya, mereka pun segera melakukan penangkapan terhadap
beberapa tokoh-tokoh SI, antara lain Datu Pamusu Adri dari Dolo yang kemudian diasingkan ke
Ternate, Hi. Daeng Pawindu dari Palu yang kemudian diasingkan ke Sukamiskin
Bandung.
Pada tahun 1930, tepatnya tanggal
30 Juni, seorang Ulama Besar bernama Sayed Idrus Bin Salim Al Djufri yang oleh
pendukungnya dikenal dengan nama Guru Tua, mendirikan sebuah organisasi dakwah
Islam berpusat di Palu yakni Alkhairaat, yang pada perkembangannya sekarang
menjadi salah satu pusat pendidikan, pengajaran dan penyebaran Islam terbesar
di Kawasan Timur Indonesia.
Pada tahun 1932 organisasi
Muhammadiyah kemudian didirikan dan berkembang di Donggala, Vani dan Parigi.
Buya Hamka sendiri dalam usia yang relatif muda, pernah datang dan tinggal di
Donggala sebagai mubaliq/guru Muhammadiyah. Sedangkan Raden Hi. Umar Effendi di
dampingi istrinya Musiah, datang dari Yogyakarta ke Parigi dan menjadi guru
Muhammadiyah dan Aisiyah di daerah ini.
Selain itu Serikat Islam (SI),
juga tidak ketinggalan dalam usaha pembentukan umat yang patriotik, melalui
bidang pendidikan. Pada tahun 1933 didirikan Islamiyah School di Donggala,
dipimpin oleh 2 orang mubaliq asal Minangkabau bernama Baharuddin dan
Jamaluddin Datuk Tumenggung.
Demikian Islam terus berkembang
di Tanah Kaili-Lembah Palu sekarang, dengan sarana dan prasarana pendidikan
seperti Sekolah Madrasah, Sekolah Umum mulai Taman Kanak-Kanak sampai pada
tingkat Perguruan Tinggi. Baik Negeri maupun Swasta.
Menyikapi Khasanah Lama.
Adalah menarik kompilasi Museum
Negeri Provinsi Sulawesi Tengah, membuka forum diskusi yang disetujui dengan
memilih salah satu barang koleksinya yang pantas untuk diperbesar dan
diperbincangkan, sebagai usaha yang lebih meningkatkan sejarah masuk dan
mengembangkannya Islam di Tanah Kaili. Barang sejarah yang dipamerkan itu
terdiri dari Kitab Kuning tebal beraksara Arab-Melayu (huruf Jawi), berjudul Al
Qur'anul Karim, Turjumanul Mustafid, Cetakan Ketiga tahun 1352 H (1934 M).
Menurut Keterangan, buku tersebut diperoleh dari keluarga yang bertempat
tinggal di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat. Kitab tersebut diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Abdurrauf bin Ali Al Fanshuri Al Jawi dari buku asli
Arab, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Assyirazi Al Baidhawi, berjudul
Al Qur'anul Karim, Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil.
Rinkes, sarjana Belanda dalam
disertasinya berjudul Abdurrauf Van Singkel, menyebutkan nama lengkap dia yaitu
Syeikh Aminuddin, Abdurrauf bin Ali Al Jawi, Taummal Fanahuri As Sinkily.
Sebutan kata 'Al Jawi' sebenarnya
telah diperkenalkan sebelumnya oleh Ibnu Bathuthah yang di dalam
pengembaraannya, pernah singgah di Sumatra pada tahun 1345. Sementara itu, kata
yang terkandung dalam kata 'Al Jawi' itu, telah disesuaikan dengan negara 'di
bawah angin' yang dibuka di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung
Tanah Melayu, Syahrun Nawi (Siam) dan Philipina. Karena itu jelaslah itu,
Abdurrauf adalah orang dari 'Negeri Bawah Angin'. Kemudian yang disetujui
dengan kata 'As Sinkily' berasal dari kata Sengkel, yaitu sebuah negeri yang
berada di Aceh.
Dengan demikian jelaslah bahwa,
Abdurrauf penerjemah yang disimpan di Museum Negeri Palu ini, adalah seorang
putra Indonesia yang berasal dari Aceh.
Untuk mengetahui lebih lanjut
tokoh ini, Buya Hamka dalam tulisannya berjudul “Aceh Serambi Mekkah”
menjelaskan itu, Syeikh Abdurrauf sebelum membahas Mufti Besar Kerajaan Aceh
Darussalam di bawah Pimpinan Raja Iskandar Muda Mahkota Alam (1607-1636),
terlebih dahulu belajar agama dapat diakses di Medinah. Gurunya dalam ilmu
Tasawwuf adalah Shafluddin Ahmad Al Dajany Al Qusyasyi (1583-1660) dan Syeikh
Ibrahim Al Kaurany (1616-1689).
Tatkala Abdurrauf menjadi Mufti
Besar mendapingi Iskandar Muda Mahkota Alam yang mengatur Kerajaan Aceh
Darussalam, bertemulah kebesaran Aceh pada abad XVII itu, dalam kejayaan
tentang dunia dan akhirat. Sang raja bijaksana dalam mengendalikan
pemerintahan, sedangkan sang Mufti sangat ahli dalam bidang keagamaan. Oleh
karena itu, rakyat Aceh sangat menghargai Mufti Besar itu, hingga dia digelar
'Syeikh Kuala'.
Setelah diterjemahkan oleh Al-Qur'an
yang bernama Abdurrauf ini, ada yang diajukan yang diajukan Al-Qur'an dan
terjemahannya terbitan Deppag RI berbunyi sebagai berikut: “Terkait dalam
Bahasa Indonesia, maka Al-Qur'an telah diperbarui pada waktu ke XVII oleh Abd.
Rauf Alfansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, ke dalam Bahasa Melayu.
Bagaimana mungkin terjemahan itu ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia modern
belum sempurna, tetapi pekerjaan itu besar jasanya sebagai pekerjaan perintis
jalan ”.
Akhirnya dalam ulasan Buya Hamka
pada kunjungannya merekomendasikan termaktub dalam pengantar “Bacaan Mulia”
karya HB Jassin sebagai berikut: “Yang mula sekali menterjemah Al Qur'an ke
dalam bahasa Melayu bersamaan dengan tafsirnya adalah Syeikh Aminuddin
Abdurrauf bin Ali Alfansury pada saat itu ke XVII ”
Dengan demikian dapat
disimpulkan, meskipun kitab “Al-Qur'anul Karim Terjumanul Mustafid” yang
disimpan di Museum Negeri Palu ini, diterbitkan dalam cetakan baru pada tahun
1934, namun memiliki nilai sejarah yang tinggi, yang telah diterbitkan di XVII
se kali dengan awal masuknya Islam di Tanah Kaili.
Pijakan Pertama Alb. C. Kruyt
Pijakan pertama Alb. C. Kruyt
melakukan perjalanannya di Tanah Kaili mengisahkan, dari Palu jalan raya menuju
ke Selatan, terbentang di sepanjang timur dari dataran itu, melalui Kalavara
dan Sakidi, kemudian ke Kulavi jaraknya 72 Km. Jalan ini melintas Lanschape
Palu dan melalui pula Lanschape Sigi – Biromaru-Dolo, Magau Biromaru tinggal
beberapa tahun yang lalu, Dolo dibuka sendiri sebagai satu Lanschape, pada
tahun 1918 Lanschape Dolo ikut Sigi-Biromaru. Ibu Negeri Dolo berada di bagian
kanan sungai dan daerah yang ikut Dolo bergantung pada bagian kiri sungai. 5
Km. disebelah Selatan Palu. Disediakan jalan menuju Timur dengan belokan salah
satunya ke Biromaru-Vatunonju dan Bora, antara Tulo dan Sidondo dapat dilalui.
Jalan ini merupakan jalur penting karena dapat menghubungkan Ibunegeri dari
Lenschape Sigi-Biromaru dengan Palu.
Pada sungai ini terdapat sebuah
jembatan. Dan Sebagai titik akhir dari dataran itu, sampai di Sakidi. Tempat
ini banyak didiami pendatang yang berasal dari Bugis. Mereka membuat tempat
penumpukkan kopra untuk dibawa ke Palu. Pada kondisi sekarang, tempat Sakidi
dianggap tidak penting lagi.
Dulunya di Sakidi terdapat pasar
yang ramai dikunjungi orang. Penataan pasar sering dilakukan masyarakat
(merupakan tradisi) setempat, ketika akan dikunjungi Gubernumen Belanda. Dalam
tahun 1897 terdapat beberapa pasar sederhana, antara lain di Palu, Biromaru,
Dolo, Sidondo, Kaleke, Bobo, Beka Tenggarava, dan Bulebete yang masuk bagian
Onderafd Palu.
Dalam Onderafd Donggala terdapat
pula pasar serupa, antara lain di Donggala, Kabonga Besar, Loli, Mamboro,
Tavaeli dan Pantoloan. Sapai pada tahun 1930, terdapat 1.800 Pasar.
Dari Palu ada jalan raya ke
Selatan di sebelah barat Sungai Besar. Jalan raya ini, melalui Bulubete. Jika
di tempat ini terdapat jembatan untuk melewati sungai Miu, kenderaan dapat
sampai di Sakidi dan Vuno. Dalam perjalanan, perjalanan biasa yang ditempuh
menuju Kalavara. Demikian pula di sungai Sombe, dibawa perjalanan berisi lumpur
yang dibawa oleh aliran sungai ke darat. Lumpur itu tergenang di daratan,
hingga roda otto tertimbun ditebalnya lumpur.
Sisi lain dari perjalanan ini,
merupakan jalan pendek dari Binangga menuju Timur melalui Tinggede dan Tatanga.
Dari tempat ini kembali lagi, ada pula satu jalan menuju ke Barat, kearah
Donggala. Disini terdapat penyimpanan ledeng udara Palu yang mengalir menuju ke
Selatan, melalui Balaroa dan Taiparanggu.
Sungai Palu terbagi menjadi dua
bagian yang tak sama. Bagian Barat lebih sempit dari bagian Timur. Bagian
pertama keadaannya lebih dari pinggiran pada bagian ke dua. Lebih-lebih pada
bagian Selatan. Bagian pertama tadi, ada banyak sawah-sawah. Jika melewati
bagian Timur, kita dapat melihat pepohonan yang tumbuhnya tidak subur.
Dapat diketahui bahwa, lebih dulu
banyak sawah dikerjakan dari pada sekarang, sebab disetujui sawah-sawah
dibiarkan begitu saja. Disini adalah satu pohon yang disebut Lanu, yang lebih
berguna dimasyarakatnya, semisal daunnya digunakan sebagai atap / barang
anyaman, tangkainya dibuat pagar dan isi dahannnya dapat dimakan. Selain pohon
Lanu juga terdapat pohon kayu api dan kaktus.
Jika keluar dari Bora, kita
melihat pemandangan lain yaitu tanah padang rumput, jalan raya yang terletak jauh
dari Bora-Biromaru dan gunung-gunung dengan panorama indah dari pohon-pohon
kelapa sebagai petunjuk keberadaan kampung-kampung.
Masyarakat lembah Palu, suka
membuat kampung-kampung sebagai tempat bermukim diladang-ladang, menetap dan
menanam pohon kelapa untuk dijadikan mata pencaharian hingga pada
turunan-turunannya.
5 di Lansekap yang diperintah
oleh Magaunya masing-masing. Hal ini terjadi sebelum Pemerintahan Belanda
hadir. Di Ganti Tavaeli, Palu, Bora dan Dolo berada di kerajaan yang dikelola
dengan gelar Magau (Raja). Tiap Kampung memiliki Kepala yang dimiliki dari
bangsawan, bergelar Madika. Di Kulavi dan Koro disebut "Maradeka". Ke
dua kata itu berasal dari bahasa Sangskrit yang artinya dalam bahasa Melayu
“bebas dari perbudakan”.
Pendatang-pendatang yang datang
ke tempat ini, membawa perubahan besar dalam Kebudayaan dan Pemerintahan di
Tanah Kaili. Mereka berasal dari Jawa-Hindu. Ada pula yang berasal dari Luwu
dan Makassar, masuk di daerah ini dari bagian Utara.
Tuan Wigman yang kurang lebih 6 tahun
mempelajari situasi onderafd Palu (1916-1921), membandingkan keadaan di sini
dengan keadaan di Eropa pada abad ke depan, di mana di setiap kota memiliki
Pemerintahan sendiri-sendiri, dan memiliki kebebasan masing-masing (tuan tanah)
. Di onderafd Palu Ada 5 Magau. Hubungan kampung-kampung itu tidak begitu erat,
sehingga bisa terjadi bergantung pada paham.
Kelima Magau memiliki kekuasaan
besar di kampung-kampung lingknya. Biasanya yang menjadi Kepala Kampung adalah
turunan orang-orang pendatang. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan
masyarakat asli di tempat itu. Seperti yang diketahui, terjadi persaingan
antara Magau Sigi dan Magau Banava. Mereka mengatakan memiliki hubungan
keluarga dengan Saverigading dan ekor Lagaligo, ke duanya adalah pendekar dari
Luwu. Banyak pembahasan tentang ke duanya, diceritakan oleh masyarakat lokal.
Saat saya menyampaikan tentang
keringnya di Palu, dapatkah kita kembali ke dua pahlawan Luwu itu, selalu ada
di Ganti dan muncul kemudian di Sigi, Tavaeli dan Dolo. Berterima kasih pada
Sigi, Palu letak Kerajaannya baik, dapat maju dan berkembang. Masyarakat
dataran tinggi Palu yang berada di lembah Kaili terbagi atas dua kelompok yang
disebabkan oleh keberadaan teluk dan sungai. Orang yang tinggal di bagian barat
ikut pada Magau Palu, Dolo dan Banava, sedangkan daerah Sigi dan Tavaeli
dianggap sebagai daerah musuh.
Pertentangan fisik dulunya
kerapkali terjadi di seberang sungai itu. Sigi dan Tavaeli selalu berpegang
tangan. Namun Dolo yang berkuasa di sebelah barat sungai, selamanya ikut Palu.
Suku kecil Topotara yang menjadi
pemisah. Topotara sekarang mengkombinasikan diri dengan Kavatuna, tempat
berbatu-batu.
Lasoani, Poboya, Tanamodindi dan
Talise, terletak di sebelah Timur Palu. Jika kita memperhatikan sejarahnya,
kita akan melihat manusia-manusia memiliki hubungan dengan Magau di Parigi.
Suku kecil
Sebelum Pemerintahan Belanda
berkuasa, di Sigi berlaku untuk: Baluase, Bangga, Pakuli, Sibalaya, Pevunu,
Raranggonau, Palolo, Kulavi, dan semua tanah yang terkait di Lanschape Selatan
Tavaeli, Napu, Besoa, dan Bada. Juga di tanah-tanah di selat Makassar. Sebelah
Utara Vani mengaku Magau Sigi sebagai Magaunya.
Untuk Dolo diadakan wajib
terhadap: Pesaku, Kaleke, Sibonu, Riio. Dan untuk Palu terhadap: Beka, Sibedi,
Binangga, Tatanga, Boyaoge, Vatusampu dan Pakava. Buat Tavaeli mengikutinya:
Mamboro, Taipa, Kayumalue dan Labuan.
Blog Archive
-
▼
2025
(40)
-
▼
May
(24)
- Wilayah Kerajaan Sejarah Kabupaten Donggala
- Perang SIGI (1905-1908)
- Sejarah Lembah Palu
- BUOL SALING SAPA
- Sejarah Kerajaan BUOL
- Zaman Permulaan Magau dan Islam di Palu Tanah Kaili
- Zaman Sejarah
- Zaman Pra Sejarah
- Zaman Klasik dan Saverigading Di Palu Tanah Kaili
- Sejarah Singkat Kecamatan SIGI BIROMARU
- Sejarah Kota Palu
- Menapaki Jejak Pitu Nggota Ngata Kaili
- Kaili itu Ramah, Tapi Jangan Diusik
- Sejarah Desa WATUNONJU
- Sejarah Desa LOLU
- Sejarah Desa LORU
- Sejarah Singkat Desa NAMO
- Sejarah Terbentuknya Ngata Toro, Kulawi
- Sejarah Desa Jono Oge
- Sejarah Desa Oloboju
- Sejarah Desa Baluase
- TO SILONGA
- Islamisasi Ala Cikoang di Lembah Palu: Peran Sayyi...
- Jejak Diaspora Cikoang di Tawaeli
-
▼
May
(24)
0 comments:
Post a Comment